2008 ~ pratamagta

Thursday, December 25, 2008

Seorang Perempuan Yang Tak Bisa Berdekatan Dengan Yang Ghaib

Entah mengapa perempuan itu selalu kesulitan berdekatan diri dengan yang ghaib.

Ada nafsu jahat yang ia tahu mencoba menyelingkupi hati, untuk setiap kata ghaib yang hadir di beranda pikirannya. Melalui matanya, telinganya.
Kata dalam tulis yang ia baca, dalam suara yang ia dengar.

Kadang bersuara ketus bibirnya tak tertahankan : Busuk!
Dan nafsu jahat yang membuat ia, perempuan, tak pernah kunjung menyesali ucap kata itu.

Ia tak pernah takut. Itu satu sebab.

"Di dunia ini aku hanya takut pada dua orang, orang lain dan diriku sendiri"
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
"Belum. Tidak. Semoga tidak pernah. Tidak akan pernah"

Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan waktu malam-malamnya duduk sendiri di tempat-tempat sunyi.
Toh tak ada yang ia takuti.
Yang biasa membuat orang gentar hati.

Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan tenaga dalam darahnya untuk menarik urat bibirnya membentuk seulas senyum.
Toh tak ada risau.
Yang biasa membuat orang galau.

"Betul tak ada lagi yang kau takuti ?"
"Yup."
"Pasti?"

Hening sekejap.
Setitik cahaya berpijar di relung sel kelabunya.
Menerangi sebersit pemikiran yang menggangunya.

"Ada juga aku takut pada alam."
"Alam?"
"Hewan, tumbuhan, gunung dan lautan."
"Oh.. that's great. Satu kemajuan."

Hening sekejap.
Satu tanya tak terjawab terulur lagi, menanti.

"Tak takut pada ghaib yang itu?"

Jawabnya tidak lagi sama.
Karena kini ia, perempuan, hanya mengurai benang kusut dengan satu kata.

"Tidak"

Jadi, ia, perempuan itu, lebih menghabiskan waktunya bercocok di kebun.
Menyiangi alang.
Membunuhnya dengan cinta.
Cinta pada Rose.
Pada Melati.
Pada Mengkudu kendati baunya apek sekali.

Jadi ia, perempuan itu, menghabiskan waktunya berkandang di pekarangan.
Menjumput kotoran.
Menciumnya dengan rasa.
Rasa pada hewan kecil yang mulai menua.
Pada musuh alaminya.
Pada kutu.
Pada mahluk buas bertaring yang menyalak nyaring.

"Aku takut pada ghaib yang itu"

Ia, perempuan menjawab tanpa hasrat.

"Itu bodoh bagiku"

"Tapi kemarin di televisi..."

"Kotak kaca itu berharga. Harga yang berbayar dengan tertutupnya kalbu."

"Kau belum lihat, kemarin lelaki bersorban putih itu begitu nyata, menunjukkan kuasa yang ghaib atas manusia"

"Aku lebih takut padanya, ketimbang pada ghaib yang ditunjukkannya."

"Benar?"

"Ghaib yang itu? Ya."

Jadi ia, perempuan, malam itu kembali ke peraduan.
Bersiap untuk menyatakan diri di pertengahan malam.
Untuk mengucap kata-kata isyarat, yang selalu sarat dengan asanya.

Tolong berikan hidayah pada temanku.
Ia terlalu takut pada ghaib yang itu.
Ia menafikan kuasaMu.
Menyempitkan kehadiranMu hanya dalam alam astral.
Melupakan sosokMu dalam diri setiap orang yang Kau ciptakan atas citraMu.
Mensia-siakan karyaMu dalam alam, dalam hewan, dalam manusia.

Ia lebih takut pada ghaib yang itu.
Yang ditangkap lelaki bersorban, diperangkap dalam
botol kaca, dilepaskan dalam hatinya.
Tolong berikan hidayahMu.

Jadi, ia, perempuan itu, tak kunjung berdekatan dengan yang ghaib.

Ghaib yang itu.

Sentaby,

The Rose: The Past That Shakes The Future 1

1820 Dublin, Ireland

Lincoln amat bahagia. Karena, dua bulan lagi, ia akan memiliki anak yang akan menjadi putra mahkota.

Dominique dan Monalisa memang tengah hamil tua. Kedua istri Lincoln, yang salah satunya nanti berhak menjadi permaisuri yang agung. Syaratnya, harus melahirkan anak laki-laki duluan.

Suatu hari, Dominique didatangi oleh seorang wanita bernama Rah Digga. Ia peramal yang datang jauh dari luar kota Dublin. Ia mengagumi Dominique, dan ingin Dominique jadi permaisuri.

Rah Digga : “Dengan berat hati, hamba katakan.. bahwa anda akan menjadi permaisuri dengan cara anda sendiri.”
Dominique : “Apa maksudmu?”
Rah Digga : “Anak anda akan segera lahir. Tapi.. dia bukan laki-laki..”
Dominique terkejut. Ia sudah berambisi menjadi permaisuri sejak awal menikah dengan Lincoln.
Dominique : “Lalu.. apa yang harus aku lakukan?”

2 bulan kemudian..

Dominique melahirkan terlebih dulu. Ramalan Rah Digga benar. Ia melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi.. Dominique dan Rah Digga sudah mengatur segalanya.

Rah Digga telah menyiapkan bayi laki-laki yang baru lahir, dan menukarnya dengan bayi perempuan Dominique.

Monalisa melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik, bernama Jean.

Bagaimana nasib bayi perempuan Dominique yang entah ada di mana sekarang ini..?

17 Tahun Kemudian

========

1837 London, UK

Ivan : “Gaun ini adalah rancangan terbaru saya. Pasti anda akan terlihat sangat cantik.”
Ia menunjuk sebuah gaun yang dipajang di ruangan butiknya. Dengan lemari yang bercat merah muda, gaun berwarna putih itu terlihat sangat anggun dan elegan.
Wanita yang dipuji itu pun tersenyum.

Dari luar jendela kaca, seorang gadis muda melihat mereka. Ia menempelkan kedua tangannya ke kaca, agar sinar matahari pagi yang menyilaukan itu, tidak menghalangi panadngannya.
Rose : “Aku ingin bisa seperti wanita itu.”

Kemudian..

“Rose! Ayo, cepat!”
Temannya yang sesama gadis muda menarik tangannya.
Livia : “Kita tidak boleh terlambat lagi. Nanti kita dihukum. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
Rose : “Iya, aku tau. Kau jangan bicara lagi.”

Mereka berdua berjalan melewati jalanan yang basah. Semalam hujan memang turun membasahi kota ini, tapi tidak begitu deras. Hanya gerimis, dan baru berhenti subuh tadi.

Rose dan Livia bersekolah di sebuah lembaga pendidikan mahasiswa, untuk warga yang tidak mampu.

Rose dan Livia tinggal di pinggiran kota London. Orang tua Rose, John dan Tanya Tucker, adalah sepasang suami-istri sederhana dan bersahaja. John bekerja di tambang batu mulia. Sedangkan Tanya, ibu rumah tangga biasa yang baik dan lembut.

Lagi-lagi, Rose dan Livia terlambat. Karena jarak antara rumah mereka dengan tempat mereka sekolah, agak jauh.

Ms. Frida, guru kelas mereka sudah menyambut bersama sebilah rotan yang diayun-ayunkan di tangannya.
Ms. Frida : “Alasan apa yang bisa kalian katakan padaku, kenapa kalian terlambat lagi?”
Livia berdiri di belakang Rose.
Ms. Frida : “Ayo, jawab!”
Rose : “Ma, maafkan kami. Ng.. ini salah saya. Tadi, waktu kami berangkat sekolah, saya melihat seorang wanita cantik di butik Tuan Ivan. Saya benar-benar kagum. Hingga tak menyadari, kalau sudah siang.. saya benar-benar mengagumi kecantikannya, dengan gaun yang indah.. sekali.”
Rose hanyut dalam lamunan. Namun, sentuhan kasar rotan yang menempel pada kakinya, membuat lamunan itu buyar seketika.

Jalanan kota London sedang ramai dengan atraksi karnaval. Menjadi iring-iringan kereta kencana milik Ratu Elizabeth.
Rose dan Livia baru pulang sekolah, dan menonton atraksi tersebut. Sederet pasukan drum band memainkan drum dan terompet dengan lagu yang semarak.
Gadis-gadis akrobat sedang memeragakan atraksi mereka, dan membentuk formasi-formasi yang keren.
Rose : “Wah.. bagus sekali!”
Lalu, Rose melihat seorang wanita di dalam salah satu kereta kencana. Wanita itu yang tidak di butik Tuan Ivan. Cantik sekali.
Saat Rose tengah hanyut dalam lamunannya, tiba-tiba..
“Awas!!”
Seorang pemuda menyambar tubuh Rose, dan mereka sama-sama jatuh ke trotoar.
Rose : “Aduh!!”
Ia memegangi lengan kanannya. Sikunya berdarah. Bajunya kotor terkena lumpur.
Rose : “Kau ini.. apa-apaan?!”
Livia menghampiri mereka.
Livia : “Rose.. Kau tidak apa-apa?”
Ia membantu Rose berdiri.
Rose : “Kalau bukan karena dia.. aku pasti sudah baik-baik saja.”
Ia menunjuk pemuda itu, dengan tidak lembut. Ia benar-benar sangat kesal.
Livia : “Maksudmu..?”
Rose : “Dia mendorongku..!”
Pemuda itu sibuk menyangkal. “Bukan begitu, Nona.. tadi.. kau..”
Livia : “Tadi, kau hampir saja ditabrak kereta kuda. Untung saja, dia menolongmu.”
Pemuda itu tersenyum. Lega rasanya, karena Livia menjelaskan yang sebenarnya.
Rose menatap pemuda itu.
Rose : “Ya sudah.. terimakasih.”
Ia tetap tidak ramah pada pemuda tersebut. Lalu menggandeng Livia, dan pergi.

John dan Tanya Tucker sedang terlibat obrolan serius di rumah kecil mereka.
John : “Aku dipecat.”
Raut wajahnya yang keriput, semakin mengkerut, dilanda rasa sedih.
Tanya : “Apa?! Kenapa bisa begitu?”
Ia duduk di samping sang suami.
John : “Ya.. karena aku sudah tua dan lamban.”
Ditatapnya sang istri dengan mata merahnya, yang menunjukkan lelah dan penat sedang melingkupi ruang jiwanya.
Tanya : “Hanya karena itu? Lalu.. apa rencanamu?”
Wanita itu mencoba mencari solusi untuk masalah ini.
John : “Kita kembali ke Irlandia.”
Solusi yang tepatkah? Pertanyaan itu muncul di benak Tanya. Menurutnya, kembali ke Irlandia, sama saja dengan bunuh diri.
Tanya : “Kau sudah gila? Kita tidak bisa kembali ke sana.”
Suaranya mulai meninggi. Namun, suaminya tetap menyabarkan hatinya.
John : “Dengarkan aku, Sayang.. Dengan kembali ke Irlandia, kita bisa dapat banyak uang tanpa harus bekerja. Kau pasti sudah tau bagaimana caranya.”
Tanya terdiam. Lalu tersenyum.
Tanya : “Ya.. ya.. kalau begitu, aku setuju.”

