October 2014 ~ pratamagta

Sunday, October 19, 2014

Rembulan bolehkah aku membencimu



Masih kah kau ingat rembulan. Ketika aku menatapmu semalaman tanpa berpaling. Masihkah kau ingat waktu itu? Ketika aku meneteskan air mata dan berkeluh kesah dibawah sinarmu. Kegelapan malam itu sedikit kau terangi dengan cahaya harapanmu. Suasana kelam seketika membius kalbu ketika aku mulai terisak menikmati perih yang dia berikan padaku.

Aku seperti bermimpi saat itu. Saat ketika aku menemukannya bersanding bahagia dengan sahabatku. Rembulan, bukankah kau tau waktu itu dia masih kekasihku. Paham kan apa yang aku ceritakan padamu malam itu? Dari celah celah ventilasi kamar kau mengintipku ketika kembali kubenturkan kepalaku di dinding kamar. Hanya diam kau saksikan aku berulangkali memukul mukul tubuhku sendiri. Aku mendapatimu diam wahai rembulan, disaat aku benar benar jatuh. Aku merasa terganggu dengan sikapmu itu. Berlari aku keluar dan berteriak padamu tentang ketidak adilan. Apa kau mendengarku waktu itu?

Apa salahku?? Kenapa kau biarkan kekasihku bercumbu dengan sahabatku? Apa salahku ?? kenapa kau biarkan aku berada dalam keadaan sepeti mati. Ketika aku tertunduk lesu di bawah pepohonan rindang, kenapa kau masih saja diam dan mengintipku dari cela dedaunan? 

Aku mencoba berjalan pelan dengan tenang diantara kerumunan orang menuju tempat aku mengenyam pendidikanku. Mencoba melupakan apa yang terjadi di waktu kemarin dan kenapa kau membiarkan telingaku mendengar semua celotehan orang orang itu. Rembulan, seharusnya kau memberitahuku ketika sahabatku mulai menikmati tubuhnya dimalam itu? Kenapa kau hanya diam? Kenapa kau biarkan aku mendengar dari orang lain?

Ketika waktu aku duduk dengan masih tersisa rasa sakit yang dalam di dalam hatiku. Mencoba tenang dan mendengarkan pelajaran yang memang seharusnya aku pelajari. Kenapa kau waktu itu membiarkan temanku memberikan buku kenangan antara aku dan dia? Kenapa kau tak mencegahnya? Kau biarkan aku jadi bahan tertawaan seisi kelas. Dan aku membencimu wahai rembulan.

Aku duduk mencoba mengurangi rasa lapar yang ada di perutku dengan beberapa makanan yang sedang aku santap. Kenapa kau membiarkan sahabatku itu dating dan membentak ku diantara krumunan teman temanku? Kenapa kau biarkan dia menantangku berkelahi di kantin itu? Kenapa kau biarkan dia marah marah padaku. Rembulan, seharusnya aku yang kau biarkan marah. Dia yang merebut bukan aku. Apa aku pengganggu? Lantas kenapa kau biarkan aku bertahun tahun berhubungan dengannya? Rembulan, aku masih membencimu.

Lingkungan itu. Aku mulai merasa tak nyaman.
hidup itu, aku mulai muak

Malam itu aku menikmati bangku taman baru di kampusku. Aku tertawa bersama teman temanku. Aku bahagia. Kau harusnya paham itu rembulan. Tapi kenapa sekali lagi kau datangkan dia padaku?

Lingkungan itu. Tak ada satupun yang benar benar membelaku. Rembulan, apa kau tau ketika aku terkapar lemas waktu itu. Kenapa aku hanya terpaku dan tak melawan ? seharusnya kau biarkan aku berdiri rembulan. Kau egois, hanya diam. dan kau biarkan itu terjadi berulang kali.

Rembulan, apa kau bisa membaca? Setiap apa yang aku tulis bertahun tahun belakangan ini? Jika kau pandai membaca, pasti kau tahu betapa sulit aku menerima semua ini. Ketika mendengar dia benar benar sudah berbadan dua. Lagi lagi berita bayu merasuk dalam telingaku.

Rembulan, apa kau bisa membaca? Setiap apa yang aku tulis sejak bertahun tahun lalu sekjak kejadian itu? Jika kau pandai membaca pasti kau tahu kenapa emosiku tak setabil ketika memasuki bulan kelahiranku ini.

Rembulan, apa kau bisa membaca? Setiap apa yang aku tulis sejak bertahun tahun lalu sekjak kejadian itu? Jika kau pandai membaca pasti kau mengerti kenapa aku bias membenci tanggal yang sebelumnya pernah aku nanti nanti.

Rembulan, sebentar lagi 22 oktober dan aku harap di hari itu aku benar benar tertidur pulas seharian, agar aku tak mampu mengenang pahitnya tanggal itu di beberapa tahun lalu.

Wednesday, October 8, 2014

Putaran Dadu

Aku pernah menangis menderu manatap langit.
Aku pernah tertunduk lemas menikmati pertempuran sengit.

jika kala itu angin bukan sekedar hembusan udara.
jika saja cahaya kala itu tak mampu pancarkan beraneka ragam warna.

kelak jingga tersulap gelap
kelak api kan kobarkan hati

andai berangan bukan bagian dari mimpi.
aku pasti masih mampu berdiri saat ini.

aku pernah membuka mata dan berjalan menyusuri kegelapan malam.
aku pernah menutup rapat mata dan melangkah diiringi terangnya cahaya.

Lepaskan aku dari semua jeratan ini.
telah lelah aku mengadu.
telah letih aku merasa perih.
hentikan semua putaran dadu-Mu

Monday, October 6, 2014

Bulan Tak Bercahaya

Apa aku harus berteriak agak kau dengar?
Harus kulantangkan suara agar kau paham?
kujelaskan dengan terpapar agak kau megerti?
bukankah sudah bertahun tahun ini aku memohon padaMu?


seekor capung terbang rendah tak jauh dari tanah
seutas tali terikat menahan ekornya.
memberatkan langkah menutup semua kebahagiaan luar
keindahan hanya impian belaka


Tuhan aku sakit, tertusuk tepat dan tak dapat menjerit.
Tuhan aku sakit, teriris perih membelah pedih.
Tuhan aku sakit, sesak dada tak dapat cahaya.


setetes airmata mengalir perlahan 
sedikit membasahi rerumputan
mengejutkan deretan semut pekerja.
kenapa bulanku tak lagi bercahaya?

doaku hari ini padamu Tuhan.
ketika ilalang sibuk menikmati senja
ketika ribuan pasir bersorak menikmati jingga
ketika sang surya mulai perlahan tak lagi tampak mata.
ambil nyawaku, tak kan ada yang menahan.

Thursday, October 2, 2014

Melangkah Berpasangan

melintas dengan tawa, tersenyum lepas
berguman dalam lirih sesekali terbahak riang
berbagi canda menikmati indahnya malam kota Jogja
seperti itulah keindahan dalam kehidupannya

kulempar pandanganku jauh melampaui awan.
apa itu awan? itu kegelapan sempurna
terbias senyum, tergambar tepat di langit kota
senyum sempurna dan aku selalu merindukan.

menusuk pelan jauh dalam hati
aku berjalan sendiri, melangkah tak sempurna
hanya separuh, iya hanya separuh
dan tak sempurna menurutku

lagi,,,,,
melangkah berpasangan, tangan mereka menyatu
bersatu layaknya gugusan pulau pulau membentuk Indonesia
bersatu layaknya pejuang memepertahankan kemerdekaan Negri.

Aku melangkah berpasangan
terbentang jarak terbentang tembok tebal pembatas
kami melangkah berpasangan
perasaan kami bersatu dalam cerita cinta tak tertepis
Kita melangkah berpasangan
dalam bangga sebuah jalan tanpa saling menatap paras



Pengembara

Desir berhembus mulai membelai
membelah uraian terbelah lembut
mengiringi deru kian menderu
memecah kesunyian nan rapatkan keheningan

masih berbaring sosok lelaki tua itu
koran lusuh terkoyak pantat
keramaian kota Jogja tampak sendu
kebahagiaan terasa berbaur kotor dalam penat

gemerlap kota istimewa menyambut pelancong
indahnya malam berbias bintang tak mengusik tidurnya
beberapa kali terbangun terganggu segerombolan bencong
dalam hatinya mengaduh, sejenak dan kembali terbaring tubuhnya

Indonesia ini milik siapa?
nampak gagah berlambang garuda
nampak anggun bermahkotakan Papua
nampak gemerlap kehidupan ibu kota disana.
lantas negri ini milik siapa?

langkahku terhenti di bawah sinar lampu jalanan malioboro
sungguh ramai kota ini, tertata rapi bak kamar sang putri.
tepat mengenai paras lelaki tua itu, bayanganku ketika aku berhenti melangkah.
inilah kehidupan, ketika seseorang mendapatkan cahaya nan indahnya
seseorang lain harus menikmati kegelapan karenanya,

kusebut pengembara
kusebut pejuang hidup
miskin bak Indonesia
renta bak tatanan hukum negri