Dublin, Irlandia

Suara derapan langkah kaki kuda menggema di padang rumput di lereng Pegunungan Kerry.
Damian, si putra mahkota Kerajaan Irlandia, sedang melakukan aktivitas berburunya, bersama sahabatnya, Leigh. Mereka dapat seekor rusa yang besar.
Damian : “Berburu kita minggu kemarin tidak dapat apa-apa.”
Leigh : “Tapi, dijadikan satu dengan hari ini..”
Mereka tertawa.
Dari lereng Pegunungan Kerry, menuju istana sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, dasar Damian yang nakal, ia suka keluyuran, dan tidak langsung kembali ke istana.
Leigh : “Damian, sebaiknya kita kembali ke istana saja.”
Damian : “Iya, nanti kita pulang setelah bersenang-senang.”
Damian memacu kudanya ke desa Ballsbridge. Sebenarnya tidak layak disebut desa, karena tempatnya sangat mewah, di pertengahan kota. Di sana ada sebuah bar favorit Damian. Namanya L’s Bar. Sebenarnya, Damian belum cukup umur masuk ke bar. Usianya masih 17 tahun. Tapi, Lucifer, si pemilik L’s Bar itu adalah teman baik keluarga kerajaan. Ia terpaksa mengizinkan Damian masuk barnya, dan minum Whiskey, atau sekedar meneguk segelas Martini dingin.

Hari itu, Lucifer kedatangan seorang tamu wanita. Namanya Sinead. Dia kekasih Lucifer.
Melihat Lucifer dan Sinead bermesrahan membuat Damian. Ingin berbuat jahil. Damian mendekati Sinead dan berkata.
Damian : “Hai, Nona.. apa benar, kau menyukai Lucifer?”
Ia memulai kejahilannya dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Dengan suaranya yang masih seperti anak kecil, yang di sok dewasakan.
Sinead : “Tentu saja. Kenapa memangnya?”
Wanita itu menjawab dengan senyuman malu-malu, dan wajah yang merah merona.
Damian : “Perlu kau tau.. Lucifer itu, sudah memilih calon istrinya. Dia sangat cantik. Namanya Trinidad. Kalau dibandingkan denganmu.. kau terlihat biasa saja.”
Wajah Sinead yang tadinya merah merona, berubah jadi merah padam. Rasa malu-malunya pun berbalik jadi amarah yang naik ke ubun-ubun.
Lalu..
Sinead : “Lucifer!!”
Ia menghampiri Lucifer yang sedang melayani tamunya.
Lucifer : “Ada apa, Sayang?”
Ia menyahut dengan senyuman manis dan suara yang super mesrah.
Tapi.. Byurr!! Segelas bir disiramkan ke wajahnya, oleh Sinead.
Sinead : “Rasakan itu!”
Wajahnya masih merah padam. Seperti seekor banteng, yang hidung dan telinganya keluar uap.
Lucifer : “Sa, sayang.. ada apa ini?”
Sinead : “Siapa itu Trinidad?”
Ia sama sekali tidak lembut.
Lucifer : “Ibuku.”
Sinead : “Bohong! Dia calon istrimu yang sangat cantik itu, kan?”
Lama-lama ia jadi gemas, saking kesalnya.
Lucifer melotot. Ia bingung dengan yang dikatakan oleh Sinead. Lalu, ia mendengar suara tawa. Itu tawa Damian. Lucifer mengampirinya, sambil menarik tangan Sinead. Matanya melotot. Ia sangat marah.
Lucifer : “Damian..!!”
Damian : “Huaaahhh..!!”
Suara Lucifer sangat memekakan telinga.
Damian : “Ampuni aku, Lucifer..”
Lucifer membuat Damian harus menimba air sumur, di belakang bar. Sedangkan Lucifer sendiri kembali bermesrahan dengan Sinead, yang sudah tau, kalau Damian itu jahil sekali.
Hingga Sinead pulang, dia tidak juga menyuruh Damian berhenti melakukan itu.

to be continue

Cerita Fina

Sepertinya ada yang eneh dengan Hendra dan Runa hari ini, tak seperti biasanya mereka tak banyak bicara. Jangan kan bercanda atau sekedar melakukan lelucan, mengobrol ringan saja tampaknya mereka enggan, dan itu membuat saya semakin penasaran. Wajah lesu mereka menandakan mereka juga mempunyai masalah, tapi mereka tak mau jujur dengan saya.
Malam harinya juga tidak datang, padahal mereka tidak pernah telat. Kami selalu kumpul di kafetaria, tempat faforit kami saat malam hari. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Namun saat di depan pintu saya menemukan sosok Roni yang sedang menuju ke arah saya sambil tersenyum manis.
“ Sudah mau pulang?” tegur Roni pada saya yang masih tak percaya dengan apa yang saya lihat. “ Ada yang mau saya bicarakan, kamu nggak lagi sibuk kan?” sambungnya. Saya menggeleng, ia kemudian meuntun saya masuk dan duduk di kursi.
“ Jika saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, izinkan saya untuk mengucap maaf.” Tuturnya memulai pembicaraan.
Ia memegang kedua tangan saya, kemudian meletakkan sebuah kotak kecil di telapak tangan saya.
“ Dan cincin ini sabagai saksi dari ucapan saya.” Ia membuka kotak kecil yang berisi sebuah Cincin berhiaskan permata kecil warna pitih. Cincin itu sangat indah, dan saat ia memasukkannya di jari manis saya rasanya seakan membuat hati saya berbunga-bunga.
Saya begitu terharu hingga tak terasa butiran air mata mulai membasahi kedua pipi saya.
“ Saya lah yang seharusnya minta maaf, karena tidak bisa membuat kamu bahagia. Saya nggak pernah mau tahu tentang perasaan kamu yang terluka saat saya lebih mementingkan sahabat dari pada kamu.” Roni memeluk saya erat, seolah tak ingin melepaskan saya lagi.
“ Kami berdua yang salah dan seharusnya kamilah yang minta maaf.” Seseorang berkata dengan sangat menyesal dari samping kami.
Mendengar itu rangkulan Roni melepas rangkulannya. Hendra, Runa, dan Monika berdiri di hadapan kami. Tampaknya mereka mendengar pembicaraan kami, atau mungkin mereka yang justru merencanakan pertemuan kami ini.
“ Sedang apa kalian di sini?” tanya saya antara kaget dan tak percaya.
Monika hanya tersenyum kemudian duduk bersama kami. “ Anggap saja ini surprize buat kamu.” Jawab Monika santai.
“ Roni, kamu kayak nggak kenal kami aja. Denger ya, kami itu kalau nggak ditegur makin jadi-jadi. Makanya kalau kamu diam-diam aja kami nggak pernah tahu kalau ternyata selama ini kamu nggak suka kedekatan kami.” Tegur Runa pada Roni.
“ Benar. Lagian apa susahnya sih ngomong gitu? Takut kami marah, terus mukulin kamu?” sambung Hendra.
“ Saya nggak pernak melarang hubungan kalian, hanya kalian terlau dekat. Melebihi kedekatan saya dengan Fina.” Jawab Roni jujur.
“ Kalian berdua juga sama-sama salah, kayak nggak pernah pacaran aja. Bagaimana kalau seandainya kamu jadi Roni, apa kamu bisa sabar?” Monika menengahi.
Saya hanya bisa tersenyum, ternyata letak permasalahan bukan hanya pada saya dan Roni, tetapi puncaknya justru tertuju pada Hendra dan Runa. Kami sama-sama salah karena tidak pernah mengerti dan memahami perasaan masing-masing. Padahal kami saling menyayangi, tapi tak pernah mau tahu tentang apa yang ada di hati.
Saya tahu ini semua siasat Monika agar kami bisa bersatu kembali. Ternyata Monika memang orang yang tepat untuk di jadikan seorang sahabat, karena hanya dialah yang mengerti perasaan kami.
Roni, cowok ganteng yang pendiam. Tapi keberaniannya mengungkapkan isi hatinya di depan banyak orang membuat saya terharu dan sangat mengaguminya. Hingga akhirnya ia benar-benar membuat saya jatuh cinta. Walau pribadi kami jauh berbeda tapi dia cowok baik yang rela bersabar, dami mempertahankan cinta kami.
Hendra dan Runa adalah sahabat saya sejak duduk di bangku SMP, entah mereka serius atau tidak, yang jelas dulu mereka pernah bersaing untuk mendapatkan cinta saya. Walaupun akhirnya hanya bisa bersabar karena cintanya saya tolak. Bagi saya persahabatan kami lebih berharga dari pada harus bertengkar demi memperoleh satu hati yang pada akhirnya membuat orang yang satunya sakit hati.
Sedangkan Monika, sahabat lama saya. Tinggal berdampingan dengan rumah saya. Tak pernah terpisahkan, karena hanya dialah satu-satunya pembangkit semangat saya agar terus maju. Selain itu ia juga gadis yang cantik, tak heran jika banyak yang menawarkannya untuk menjadi pendamping Monika, sebagai seorang kekasih tentunya. Monika memang patut di acungi jempol, kesetiaannya terhadap kekasihnya yang kini berada jauh di Jakarta ternyata tak membuatnya melirik pria lain.
Betapa bahagianya memiliki mereka, kasih sayang kami tak ternilai harganya. Tak dapat dibayar dengan apapun juga, dan semoga semuanya kekal abadi selamanya.


(End)

CHAPTER 1:SI PETASAN INJAK

"Mas Ray!"
Petasan injak itu lagi!
"Lho, kok Mas Ray cuek begitu sih?" Kishi menarik kursi ke dekat Ray. "Aku kan nggak pernah dapat B. Selalu C, itu pun setelah belajar sampai jungkir balik."
"Kalau tidak bisa kimia, kenapa nekat masuk Perminyakan?"
"Kalau tidak masuk Perminyakan, tidak akan ketemu Mas Ray kan?" Kishi tersenyum manis.
Gadis ini! gerutu Ray dalam hati. Selalu saja bisa menangkis semua kata-katanya. Ray menoleh. Menatap ke arah Kishi sekilas. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau kehadirannya benar-benar mengganggu konsentrasi Ray.
"Kemari cuma mau lapor hasil ujianmu?"
"Mas Ray keberatan aku datang kemari, ya?" Kishi menatap profil samping Ray. Cowok itu masih saja menatap lurus ke arah kanvasnya.
"Bisa kan menjawab pertanyaan dulu sebelum bertanya balik?" tegur Ray.
Kishi terkekeh. "Habis, Mas Ray nanyanya seperti mau ngusir."
Aku memang mau mengusirmu! geram Ray dalam hati. Setiap Kishi muncul, lukisannya pasti terbengkalai. Tidak pernah selesai. Ada-ada saja permintaan gadis itu. Minta diajari kimia. Mencari buku. Kaset. Nonton bioskop. Segalanya, bahkan sampai makan!
Dan dengan caranya sendiri, Kishi selalu berhasil membuat Ray menuruti keinginannya.
"Mas Ray sudah makan?"
"Sudah."
"Aku belum. Temani aku makan keluar, yuk."
"Aku sedang melukis," tolak Ray.
"Nanti kan bisa diteruskan lagi. Ayo dong, Mas Ray! Tidak kasihan melihatku kelaparan?"
"Kamu kan bisa makan sendiri."
"Ah, mana enak makan tanpa teman."
"Kenapa tidak makan dulu sebelum kemari?" gerutu Ray tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Aku mau traktir Mas Ray. Kan ujianku dapat B karena diajari Mas Ray."
"Aku tidak minta bayaran. Simpan saja uangmu."
"Mas Ray kok menolak niat baik orang?"
"Lukisanku belum selesai."
"Nanti bisa dilanjutkan. Kutemani, deh."
"Tidak usah," tolak Ray cepat. "Nanti malah lebih tidak selesai."



"Nanti ke rumah Ray?"
"Mungkin. Kenapa?"
Tito mengeluarkan amplop coklat dari dalam ranselnya. "Titip ini buatnya. Dan ingatkan dia, Kish. Wisudanya bulan depan. Dia harus datang mengurus administrasi. Jangan lupa bawa foto."
"Oke."
"Trims." Tito melambai sambil menjauh.
"Kenapa harus kamu yang merawat bayi besar itu?" tanya Warnie setelah Tito berlalu. "Mengingatkannya makan. Bahkan sekarang mengingatkan untuk acara wisudanya. Sementara dia sendiri tidak ingat apa-apa selain melukis."
"Bayi besar yang mana?"
"Tentu saja Ray! Siapa lagi?"
"Oo." Kishi tersenyum manis. Kalau bukan aku, siapa lagi? Lagipula, Mas Ray banyak membantuku."
"Kimia?" Warnie mencibir. "Sebenarnya tanpa dia pun kamu bisa."
"Biar saja. Mas Ray toh tidak keberatan."
"Apa yang kamu cari darinya, Kish?"
"Tidak ada."
"Kamu tidak sedang jatuh cinta padanya, kan?"
"Tidak!"
"Kamu terlalu cepat menjawab."
Jatuh cinta? Kishi bahkan tidak pernah memikirkan itu. Dia cuma merasa senang berada di dekat Ray.
"Apa dia tidak terlalu tua untukmu, Kish?"
"Kamu ini bicara apa, sih?!" Kishi mendelik. Mulai sebal dengan Warnie yang nyinyir.
"Aku cuma kasihan melihatmu. Selama ini selalu kamu yang menghampirinya. Memperhatikannya. Apa dia pernah bertindak sebaliknya?"
Kishi terdiam. Memang tidak pernah, jawabnya dalam hati.
"Aku tidak menuntut apa pun," sanggah Kishi. Tapi dia tahu hatinya tidak yakin.
"Kamu tidak jujur."
"Jangan bicara lagi, Nie!"
"Kalau kamu menghindar terus, semua bisa terlambat. Dia terlalu tua untukmu. Kamu bahkan baru duduk di semester pertama sementara Ray sudah lulus."
"Kami cuma berbeda lima tahun!"
"Lebih baik mencari yang seumur denganmu. Yang mendekatimu banyak, Kish. Buat apa mengejarnya terus kalau dia tidak mencintaimu?"
"Aku tidak bilang aku jatuh cinta padanya."
"Suatu saat pun kamu pasti sampai pada kesimpulan itu."
Benarkah?
"Kish, aku bisa bicara begini karena aku kenal Ray dengan baik. Aku sudah berteman dengannya sejak dulu. Bahkan saat dia masih bersama Ika. Dia sangat mencintai gadis itu."
"Aku tahu."
"Bahkan mungkin sampai sekarang," lanjut Warnie hati-hati. "Kukatakan ini karena aku tidak mau kamu terperangkap. Kamu teman baikku, Kish. Aku tidak mau melihatmu terluka tanpa ada yang bisa kulakukan."
Lalu dia harus apa?!
Kishi bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan tidak tahu apa benar dia jatuh cinta pada Ray, seperti yang dikatakan Warnie? Namun hati kecilnya membenarkan sebagian besar yang dikatakan Warnie.
Apa dia harus mencoba menjauh dari Ray, sekadar mencari tahu apa Ray peduli padanya? Lalu bagaimana kalau ternyata Ray memang tidak mencarinya, kalau ternyata bagi cowok itu seorang Kishi memang bukan apa-apa?
Kishi tidak berani membayangkan.
Dia bahkan tidak berani memikirkannya.


BIODATA PENULIS




Siauw Phing, lahir di Jakarta. Perempuan cantik berdarah Tionghoa ini sangat produktif melahirkan cerpen bertema cinta di berbagai media cetak nasional. Tema ceritanya mengalir manis dan natural khas meremaja. Bersama Nurhayati Pujiastuti — penulis asal Solo, ia sangat fasih bermain dalam plot yang dibangun lewat dialog-dialog cerdas sang tokoh karakter ceritanya. Karyanya paling banyak dipublikasikan di majalah Anita Cemerlang. Ia juga merupakan salah satu pengarang yang sering menjadi nominator di LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang.

Saturday, November 29, 2008

Answer to J.Wire(lihat di buku tamu)

Hemm….. heuy muane,,,
Maaf banget y jarang up date crita2 baru cZ aku mang masih konsen wat lomba cipta novel 2009 ma ujian nie,,, doain aku y kawan,,
Ni ada 1 lagi kisah nyata dari teman kita yang udah critain semua kejadian yang oa alami lewan imail p[ada aku dan atas seijinnya, aku mulai menjadikan cerita itu sebuah cerpen,,,,
Jangan lupa kritik dan sarannya ya teman,,,


Hujan sore ini, laksana panah-panah cair yang dilesatkan awan dari hamparan lembaran angkasa yang kelam terselimut mendung. Angin semilir merayap menelusuri setiap titik-titik udara, menjalar sepanjang nafas yang menggigil menahan dinginnya cuaca, yang seolah menampar asaku yang semu, menghantam hatiku yang sendu.
Disini, aku duduk menyendiri, di pojok teras rumahku yang berdinding bilik. Masih teringat jelas, tanggal 2 September lalu, aku pertama kali bertatap muka dengannya. Sungguh, aku langsung jatuh cinta. Seakan hari-hariku menjadi segegap gempita malam berhiaskan bintang gemintang, dengan puluhan kembang api yang serentak meledak. Sungguh memesona.
Namun, hari ini, ditemani gemerisik hujan dan belaian angin senja, kesedihan menerkamku tiba-tiba. Pedih, ingin rasanya aku terbang layaknya merpati, meliuk-liuk di langit berhias surya, berharap segala yang aku alami, terbakar panasnya pancaran mentari, bebas lepas seolah aku tidak pernah mengenalnya, seseorang yang telah mencabut paksa hatiku dan memutilasinya tanpa perasaan!!
Namaku Rangga, seorang remaja yang baru merasakan, betapa sakit cinta itu sesungguhnya, serupa penyiksaan ala PKI dalam tragedy lubang buaya; hati disayat tipis oleh tajamnya derita, dan raga disiksa para algojo abstrak bergelar pembantai asmara.
Tidak lama berselang, terlihat samar-samar sebuah siluet yang menantang hujan di ujung jalan sana, sembari setengah berlari berlindungkan payung. Semakin dekat semakin jelas terlihat bahwa dia ternyata Dela, teman dekatku dari SD. Dia tersenyum, memamerkan lesung pipit yang tertempel dipipinya, yang terbebas dari serbuan jerawat-jerawat nakal, ketika sudah sampai di depan pagar. Aku menghampirinya dan membuka pagar kayu, pembatas duniaku dan dunianya, sembari menyapa lirih.
“Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumsalam.” jawabnya halus, lembut. Seakan pita suaranya adalah kumpulan sulaman-sulaman berbahan sutra.
“Del, tumben kesini. Hujan-hujan lagi.” Kataku dengan tangan diatas kepala menahan gempuran air hujan yang semakin membabi-buta tak keruan. “Ada apa?” Aku mengajak Dela duduk di teras, menghindari serbuan tembakan beruntun air hujan yang tak kenal ampun.
Dela menyerahkan bungkusan misterius padaku. “Nih, Laskar Pelangimu kebawa sama aku. Niatnya sih, mau dikembaliin tadi di sekolah, tapi kamunya minggat gitu aja.” Aku tersenyum simpul, dan mengucapkan terima kasih padanya yang telah rela menembus sekat pembatas antara kering dan batas, untuk mengembalikan novelku ini. Memang, rumah Dela lumayan dekat dengan rumahku, jadi wajar saja jika Dela sering main ke rumahku.
“Oh iya. Gina gimana? Udah kamu tembak?” Ekspresiku berubah seketika, secepat membalikan telapak tangan. Tak segera kujawab pertanyaannya. Hening sekejap, dan akhirnya aku angkat bicara.
“Aku ditolak.” jawabku lirih, sendu. Tak berani kutatap wajah Dela yang terperangah, terlalu malu, terlalu pedih. Kesedihan menyeretku kedalam ruangan penuh air mata pilu. Aku seakan terhisap lubang hitam yang kemudian melemparku ke dimensi gelap gulita tanpa cahaya.
“Masa? Kamu ditolak?” air mukanya memancarkan keheranan yang meluap-luap, tak terbendung. “Emang, apa alasannya sampai kamu ditolaknya?” pertanyaan yang membuatku sesak untuk beberapa saat.
“Katanya, dia sudah punya pacar, dan tak kusangka seperti tertusuk jarum suntik berkali-kali, pacarnya adalah Randy, sobatku yang kusangka baik, tapi ternyata palsu, menusukku dari belakang, merebut harta karun yang telah kucari dan kudapatkan dengan susah payah.” jelasku tanpa semangat.
Dela diam, sunyi, tanpa suara. Seakan dia mengerti, betapa hancur harap dan cita yang tercecer berantakan dalam nalar dan logika. Kemudian, Dela tersenyum penuh arti.
“Kalau gitu hasilnya, lebih baik kamu lupakan saja cewek itu. Jangan pernah lagi memikirkannya, toh dia juga tak pernah memikirkanmu. Hapus segala kenangan pahit dan songsong hari esok dengan senyum memesona, jangan terlalu larut dalam derita.” Nasihatnya membuatku tenang, seakan lantunan katanya menggusur hatiku, meninggalkan aura sendu sedan, ke alam berhias bunga mewangi dan kesejukan sepoi angin yang bersemilir merasuki setiap segmen rasa rindu yang kian menggebu.
Ketika kulirik dan kuperhatikan seksama, paras Dela ternyata tak kalah ayu dibanding Gina. Bahkan Dela selalu menemaniku disaat sedihku, ada disampingku disaat ceriaku. Pelan perlahan, bubuk-bubuk asmara bertaburan disekitarku, melayang istimewa karena diterpa angin badai seperti apapun, bubuk itu tak bisa terhempas begitu saja. Setidaknya, itu menurutku.
Memang terasa begitu cepat, perasaan ini terlalu dini untuk singgah dihatiku saat ini. Namun ini cinta yang tak pernah kita tahu kapan datangnya dan pada siapa akan bersinggah.
Melihatku menatapnya, Dela tersenyum, “Ada apa? Ko ngeliatinnya kaya gitu, sih.”
Jujur, untuk melupakan Gina, aku perlu waktu yang lamanya mungkin tak pasti. Aku tidak bisa begitu saja pindah ke lain hati, walaupun kini tiba-tiba dirongrong rasa cinta untuk yang kesekian kali.
“Del, aku tak kuat, melepuh sendiri. Yang kubutuhkan sekarang, hanya seseorang yang mampu membangkitkan semangatku, seperti dulu. Saat semua ini tak pernah terjadi. Dan aku telah menemukannya sekarang.” kataku tanpa ragu.
“Siapa itu?” tanyanya spontan.
“Kamu.” jawabku singkat, dan jelas terlihat Dela setengah terkejut, seakan kakinya tergigit tarantula tanpa bisa.
“Aku? Gak salah?” ujarnya sambil tersenyum simpul.
Aku pegang tangannya dan berucap, “Sungguh, aku serius. Maukah kamu jadi putriku yang menemaniku setiap waktu?”
Dela benar-benar membeku, bisu, dan dengan berat dia berujar, “Gak mungkin!!” Tangannya menepis tanganku. Aku terpatung, kaku.
Tapi, keyakinanku menyuruhku bersuara, ”Sungguh, aku gak bercanda, Del. Jangan pernah kamu berpikir, aku memilihmu hanya sebagai pelarianku.” ungkapku meyakinkannya.
Bingung, gundah, resah, seakan menyeruak keluar dari ekspresi Dela, meyuruhku mengerti bahwa cinta, logika, naluri dan perasaan, tidaklah semudah ku memetik bunga seroja. Diam, hening, datar, dan sepi untuk sekejap saat, dan akhirnya kalimat yang kutunggu pun terlantur juga, “Ini terlalu cepat, Rangga.”
Aku lagi-lagi terdiam mematung. “Memang ini terlalu cepat, aku mengerti itu. Tapi, apa kamu juga mengerti aku, Del? Perasaanku datang tanpa kuduga, selayak mentari yang terbit tiba-tiba dihari pagi, dan terbenam tanpa diminta di ufuk senja.” lirihku, dalam hati.
Angin menghembuskan butir-butir hujan, menghempaskan embun-embun yang tersaring rerumputan kecil ke arahku tanpa bisa ku menghindarinya. Aku sudah terlalu beku untuk bergerak, apalagi mengelak. Waktu sepertinya tengah menertawakanku terbahak, melihatku seolah burung nuri yang tak lagi mampu bernyanyi. Ku hanya terdiam seakan suaraku telah pergi, mati.
Della bangkit dari duduknya, dan melangkah menjauhiku. Apa yang harus kuperbuat? Sel-sel dalam setiap jaringan tubuhku, seolah berlarian panik, memekik dan menjerit-jerit, “Rangga!! Apa yang kamu lakukan? Jangan diam saja, ayo kejar bidadarimu!! Jangan kau biarkan dia terbang tanpamu dihatinya!!”
Aku sadar, aku tak mau lagi kehilangan hartaku untuk yang kedua kali. Aku pun bangkit, mengejarnya, dan meraih tangannya. Dela berbalik, kami saling berhadapan, saling bertatapan. Sekaranglah saat yang tepat untukku mengutarakan semuanya.
“Della, mungkin perasaan ini terlalu cepat untuk singgah di hatiku. Tapi, percayalah. Aku tak pernah ragu akan cinta. Aku menyukaimu. Karenamu lukaku sirna, karenamu bahagiaku ada, dan selama ini aku tak sadar, jika bidadari yang kucari-cari ternyata ada didekatku. Kaulah bidadariku, dan akulah yang akan merajutkan sayap-sayap putih di punggungmu kelak, jika kau mau. Entah apa jawabanmu, yang terpenting, kamu sudah tahu bahwa inilah perasaanku sesungguhnya.”
Setelah mendengar semuanya, Dela tersenyum. Senyuman yang walaupun terbaur air hujan, tapi instingku bisa merasakannya.
“Rangga, aku percaya, cinta yang kita punya hanyalah milik Tuhan yang diberikan untuk siapa saja termasuk kita. Aku juga percaya, rasa cinta itu akan datang kapan saja, dimana saja, dan singgah dihati siapa saja, tanpa kita duga sebelumnya…”
Dela terdiam sejenak, “Aku percaya semua itu. Jadi…”
Hujan mulai menipis, gerimis. Awan kelam sudah berhijrah entah ke galaksi mana. Yang terlihat sekarang, langit biru terbentang seluas mata memandang. Pelangi tergores indah dengan tinta tujuh warna, menambah indahnya lembaran senja hari ini.
“Aku mau.” jawab Dela sembari tersenyum penuh makna.
Aku tak percaya, Dela menerimaku. Aku peluk dia erat, sungguh terasa hangat. Hatiku melonjak girang, seakan aku tengah melayang terbang menembus awan berbentuk cinta, berputar-putar mengelilingi dunia, melampaui bintang-bintang alam semesta. Begitu indah.
Aku tersenyum menatap langit. Pelangi masih melengkung memesona. Seakan menyapaku dan membisikku syahdu, “Masih ada pelangi dibalik hujan.

Saturday, November 15, 2008

jumat, 14 nov 2008

Aku mang penulis tapi aku bukan penulis fiktif, crita ini aku tulis berdasakan kisah nyata salah satu temanku yang sekarang masih sekolah di smk telkom purwokerto, demi masa inilah cerita yang bisa membuatku berpikir kalau penghianatan sudah berkembang dimana – mana (aku juga korbannua loh_”). Hehehe,,, persahabatan hanya dijadikan kedok untuk menutupi semua kebiadapannya… mf tapi temanku Lana (bukan nama sebenarnya)kemarin siang jumat 14.30 menceritakan semuanya kepadaku dengan penuh air mata tapi aku tetap tak sependapat dengan jalan pikirannya. Cinta memang buta, tak memandang apapun. Tapi ingat kawankeputusan tu lahir mendahului penyesalan… aku tulis cerita ini atas permintaannya dan berharap agar kalian semua yang sudah membaca crita ni bisa merasakan bagaimana posisi Lana saat itu….

Semarang,21 mart 2008
“Hai!” kupeluk leher Vinda dari belakang. “Kau mau coklat?” kuulurkan sebatang coklat yang telah kukupas kulitnya.
Vinda meraba-raba tanganku dan mengucapkan terimakasih dengan nada yang tak jelas, setelah menemukan coklat itu.
“Kenapa kau di luar? Kita masuk, yuk!” ujarku sambil bersiap mendorong kursi rodanya.
Tapi Vinda menggeleng. “Aku ingin di sini.”
Kubuang nafas berat. Sejenak kemudian kuambil kursi dan duduk di samping Vinda.
“Kau sedang sedih, Vinda?” tanyaku hati-hati.
“Tidak. Aku hanya ingin menghayati suara hujan dari sini,” jawabnya. Dan Vinda tersenyum. Senyum yang jarang sekali kulihat lima bulan terakhir ini. Setelah sebuah kecelakan merenggut penglihatannya, juga melumpuhkan kedua kakinya.
“Setiap mendengar irama hujan, aku merasa bahwa aku memilikinya…”
Aku mengernyit. “Memiliki hujan?”
“Ya. Karena aku tak bisa memiliki bintang.”
Aku mengerjap. Kugenggam erat tangan Vinda, berharap aku bisa memberinya kekuatan lewat genggaman itu. Aku tahu hati Vinda menangis, meski kristal-kristal bening tak lagi mampu jatuh dari kedua bola matanya.
“Bagaimana kabar bintangku, Lana?”
Rasa sesak menghantam hatiku tiba-tiba. Bayangan Raka melintas cepat. Vinda selalu menyebut Raka sebagai ‘Bintangku’. Bintang yang begitu jauh. Meski begitu, Vinda sudah cukup senang hanya bisa melihatnya saja. Tapi itu dulu, saat dia masih bisa menatap Raka dengan kedua matanya. Entah kalau sekarang…
“Dia baik-baik saja,” jawabku singkat. Kulihat Vinda tersenyum. Entah manis atau pahit.
“Vinda, kenapa kau suka hujan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tak ingin Vinda terlalu lama mengingat Raka.
“Karena aku tak bisa menangis lagi. Aku ingin hujan menggantikan airmataku.”
Aku tertegun.
“Maukah kau jadi kabut untukku, Lana?”
“A-apa ? ? ? ??”
“Maukah kau menjadi kabut yang menyertai hujan dan menemaniku mengenang bintangku?”
Aku mengangguk, sekalipun aku tak mengerti apa maksud kalimat itu. “Iya, aku akan jadi kabut untukmu. Aku janji. Aku akan selalu menemanimu…”
“Terima kasih…” Vinda tersenyum lagi “sayang, aku tak bisa menulis puisi lagi,” dia mendesis.
“Oh… aku akan menuliskannya untukmu, Vin. Katakan saja, dan aku akan menulisnya,” dengan tergesa kucari agenda di dalam tasku.
Vinda mengangguk, dan mulai membuka mulutnya.
“sepotong rasa terdiam di rahim suara……
menunggu terlahir……
menanti selimut senja bergoyang menguak mimpi panjang…..
sepotong rasa itu belum juga bernama…..
ia hanyalah sebuah kebodohan di sudut cahaya yang tumpul…..
cahaya itu mungkin dirimu, mungkin juga dirinya…..
atau mungkin bukan siapa-siapa……”
Diam-diam aku menangis,
T_T
“Aku ingin melihat bintang, Lana…” kutangkap getar pada suara Vinda.
Dan aku terlalu lemah untuk tidak menangis. Aku telah terisak memeluknya.
“Langit mendung malam ini, Vin. Bintang tertutup awan hitam. Mereka tak tampak,” bisikku.
“Apa Tuhan benci padaku, Lana?”
Aku menggelang. Gelengan yang tak mungkin terlihat olehnya. “Tidak, Vinda. Tuhan sayang padamu,” jawabku.
“Lalu kenapa Dia mengambil penglihatanku? Padahal aku ingin melihat bintang. Aku ingin bintang, Lana…”
Aku memeluknya labih erat. “Kau masih bisa mendengar irama hujan, Vinda. Hujan itu milikmu.”
“Tapi bintang bukan milikku,Lana…”
“Bukankah kau punya hujan dan kabut?”
“Tapi aku ingin bintang, Lana…”
“Bintangmu selalu tersenyum, Vin. Seperti yang selalu kau harap.”
Senyum Vinda hanya segaris tipis.
“Pasti ada seorang gadis yang sangat dicintainya, ya kawan? Kau tahu gadis itu, Lana?”
Aku mengerjap. “Gadis yang…”
“Pacar Raka,” potong Vinda. “Kau tahu siapa dia?”
Aku tertegun sejenak. Seribu satu rasa tercampur aduk di hatiku. Tapi, tak ada satu pun dari sekian rasa itu yang membuatku tenang.
“A-aku tahu…”
“Pasti dia sangat cantik, ya?”
“Ngggg… tidak, kok. Dia biasa saja.”
“Namanya siapa,Lana?”
“Aku tak tahu namanya,” ujarku berdusta, “aku hanya pernah melihatnya beberapa kali.”
“Dia dan Raka pasti bahagia. Iya kan, Lana?”
“I-iya…”
Lalu hanya gelombang hening yang tercipta di antara kami. Lama. Dan aku harus merajut luka-lukaku agar Vinda tak ikut terluka olehnya. Karena Raka… Ya, karena dia.
^_^
Purwokerto, 3 september 2008
Raka menatapku heran saat aku menumpahkan minumanku untuk kedua kalinya.
“Kau sakit, La?”
Aku mengeleng. “Aku baik-baik saja.”
“Tanganmu gemetar…” Raka menyentuh tanganku. Aku segera menepisnya.
“Kau kenapa?” ada kerutan di dahinya.
“Nanti aku pulang lagi, sayang,” ujarku akhirnya.
Aku dan Raka sekolah di SMK Telkom Purwokerto, yang mengharuskan kami tinggal di kos. Dulu, Vinda pun ada bersama kami. Ah, andai saja sekarang pun masih begitu…
“Minggu lalu kau sudah pulang, kan? Masak mau pulang lagi?” Raka menatapku heran. Aku memang biasa pulang sebulan sekali.
“Aku mencemaskan Vinda,” lirih suaraku sambil menghindari tatapan mata Raka.
“Kasihan dia…” Raka setengah berbisik lirih...
Lebih kasihan lagi andai kau tahu apa yang dirasakannya terhadapmu, tambahku dalam hati.
Raka menarik nafasnya dalam. “Ya sudah. Aku titip salam buat dia, ya… Aku tidak bisa ikut pulang. Aku hanya bisa mendoakannya dari jauh.” Raka menggenggam tanganku. Kali ini aku tak menolak lagi.
Aku menatapnya. Ah, Raka memang begitu baik. Tak salah kalau Vinda sangat mencintainya. Dan aku tenggelam dalam tatapannya yang hangat.
^_^
Semarang,13 september 2008
Kupercepat langkahku keluar dari toko pernak-pernik itu. Sesekali kutatap kalung berbandul ungu di genggamanku. Bandul berbentuk bintang. Aku akan memberikannya pada Vinda. Ah, tapi kenapa tanganku gemetar?
Aku mulai berlari saat tiba-tiba hujan turun. Hujan yang mengingatkanku pada Vinda. Sedang apa dia sekarang? Ya, mungkin saja dia sedang memandangi hujan ini dari tempatnya berada. Mendengar irama hujan yang sangat disukainya.
Tapi tepat di halaman rumah Vinda, langkahku terhenti. Hei, kenapa banyak sekali orang?
Dan aku belum sempat berkata apapun, saat seseorang menarik tanganku. Arni, adik Vinda. Kenapa dia menangis?
“Kak Vinda sudah pergi,” suara Arni bercampur isak.
“Pergi?” aku hanya sanggup tertegun. Vinda pergi? Apa maksudnya?
Belum sempat aku bertanya, Arni telah berkata lagi, “satu jam yang lalu, dia memanggil-manggil hujan. Kak Vinda bilang, dia ingin menemui bintangnya. Dia bilang, semalam dia mimpi melihat kabut menyelimuti bintang. Dan dia ingin berada di antara kabut dan bintang itu…”
“Kabut? Bintang?” tanyaku histeris.
Arni mengangguk. “Satu jam yang lalu, dia memanggil-manggil hujan. Lalu dengan kalap mengerakkan kursi rodanya ke jalan raya. Kursi roda itu meluncur tak terkendali. Dan saat sebuah taksi lewat, kak Vinda…”
Aku tak menunggu kelanjutan kalimat itu. Aku segera berlari ke arah kerumunan orang yang mengurus jasad Vinda.
“Vinda…” desisku dengan hati perih. Kugenggam kalung di tanganku erat-erat.
“Kenapa kau pergi? Lihat, kubawakan bintang ke pangkuanmu. Aku datang bersama hujan, Vinda… tidakkah kau dengar iramanya? Hujan itu milikmu, Vinda. Milikmu…”
Aku menangis. Mendadak, aku benci diriku sendiri. Bayangan Raka muncul tiba-tiba.
Raka, andai aku tahu, betapa besar cinta Vinda padamu. Seharusnya aku.….. , aku tak boleh membiarkan ketulusan itu tersia-sia. Seharusnya kukatakan padamu, bahwa kau tak boleh mencintaiku, dan aku pun tak boleh mencintaimu… Cintanya lebih besar dari cintaku. Aku jahat telah membiarkannya menangis menunggumu, tanpa mengatakan apapun tentang cinta kita. Aku jahat, Ka… Aku jahat sekali…
“Ah, Vinda… mungkin kau pun membenciku sekarang. Maafkan aku dan semua kebodohanku. Maaf atas perasaan ini. Maaf atas kepengecutanku. Bencilah aku, Vinda…
Bencilah…

Tapi meski begitu, aku tetap ingin jadi kabut dan bersama hujan mengantar kepergianmu yang tanpa cinta …………………………………

Pratama Galang

Tuesday, November 11, 2008

4 lupZ U my Love

Bell tanda masuk pun berbunyi, jam menujukan pukul tujuh pagi. Semu siswa/i berkumpul diaula SMK Telkom yang bisa menampung orang sekitar 900san.
Semua siswa/i duduk dibangku yang telah disediakan oleh para PANPOSBA. Para siswa/i duduk sesuai dengan jurusannya masing – masing (TAR, RPL, TKJ) masing - masing.
Ternyata banyak sekali PANPOSBA yang ada diaula. Salah satu dari panitia pun angkat bicara. " Pagi smuanya, Saya ucapkan selamat datang di sekolah yang baru ini, perkenalkan saya disini sebagai ketua panitia sekaligus ketua osis disekolah yang kita cintai ini. Sekali lagi saya ucapkan selamat datang disekolah baru ini dan adik - adik semua bisa beradaptasi di lingkungan yang baru ini."
Kemudian salah satu dari mereka datang dengan mebawa rombongan yaitu beberapa guru yang ada disekolah tersebut. salah satu guru pun memberi arahan kepada para anak baru yang masuk kesekolah tersebut. " Anak - anak yang saya sayangi dan saya cintai, perkenalkan saya adlah kepala sekolah dari sekolah ini, saya mengucapkan selamat datang disekolah yang baru ini, kalian adalah orang - orang yang beruntung yang bisa masuk disekolah ini, karena banyak seperti kalian yang tidak bisa masuk disekolah ini. Kalian semua adalah orang - orang pilihan. saya berharap semoga nantinya kalian semua bisa menjadi kebanggan sekolah ini. Sekali lagi saya mengucapkan selamat datang disekolah yang kita sayangi dan kita cintai ini."
Akhirnya semua bertepuk tangan atas pengarahan yang telah diberikan oleh kepala sekolah tersebut. Salah satu dari panitia pun memulai acara. Semua para siswa/i dipersilahkan untuk berkenalan satu dengan yang lainnya.
setelah acara perkenalan selesai, sekarang giliran para panitia yang berkenalan dengan para siswa/i baru. Ada dua pasang bola mata yang saling berpandangan. Mereka pun saling berkenalan.
" saya Ika kak"
" nama yang bagus, Kalau Saya Alan. Saya boleh bertanya?"
" boleh kak."
" alasan kamu masuk sekolah ini apa?"
" alasan saya masuk sini, karena saya ingin menjadi seorang yang lebih baik lagi dan bisa mendapatkan banyak ilmu penetahuan tentang jurusan yang sedang saya jalani sekarang ini."
" jawaban yang singkat tapi bisa dimengerti"
Dari perkenalan tersebut mulai tumbuh rasa penasaran yang mendalam yang ada pada diri laki - laki tersebut. Bell pulang pun berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga sore. Semua siswa/i turun untuk segera pulang kos masing - masing.
Tapi tampak sesosok lelaki sedang mengikuti wanita yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Lelaki tersebut memanggil wanita itu.
" Hai, mau kemana?"
" Mau pulang kak, ada apa ya kak?"
" Enggak ada apa - apa. Kebetulan kakak lihat kamu sedang berjalan sendirian. mana teman - teman baru kamu?"
" Oh, mereka sudah pada pulang."
" Oh gitu, Yaudah kakak pulang dulu ya. Ehm.., tapi ingat besok jangan sampai telat, soalnya siapa yang telat bakal kena hukuman."
" Ya kak."
Hari kedua, sampai hari kelima POSBA telah dilalui oleh semua siswa baru yang mengikuti acara untuk perkenalan anak baru.
" Tidak terasa sudah lima hari kita menjalani acara perkenalan untuk anak baru."
" Benar Ika, Dina juga merasakannya, karena sudah Lima hari kita lalui semua ini bersama - sama dengan penuh kegembiraan dan rasa kekeluargaan yang mendalam."
Kemudian Ika dan Dina pun mendengarkan arahan yang diberiakn oleh panitia.
" Sekarang adik - adik sudah boleh masuk kekelasnya masing - masing. Nanti adik - adik semua akan dibantu kakak - kakak untuk menujukakn kelas adik - adik."
Guru mulai masuk ke kelas - kelas siswa baru untuk memperkenalkan dirinya masing - masing. Tak terasa jam di dinding menunjukkan pukul 16.00 wib. Bell sekolah berbunyi pertanda kelas belajar mengajar telah selesai.
Dari kejauhan tampak sesosok lelaki yang sedang menunggu digerbang sekolah. Dia sedang menunggu wanita yang telah dikenalnya lima hari yang lalu. Yaitu Ika anak baru kelas 1 TAR 3. Lelaki tersebut bernama Alan. Semenjak ;ima hari lalu dia berkenalan dengan Ika hatinya selalu dihantui rasa penasaran yang mendalam.
" Dina!!!!."
" Ya kak."
" Lia lihat Ika?"
" Ika sudah pulang kak."
" Dia tidak pulang bersama kamu?"
" Tidak kak, tadi dia buru - buru kak. Katanya dia mau beres – beres kos"
" Oh gitu, terima kasih ya Din."
" Ya kak, sama - sama."
sore pun berganti malam. Ika berada didepan meja belajarnya. Dia melihat ada buku diary yang sudah lama tidak diisi olehnya. Tapi entah mengapa hatinya tergugah untuk menulis kembali.


Hari demi hari telah aku lalui bersama teman - teman dalam acara perkenalan untuk anak baru. Aku mendapatkan banyak teman untuk diajak ngobrol. Dan ada teman yang diajak bermain dengan ku yang sebelumnya aku bayangkan mereka orang - orang yang sombong. Ternyata mereka semua tidak sombong malah kebalikannya mereka orang - orang yang mengasyikkan.
Tapi ada satu hal yang mengganjal dihatiku. Mengapa semenjak aku berkenalan dengan kakak kelasku yang bernama Alan pikiran dan hatiku selalu teringat padanya. hatiku bergetar bila ku menyebut namanya. Apakah ini yang dinamakan cinta?
Disisi lain ada seseorang yang sedang memikirkannya.
" Mengapa dia selalu ada didalam ingatanku, hatiku selalu menyebut namanya. sesosok wanita yang baru saja aku kenal mambuat aku jatuh cinta kapadanya. Ya, kalau aku jatuh cinta kepadanya pasti aku akan mendapatkanya. Aku akan membuat dia jatuh cinta juga kepada ku dengan cara apapun."
Pagi yang tidak begitu cerah membuat Ika malas bangun.
" Apa??? Sudah pukul enam pagi. Pasti aku akan terlambat."
Segera Ika turun dari temapt tidur kemudian masuk ke kamar mandi. Jam pun menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh. Ika telat lima menit dari jam yang telah ditetapkan sekolah. Ika langsung menginjakkan kaki di depan pintu kelas barunya.
" Untung guru belum masuk, kalau sudah masuk aku bakal kena hukuman."
Ika melihat ada sepucuk surat dan sebungkus cokelat yang dihiasi dengan pita berwarna merah. Ika membaca surat tersebut setelah bell istirahat dimulai. Ika pun membuka surat tersebut.
" Dear Ika Dian P
Sebelumnya saya mau minta maaf terlebih dahulu. Karena saya sudah mengganggu kamu pagi - pagi begini. Dan saya sudah berani mengungkapan kata - kata yang tidak kamu inginkan, tapi saya sudah tidak tahan lagi memendam perasaan ini. Saya jatuh cinta kapadamu. Kamu mengingatkanku pada wanita yang telah meninggalkanku.
Salam Sayang"
Ikai penasaran dengan pengagum rahasianya itu.
" Siapa ya yang kirimi aku cokelat dan surat ini?"
" Door."
" Ehm... Dina bikin aku terkejut."
" Hem, surat dari siapa itu? Cye....Cye... Baru aja masuk disekolah ini, tapi sudah ada yang dibuat jatuh cinta."
" Gak ah, kamu ada - ada aja sih Din. Aku juga ga tau ini surat dari siapa. Jadi penasaran aku Din."
Surat dan cokelat itupun datang diatas mejanya hampir setiap hari. Sudah hampir 2 bulan ini Ika dibuat penasaran oleh surat dan cokelat tersebut. Surat yang berisikan kata - kata cinta yang membuat Ika jadi orang yang paling bahagia, walaupun dia belum tau siapa pengagum rahasianya itu.
Surat yang hampir numpuk diatas meja belajarnya membuat Ika ingin membalasnya. Tapi dia tidak tau bagaimana cara membalasnya dan akan dikasih kesiapa surat tersebut.
Ika tiba disekolah dan ia penasran apakah ada surat lagi atau tidak? ternyata surat dan cokelat tersebut datang lagi. Ika mebuka surat tersebut.
" Dear Ika Dian P
Aku menunggumu belakang sekolah. Sampai jumpa.
Salam Sayang"
Ika pun penasarnan siapa pengagum rahasianya itu? setelah bell pulang sekolah berbunyi Ika segera menuju belakang sekolah. Ada seseorang yang telah menunggunya di lapangan Basket . Ika terkejut ketika melihat lelaki tersebut. Ternyata dia adalah kak Alan. Kakak kelasnya di II TAR 1.
" Kak Alan????."

Monday, November 10, 2008

c I n T a ___

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

3 wanita

Di keramaian alun-alun kota Pekalongan, aku sempat memperhatikan 3 wanita tua. Ketiganya berada di samping Alun-Alun Utara. Dilihat dari umur dan fisik, ketiganya tak jauh berbeda, berusia tua, di atas 50 tahun, dan masih berbadan sehat. Namun ketiganya menjalani profesi yang berbeda.

Wanita pertama bekerja sebagai pemulung. Ia mengumpulkan berbagai sampah yang dibuang oleh para pengunjung. Yang ia cari adalah botol dan gelas Aqua, kantong plastik, kaleng softdrink, kertas dan sebagainya. Dengan karung besar di punggung dan kait besi, ia mengkais sampah di perbagai tempat, terutama di deket pedagang yang ada di situ.

Wanita kedua bekerja sebagai pengambil sampah makanan. Ia justru mengambil sisa-sisa makanan yang masih terdapat di dos makanan atau tempat makanan lainnya. Makanan itu bisa berwujud sisa nasi, tulang, kulit buah, dan sebagainya. Lalu ia menampungnya di sebuah emper berukuran tanggung. Setelah itu ia akan menjual sisa makanan itu ke peternakan babi. Satu ember dihargai Rp. 4.000,-. (jadi tau kan, kenapa babi itu haram )

Wanita ketiga memilih sebagai pengemis. Ia menghampiri pengunjung untuk meminta belas kasihan atas dirinya seraya berharap uang receh ( atau yang lebih besar) akan segera berpindah tangan. Ia berjalan dari rombongan pengunjung satu ke rombongan berikutnya. Tak jarang ia mengikuti mereka,,,

Dari sudut pandang saya, ketiganya tak jauh beda, dari umur, fisik, penampilan dan sebgainya. Namun yang menjadi pertanyaan yang terus berkutat di dalam benakku adalah bagaimana ketiga wanita itu melihat dunia, uang, orang lain, ia sendiri, hubungan dengan orang lain dan banyak hal lainnya...


^_^ Galang

Sunday, November 9, 2008

You Know Tik, that I love U

Langkah kakiku kian berat menjejak, dan kusadari betapa letihnya aku. Seharian mengurusi majalah sekolah,betul-betul memeras selutuh energiku; rasanya sekarang aku hanya ingin cepat sampai di kos, melempar diri ke atas ranjang, lalu tidur terlelap sampai besok pagi.
Masih ada tiga hari penuh keringat dan air mata yang menanti, namun sekujur badanku sudah mulai menjerit-jerit kelelahan. Dan bagaimana bisa si ketua OSIS ceroboh menyebalkan itu masih tega menyerahkan segala tanggung jawab mengurusi penerbitan majalah sekolah nanti kepadaku? Andai saja si bodoh itu punya sedikit saja tempat lebih di otak lemahnya untuk bisa peduli pada penderitaan bawahan tertindas.
Fiuh. Apalah. Yang penting hari ini sudah selesai, dan aku akhirnya bisa pulang. Biarlah masalah itu kupikirkan besok.


Dengan gontai kuseberangi lantai 1 gedung sekolah ku dengan tas ransel favoritku menggantung berat di pundak kanan, mencoba mengusir denyut-denyut mengganggu yang mulai menyerang kepalaku. Keremangan suasana yang familier menyapa penglihatanku. Sudah sore juga rupanya. Selama rapat evaluasi sekaligus beres-beres tadi aku tidak begitu memperhatikan waktu. Kulihat bayangan wajahku membias di salah satu kaca kelas; ya ampun, aku terlihat berantakan. Rambutku awut-awutan, mukaku pucat, dan ada bulatan hitam menggantung semu di bawah dua mataku.

Aduh. Sudah pusing, capek, jelek, lapar pula. Kusadari aku belum makan apa-apa sejak pagi. Sial. Lebih baik aku bergegas pulang sebelum maag-ku kambuh.

Melewati ruang osis yang berdiri tegak tepat di samping ruang UKS, sempat kupejamkan mata ketika semilir angin sore lembut menerpa wajahku. Aku selalu suka hembusan angin yang sesekali lewat di daerah itu, entah mengapa. Dan saat kembali kubuka mata, menatap jauh ke belakang, aku terhenti.

Dia. Terduduk diam sendirian di tengah tangga yang menuju ke lanta 3 (Terlihat dari depan ruang osis). Berpangku tangan, masih dengan seragam sekolahnya, ditemani ransel hitam tua di sisi kirinya.

Tatapanku terkunci pada wajahnya yang menawan, semen
tara aku melangkah kearahnya dan kembali menaiki tangga menuju ke lantai 2 bagai tertarik kuat oleh medan magnet tak terlihat. After all this time, aku masih tak bisa menolak pesonanya, yang membuatku tak berdaya. Kesederhanaannya. Begitu tulus, begitu bersahaja.

Aneh. Kenapa dia belum juga pulang?

Dan lidah ini terasa begitu kelu, saat dengan suara bergetar kucoba untuk menyapanya.

“H-hey…”

Hupp. Ia mendongak. Mataku menemui rautnya yang menawan. Rambut pendek acak-acakan. Alis tebal yang menaungi sepasang mata cokelat tetutup kaca mata putih. Hidung mancung. Bibir bersemu merah muda, merekah sempurna. Dan kulit yang cokelat, terbakar matahari. Sebuah senyum manis kontan melengkapi segala keindahan itu saat ia mengenaliku.

“Hey, kak” ia balas menyapa, ragu.

“Belum pulang?” tanyaku, mencoba terlihat kalem. Meski dalam hati aku setengah mati ingin langsung menerjang dan memeluknya erat-erat.

Ia tertawa kecil sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya, salah tingkah. “Aku… eh, lupa bawa kunci kos,kak” ucapnya, menghindari tatapan mataku.

Aku ikut tertawa. Kuambil posisi duduk di sebelah kanannya. Aku ?”

Dahinya berkerut. “Ha?”

“Iya.aku.” Kuangkat alisku, menggodanya. “Well, don’t you mean ‘aku’?”

Ia mendengus, mengangkat bahu. “kakak yang bilang kita harus jaga jarak di sini,” ucapnya sambil merengut. Duh, lucunya.

“Iya, tapi kan kalo lagi ada orang aja,” jawabku ringan. “Sekarang kan kita sendirian, nggak apa-apa. Lagian nggak enak, kaku-kakuan sama aku. Pake manggil ‘kakak’ segala lagi. Aneh banget rasanya.”


Kembali ia tergelak seraya mengangguk, walau kubaca masih ada sedikit ragu bercampur cemas membekas di wajahnya.

Diam. Kuarahkan pandang ke depan, menyapu area gedung lab kompuer yang hampir kosong dihadapanku. Hanya ada beberapa mobil yang kukenali sebagai kendaraan dinas sekolah masih terparkir di samping aula yang terletak tak jauh pun terlihat sepi, tak seperti biasa; Suasana sekolah yang biasanya sibuk terasa amat sunyi di sore hari. Aneh. Tetapi damai.

“Kata teman-temanku, kakak hari ini galak.”

Spontan aku menoleh, menatapnya yang sedang tersenyum nakal dengan pandangan lurus ke depan. Kukerutkan dahi.
“Galak? Galak apanya?”

Ia mengangkat bahu. “Nggak tau. Anak – anak Exist cuma bilang, hari ini kamu lain. Murung terus, jarang senyum, jarang ngomong. Kalau ditanya juga jawabnya sinis. Padahal kemarin kan kaka
k ramah banget sama semuanya.”

Bayangan wajah si ketua OSIS sialan langsung berkelebat di pikiranku, dan aku pun tersenyum. “Oh, mungkin karena aku lagi sebel sama seseorang kali ya,” ucapku.

“Ha?” Ia tampak kaget. “Sama siapa kak? Bu-bukan sama aku, kan kak?”

“Bukan, bukan sama kamu kok,” Kuhela napas panjang. “Ada yang ngasih aku kerjaan tambahan pagi ini, dan aku bingung aja bagaimana cara ngerjainnya.”

“Oh.” Dianggukkannya kepala, lega. “Padahal menurut aku, kakak lebih lucu kalau lagi senyum.”

Kudorong bahunya. “Gombal.”

“I’m only being honest here, sweetheart.”

“Whatever. Tetap saja terdengar gombal.”

“Ih.” Rautnya berubah cemberut. “Dibaik-baikin malah ngeledek. Ya udah. Terserah kakak.”

Aku mendelik ke arahnya.

“Siapa yang ngeledek kakak?”

“Itu, barusan…” Dipasangnya tampang merajuk. “Ternyata bener. Hari ini kakak galak.”

Kembali diam. Beberapa orang berbaju bebas tak dikenal berjalan melewatiku naik ke lantai 3. Tentu saja mereka terrhambat sejenak, dicegat sekaligus ditanya-tanya ketus oleh si satpam menyebalkan yang senantiasa menjaga sekolah ini

Sebuah tawa kecil tak tertahan menyelip keluar dari bibirku. Membuatnya menoleh. “What’s so funny?”

“Tuh, si satpam kepo beraksi lagi,” bisikku.

Ia menoleh ke belakang, melihat orang-orang berbaju bebas tadi sedang adu mulut dengan si satpam. “Whoa. Apa setiap orang yang mau masuk ke dalam gedung sekolah harus melewati tahap itu?” Digelengkannya kepala. “Hari ini udah empat kali aku lihat ada orang nggak dikasih masuk sama dia. Benar-benar sekolah yang aneh.”

“Exactly. Welcome to my world,” Kembali kuhembuskan napas panjang. “I hate to break this to you, honey, tapi kayaknya kamu memilih sekolah yang salah.”

“Mungkin.” Ia mengorek tasnya, mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebatang cokelat. Diberikannya cokelat itu padaku yang hanya menatapnya tak mengerti.

“Nih makan, kakak pasti lapar,” ujarnya.

Kuterima cokelat itu dengan bingung. “Kamu… Kok tahu aku lapar?”

Ia tersenyum. “Aku tahu kakak sibuk banget hari ini. Karena sibuk, pasti kakak belum sempat benar-benar makan. Aku kan nyoba kenal kakak.”

Kutatap wajahnya. Ada kelembutan di sana, yang kian menggetarkanku, meluluhkanku.

“Thanks…” desahku akhirnya, terharu.

“Anytime. Janji ya, besok walaupun sibuk kakak tetap harus ingat makan.”

“Uhm… Iya, janji.”

Sembari sibuk mengunyah cokelat, sembunyi-sembunyi kucuri pandang ke arahnya, yang masih terduduk manis di sisi kiriku. childish sekaligus matang. Seakan jejak-jejak kekanakan masih enggan meninggalkannya, walaupun kini ia sudah bisa dibilang beranjak dewasa. Angin sore yang masih bersemilir sesekali mengacak-acak rambutnya, mengibarkan ujung kerahnya. Sebuah pemandangan indah yang menggetarkan.

Ah. Jika memang benar ada sesuatu yang bisa dibilang sempurna di seluruh semesta, bolehkah aku menyatakan bahwa dialah kesempurnaan itu? Karena segala hal yang dimilikinya terlihat begitu tak bercela di hadapanku. Manis. Lugu. Irresistible. Charming. Dan bercahaya. Bersinar terang bagai sejuta bintang di langit malam. Mendamaikan hati bak derasnya rinai hujan.

Aku masih ingat sapaan pertamanya di lorong sekolah,tepatnya di lantai 2 di depan T 2.4. dia datang bersama hanif temannya untuk menemuiku karna dia baru saja tergabung dalam organisasi yang aku pimpin. Sapaan yang dipenuhi suara yang bergetar dan sejuta senyum canggung. Pandangan kami bertemu, dan sejak saat itulah kurasakan reaksi kimia yang berhasil memercikkan bara cinta antara aku dan dia. Nyala api yang tak padam oleh waktu, namun malah mematangkan esensi. Bukankah itu yang semua orang cari?
Sekarang, saat deru jalannya masa telah lewat berlari cepat, meninggalkan jejak kabur bernama memori, kisah cinta itu masih saja indah bersemi. Hampir tiga putarran musim cerita ini kutulis bersama-samanya. Dan apakah aku bahagia? Ya. Tentu saja.

Seperti saat ini, ketika kuhabiskan soreku duduk berdua dengannya di tangga sekolah, menikmati sepoi angin dan lembutnya cahaya matahari yang menerangi.

Tiba-tiba, dalam keheningan yang terjaga baik selama beberapa menit tadi, digenggamnya tanganku.

“Aku senang hari ini,” ucapnya lirih, tulus. “Makasih, ya kak.”

“Ha?” Kutolehkan kepalaku, bingung. “Senang? Senang kenapa?”

“Karena kakak,” jawabnya.

Aku semakin tak mengerti. “Kenapa karena aku? Aku nggak ngapa-ngapain hari ini. Malah tadi kamu bilang aku hostile. Galak. Whatever. Kenapa karena aku?”

Ia menghela napas. Kembali dirogohnya ransel birunya, mengeluarkan buku catatan harian wajib yang setiap rapat Exist harus diisinya.. Dibolak-baliknya halaman demi halaman buku catatan harian bersampul hijau tersebut, menemukan sesuatu, lalu diberikannya buku itu kepadaku, masih dalam keadaan terbuka.

“Karena ini,kak” ujarnya lagi, kembali tersenyum, menyuruhku membaca.

Kuterima buku itu. Kulihat halaman yang membuka. Dan aku tersadar.

Tadi siang, di rapat yang membosankan, aku sempat iseng membuka-buka catatan harian para anggota Exist yang aku pimpin. Dan dalam catatan miliknya, di salah satu halaman tengah yang masih kosong, kutulisi beberapa baris penggalan lirik sebuah lagu kenangan berdua. Selalu Denganmu, dari Tompi. Lengkap dengan sebuah smiley imut di pojok kanan, dan deretan huruf ‘ILU’ yang kuukir manis tepat di sebelahnya. Tanpa sadar, aku tersenyum. Aku bahkan lupa kalau aku menulis ini tadi siang; mungkin aku terlalu bosan sekaligus fed up dengan si ketua OSIS terkutuk untuk dapat memfokuskan pikiran.

Kuangkat wajahku, menemui parasnya yang sedang sumringah. Kuangkat alisku, sembari menghela napas panjang, saat sepasang sorot cokelat itu mengunci mataku dalam sebuah tatapan manis, penuh arti.

Aku mencintainya.

Aku sungguh mencintainya.

Aku mencintainya seperti sang rembulan mencintai malam. Seperti matahari mencintai teriknya siang. Aku mencintainya selembut daun-daun kemerahan yang jatuh menumpuk di musim gugur. Sedamai suara debur ombak yang menyapa pasir di garis pantai. Seteguh pohon beringin yang tak bergeming tertiup angin. Seindah titik-titik hujan malam yang turun membasahi tanah.

Dan saat ia berdiri, meraih ransel, lalu berbalik menatapku, waktu seakan tersangkut dan berhenti.

“Kamu… Mau kemana?” tanyaku tergagap, tidak siap dengan gesturnya barusan.

Perlahan, diangkatnya bahu. “Where else? Aku mau pulang,kak” ucapnya. “Udah sore, aku mau istirahat.”

“Tapi, tadi katanya kamu lupa bawa kunci rumah…”

Ia tergelak, mukanya memerah. “Aku… Aku tadi bohong ma kakak,” desahnya. “Aku cuma mau nungguin kakak pulang, biar bisa ngobrol sama kakak, sebentar, di sini.”

“Ha?” Aku seperti kehilangan kata-kata mendengar kalimatnya. Hatiku diterpa gelombang ketrenyuhan yang amat sangat; aku hanya bisa memandangnya, lembut bercampur haru, sembari tersenyum tulus.

Sebuah tawa kecil pun terselip keluar dari bibirnya. “Sudah ya kak, aku pulang dulu.”

Kusaksikan sosoknya berjalan gontai menuruni tangga, membiarkanku trerus terdiam terpaku pada punggungnya selagi ia melangkah. Diiringi tiupan angin sore yang menerbangkan ujung kemejanya, menyisir jejak rambutnya, membingkainya dalam satu lagi momen sempurna.

Mengapakah aura itu selalu saja berhasil menghipnotisku, menjadikanku diam tak berdaya di hadapan pesona dirinya?
Mengapakah kehadirannya selalu sanggup menghapus segala keluhkesahku dan membuatku kembali bahagia?

Aku pun tak kuat menahan godaan untuk berteriak memanggilnya sekali lagi. “Hey!”

Ia langsung berbalik, bingung. “Apa kak?”

“Sampai ketemu besok!” seruku lantang, mengatupkan kedua tangan membentuk corong di sekeliling mulutku sembari tertawa lebar. “Jangan sampai telat lagi ya!”

Tulus, ia ikut tertawa. Memandangku sekali lagi, mengatakan sejuta kata tanpa perlu mengutarakannya dengan barisan kata-kata.


“Iya! Jangan khawatir, sayang…”


…Kaulah matahari dalam hidupku
Dan kaulah cahaya bulan di malamku
Hadirmu s’lalu akan kutunggu
Cintamu s’lalu akan kurindu
Selalu denganmu… Kasihku, slamanya
Selalu denganmu… Cintaku, bersama…
Tahukah kau diriku tak sanggup hidup bila kau jauh dariku?
Kuingin dipelukmu, s’lalu…

Galang T_T

Saturday, November 8, 2008

Thanks..... Martha Anggoro

Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia tersebut.

Tu kalimat yang tlah mengubah hidupku

thanks kawanku....

masih kusimpan kalimatmu tuk bangkitkan hidupku...

Answer to D'yaz “Cara buat pria jatuh cinta”

gak perlu punya body bak Cindy Crawford dan dandan abis untuk bikin cowo' jatuh hati. soalnya, cewek 'biasa' pun bisa menarik perhatiannya. Check it dan praktekkan segera !

bohong besar kalo' cowok ga' bakalan noleh saat ngeliat cewek pakai baju super transparan. Tapi, ini bukan berarti mereka langsung tertarik pada yang tampak dimata ! Catat : Kecantikan dan bentuk tubuh bukan jaminan cowok bakalan jatuh cinta kekamu ! So' sebenarnya apa sich yang ada dalam pikiran cowok tentang cewek ? Cowo' hanya tertarik pada cewe' yang benar-benar 'asyik' cowo' seneng ama cewe' yang bisa bergaul dengan temen-temen cowo'nya. dia ga' harus cantik, tapi tahu penampilan proporsional. Kedengarannya memang gampang, tapi ternyata cowo' masih mematok beberapa 'ketentuan' lain yang perlu dipenuhi. Kamu mo' tau banyak bagaimana type cewe' idaman para cowo' ? Bonne Chance, Chere Amies ( Met' berjuang frenz ! )



Bisa dideketin

Saat cowo' datang ke sebuah pesta atau cafe, biasanya mereka langsung melakukan 'scanning'. Mengamati keadaan sekitar, terutama cewe' yang ada disana. Mmereka senang melihat cewe' yang banyak senyum, tertawa lepas dan menikmati suasana. Semakin kamu terlihat santai, cowo' makin ngerasa 'comfy' mengajak ngobrol. Sebaliknya cowo' bakalan malas menghampiri cewe' yang menggerombol dan bikin kelompok tersendiri.

Tips buat kamu ;

Saat berkumpul bersama gank di sebuah restoran atau cafe, perhatikan suasana keliling. Jangan terlihat terlalu tertutup dan sukar didekati. Ingat pengakuan cowo' yang ini : Mereka senang jika ada cewe' yang ngajak kenalan. Buka percakapan dengan topik ringan. Tanyakan dengan gaya yang wajar, asal tau saja, cowo' juga senang menambah teman.

Jangan Terlalu Mengekang

Cowo' memang selalu punya kesan cuek ! dan tak peduli lingkungan. Ambil aja contoh : cowo' terkenal tukang kentut sembarangan. Memori mereka juga tak mampu mengingat hari ulang tahun atau tanggal jadian. Belum lagi terkadang mereka kurang sensitif. Meski begitu, dia berharap kamu bisa memakluminya. 

Tips buat kamu ;

Ternyata jadi cewek pemaaf itu perlu ! Soalnya cowo' memang ditakdirkan jadi mahluk bebas. Jadi, ada baiknya kamu terlalu mengekang dan membatasi gerak dan kebiasaan mereka. Asal, ingat-ingat saja, jangan sampai kelewat batas.

Jangan dandan berlebihan

Secara blak-blakan, cowo' ngaku, hal pertama yang mereka lakukan saat ngajak cewe' kenalan adalah mengamati tingkah laku dan penampilannya. Cowo' paling ga' seneng saat kencan dengan cewek' yang setiap sepuluh menit memeriksa make-up nya. Jika seorang cewe' ngerasa nyaman tanpa make-up berlebihan, artinya ia merasa bahagia dengan dirinya sendiri.


 
 
Tips buat kamu ;

Kamu emank berhak tampil cantik dan menarik. Tapi tak perlu berlebihan bukan ? Sesekali, coba bersikap cuek dan tak panik saat riasan memudar. Jangan buat cowo' menganggap wanita hanya peduli soal penampilan saja. Bagi mereka cewe' berpenampilan natural terlihat lebih mudah didekati.

Jangan terlalu menyusahkan

Kalo' selama ini kamu gemar main tarir-ulur, pertimbangkan lagi masak-masak ! Mempersulit proses perkenalan membuat cowo' ogah melirik anda. Katanya hal ini menunjukkan kalo' kamu ga' berminat diajak berteman. Belum tentu juga cowo' tersebut suka ama kamu.

Tips buat kamu ;

Dari banyak pengalaman, cowo' lebih suka ama cewe' yang gampang diajak kenalan. Kalo' kamu terlalu menyusahkan, cowo' bisa lelah meladeni.
  
Punya Rasa Humor

Selain seneng dengan cewe' yang dandan sederhana, cowo' juga seneng ama cewe' berselera humor tinggi. Alasannya simple aza, kalo' kamu bisa diajak tertawa besama, berarti kamu mudah didekati. Biasanya saat cowo' lagi sendiri, ia iseng memperhatikan seorang cewe' dari penampilannya, dia kelihatan smart, makanya cowo' tertarik berkenalan. Agar suasana tak kaku biasanya cowo' suka melemparkan beberapa joke dan apabila si cewe' bisa menanggapi dgn joke yang lebih lucu, cowo' akan lebih menikmati obrolan dengan kamu.

Tips buat kamu ;

Mulai sekarang, latih kemampuan anda berhumor. Kalo' ada ada seorang cowo' pengolok, jangan langsung cemberut dan diambil hati. Sambut saja dengan bercanda yang sama gilanya ! Satu lagi, kalo' si dia mengagumi penampilan kamu, jangan tanggapi terlalu serius. Lebih bagus begitu daripada kamu ge-er tak karuan. Tanggapi dengan bercanda juga, si dia justru makin tertaik sama kamu.



CINTA

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.Lemparkan seorang yang bahagia dalam bercinta kedalam laut, pasti ia akan membawa seekor ikan. 
Lemparkan pula seorang yang gagal dalam bercinta ke dalam gudang roti, pasti ia akan mati kelaparan.


Answer to 3g_tha “Biar langgeng”

Hey kawan, aku bisa ngrasain kok apa yang kamu pikirin, aku juga dulu pengen banget mbina hubungan yang langgeng tp akhire brantakan juga, hehehe,,, tapi jangn kawatir kawan, aku kan tetap coba bantu kamu kok, aku punya 10 tips wat kamu n moga aja bisa jadiin hubungan kalian lebih baik,
1. Jujur
Bila ada yang tidak kita sukai dari doi, lebih baik jujur. Klo perlu obrolin saat kita dan dia sedang berdua-an saja. Ngga pa pa koq, agak sakit sedikit tapi enak belakangan hari. Seperti kita gk suka melihat klo doi terlalu baik, mau mengantarkan smua teman cewe-nya. Ya boleh dech, kita trus terang aja, daripada saling sindir ato berantem.
2. Be Yourself
Jadi diri sendiri, paling baik. Gk perlu mengubah diri kita menjadi orang laen. Misalnya, kita biasa mengenakan baju casual, jangan lantas berubah pake tank top, rok mini hanya karena doi. 
3. Tulus
Bila kamu mencintai dia, ya tulus aja.
Jangan berharap dia akan membalas dengan jumlah sama.
Bila sudah menolong dia, misalnya, jangan diungkit2 ato jadi perhitungan.
4. Terbuka
Ngga perlu boong soal teman2 kamu.
Terbuka aja, slama ini kita deket dengan siapa dan biasa menghabiskan waktu dimana. Selain doi jadi gak was2, kamu juga enak, gak perlu sembunyi2
5. Kata “Maaf”
Maaf memang ada batasnya.
Namun gak ada salahnya juga kamu slalu siapkan kata maaf.
Namanya juga manusia, pasti ada salah dan gak sempurna.
Kita sendirikan ngga “perfect”.
6. Kejutan
Jangan segan kita memberi kejutan buat si dia.
Misalnya, kita buatkan makanan kesukaannya ato bawakan sekotak coklat.
Mmmmmm … doi pasti tambah care sama kamu.
7. Care
Perhatian ! Pasti. Ngga perlu mengorbankan rupiah, tapi perhatian sekecil apapun berguna banget. Misalnya, doi sakit. Cek dech, sudah makan apa blom
Ato tengok sebentar aja, bagaimana dengan pelajaran dia yang tertinggal.
8. Dekat Keluarga
Awas ! Pacaran dengan doi, berarti kita juga wajib dekat dengan keluarganya
Minimal, kamu kenal dengan mereka. Sehingga, jika ada apa2, komunikasinya mudah. Kamupun bisa mendapat dukungan dari mereka lho.
9. Ngga Posesif
Memang sich, gak enak klo ngeliat doi kita akrab dengan banyak orang.
Tapi gak perlu posesif, kamu slalu memantau dia ada dimana, bersama siapa, dan lagi ngapain. Wah, lama2 bete juga lho, diawasi seperti pesakitan.
10. Hargai Privacy
Meskipun kita dan doi terbuka, gak smua hal bisa dibicarakan berdua.
Hargai juga privacy dia. Apa yang perlu kita ketahui dan apa yang sebaiknya jangan kita campuri.
Hehe… gimana kawan??? Mt nyoba ya kawan,, n thanks ya dah mampir ke blog aku,,,, kalo mampir lagi,jangn lupa isi buku tamu ya kawan,,, Galang




LUKISAN !!!

Semburat merah jambu di kaki langit mewarnai indahnya senja Pantai sari Pekalongan. Via duduk termenung di atas bongkahan tembok yang sekali-kali diterjang ombak kecil. Di sampingnya sosok tegap Mur ikut terbuai dalam keindahan Pantai sari Pekalongan senja itu. 
Keduanya membisu. Terhanyut dalam sentuhan imajinasi yang teramat romantis untuk dilukiskan sekedar dengan kata-kata.
"Via, udah hampir malam. Pulang, yuk?!" Akhirnya Mur angkat bicara. Via menoleh sejenak. Tersenyum. Sejurus kemudian, tatapannya kembali menerawang di atas hamparan laut biru. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Mur berdiri, meraih tangan Via dan mengajaknya pulang.
Ayo. Ntar mama kamu marah. Udah hampir malam begini kamu belum juga pulang."
Via tersenyum, tak kuasa menolak tangan kekar Mur yang setengah memaksanya beranjak dari tempat itu. Pulang.
Berdua mereka menyusuri pantai sambil sesekali memungut kulit kerang dan melemparnya ke laut, menyisakan riak-riak kecil.
Via sungguh menikmati kebersamaan ini. Meski dia sadar, tak pernah sekalipun terucap kata cinta di antara mereka. Terlalu prematur menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. Ya, hanya sahabat. Itu sudah cukup bagi Via. Walau sebenarnya dia sendiri tidak yakin mampu menepis kemungkinan yang lebih dari itu.
Mur adalah sahabat yang baik, juga kakak kelasnya yang paling banyak membantunya selama ini. Meskipun Via baru mengenal Mur tiga bulan yang lalu, ia merasa cowok itu punya kharisma yang pantas dikaguminya.
Perkenalan yang teramat singkat namun berkesan bagi Via. Mur tampil membelanya ketika ia datang terlambat saat orientasi penerimaan siswa baru di sekolahnya. 
Kakak-kakak kelasnya yang melihat ekspresi gugup namun sangat polos di wajah imut Via, berebutan menjatuhkan vonis untuknya. Via hanya bisa menatap satu-satu wajah mereka. Mata yang memelas memohon keringanan hukuman atas keterlambatannya malah membuat kakak-kakak kelasnya semakin bersemangat mengerjainya.
Tanpa sadar mata Via berkaca-kaca. Dalam hati, perasaan sedih, takut, malu dan gugup menyatu dan melemaskan sendi-sendi ketegarannya. Ia hanya bisa tertunduk pasrah menikmati bentakan-bentakan kakak kelasnya. Terasa sakit sekali!
"Semua bubar. Biar aku yang mengurusnya!" Sebuah suara tegas penuh wibawa menghentikan eksekusi tak berbelaskasihan itu. Suara milik Mur, Ketua OSIS yang kini berdiri tegak di hadapan Via.
"Nama kamu Via Cemara, kan? Hmm... Nama yang bagus. Aku panggil Via aja ya?" Via mengangkat wajahnya perlahan. Tetapi kembali tertunduk. 
"Maaf, Kak. Via terlambat." Akhirnya Via berani membuka mulut. Sekilas ia menangkap dua kata yang tertera di atribut cowok itu, Ariel Murion.
"Ya sudah. Kamu boleh masuk. Tapi melapor dulu sama panitia dan tinggalkan atributmu di sana," Mur menunjuk beberapa siswa yang duduk menghadap meja di pintu aula sekolah. "Jangan lupa temui aku di ruang sekretariat OSIS pada jam istirahat." 
"Terima kasih kak. Permisi!" pamit Via sopan sambil dan beranjak meninggalkan Mur. Dalam hati ia berjanji suatu saat bisa membalas kebaikan Mur.
Tiga bulan berlalu, via merasa sudah amat banyak yang berubah dalam dirinya sejak masuk SMU. Ia merasa semakin dewasa dan memiliki makna hidup yang lebih besar.
Kehadiran Mur walau hanya sebagai teman memberinya banyak peluang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler di sekolah ini. 
Entah kenapa Via merasa aman dekat dengan Mur. Ia ingin Murlah orang pertama yang ikut merasakan suka dan dukanya. Teman berbagi yang bisa menemaninya saat ia sedih, tertawa dan menagis.
Selama ini, mamalah yang menaunginya. Membelainya dan memberinya arti tentang perjuangan untuk meraih semangat hidup. Sekarang ia sudah dewasa. Bahkan lebih dewasa dari teman seumurnya. Besok, tanggal 16 november, umurnya sudah tujuh belas tahun. 
Untuk kesekian kalinya Via mendesah. Tangan mungilnya masih sibuk menggerakkan sapuan kuas di atas kanvas. Sketsa yang tadi dibuatnya mulai dibentuk menjadi seraut wajah lelaki setengah baya persis seperti foto yang tergantung di dinding kamarnya. Foto papa!
Dua titik kristal bening menetes di pipinya. "Via rindu papa, Entah kenapa Via merasa papa belum meninggal seperti yang diceritakan mama. Akh andai Via bisa melihatmu sekali saja. Via akan senang, Pa. Via nggak bakalan menuntut apa-apa lagi. Cukuplah kehadiran papa. Itulah harta yang sangat berharga. Via sayang papa." Desahnya dalam hati. 
Ditatapnya foto itu lekat-lekat. Mata yang begitu teduh. Sepertinya Via pernah melihatnya. Bahkan teramat dekat baginya. Tapi siapa ya? Via terus bertanya-tanya dalam hati.
"Lukisan yang bagus," Via kaget. Ternyata mama sudah berdiri di ambang pintu tanpa disadarinya. "Via belum tidur?" 
"Belum ngantuk, Ma," Via berusaha menyembunyikan perasaannya di depan mamanya. Ia ingin terlihat tegar. 
"Tidurlah, sayang! Besok kamu masuk sekolah. Malu kan kalau masuk sekolah dengan mata sembab kayak gitu?" Via hanya diam. Ditatapnya lekat-lekat mata mamanya, seakan mencari jawaban atas rasa penasarannya selama ini. Dan yang didapati hanya satu. Mama menyimpan satu rahasia yang tak ingin orang lain tahu. Bahkan Via sekalipun.
"Via boleh nanya sesuatu, ma?" Tanya Via perlahan. Sesaat mamanya terdiam. Tetapi kemudian mengangguk. "Apa benar papa udah meninggal?" Via menatap wajah mamanya lekat-lekat. 
"Via pikir mama bohongin kamu?" 
"Via percaya kok sama mama. Cuma. Hati kecil Via yang sulit percaya. Sepertinya mama menyimpan satu rahasia. Ya Sampai sekarang mama belum pernah cerita penyebab kematian papa. Dan di mana kuburan papa. Katakan, Ma! Via bukan anak kecil lagi. Via yakin mama lakukan ini demi kebahagiaan Via. Mama rela berbohong demi Via. Katakan, Ma!! Mama sayang Via. Ya kan Ma?" Via mulai terisak sambil mengguncang bahu mamanya yang hanya diam berdiri mematung. Tanpa disadari, dua titik Kristal bening menetes di pipi wanita itu. 
Hening sesaat. Pandangan mama menerawang jauh. Menembus masa lalunya yang pahit. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau ia tak ingin masa lalunya terkuak kembali. Tapi, haruskah ia terus-menerus berbohong? Demi Via, buah hatinya. Miliknya yang paling berharga. Satu-satunya yang tersisa dari keretakan rumah tangganya. Bagaimanapun Via berhak tahu. 
"Mama pikir, sudah waktunya Via tahu semuanya," ujar mamanya nyaris tak terdengar. "Ikut mama! Mama akan memperlihatkan sesuatu sama kamu." Tanpa banyak tanya Via bangkit mengikuti mamanya.
Sebuah lukisan anggrek bulan terpampang di depan mata Via. Di sudut kirinya nampak foto papa dengan mata teduh dan senyum khasnya. Via memandangnya tanpa berkedip. Lukisan yang teramat indah dan hidup meski framenya sudah retak di keempat sisinya.
"Hanya ini yang papa tinggalkan sebelum pergi. Lukisan ini dulunya adalah hadiah ulang tahun mama yang ketujuh belas dari papa. Sebenarnya ada dua. Tapi yang satunya ada sama papamu. Lukisan ini begitu berharga buat mama." Sejenak mama terdiam. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya seakan-akan ingin melepas semua ganjalan di dadanya.
"Papa sekarang di mana, Ma?" Tanya Via hati-hati. Ditatapnya wajah mamanya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Namun yang tersisa hanyalah guratan duka menahun. Duka yang selama ini disembunyikan di wajah tulus itu perlahan mulai terkuak. 
"Mama nggak tahu. Selama ini mama mengarang skenario kalau papa udah meninggal supaya kamu nggak bertanya terlalu jauh. Mama nggak ingin masa lalu yang menyakitkan itu membayangi keluarga mama. Cukuplah mama memilki kamu. Itu sebabnya mama mengikutkan kamu kursus ini dan itu supaya kelak kamu bisa mandiri. Mental kamu sudah siap menerima kenyataan yang menyakitkan sekalipun. Mama akui kamu butuh figur papa, meski mama telah berusaha menjadi mama sekaligus papa bagi kamu." 
"Kalau Via boleh tahu, kenapa mama pisah sama papa?" kejar Via. Mamanya menunduk dalam-dalam. Berusaha menggali memori yang telah dikuburnya dalam-dalam.
"Keangkuhan. Ya, waktu itu mama ditawari kerja dari perusahaan berkelas internasional karena mama alumni Universitas terkenal di Australia. Papa nggak setuju. Katanya sepintar apa pun wanita, toh akan kembali juga mengurus rumah tangga." Sekilas mama menelan ludah getir. "Sejak itu, pertengkaran-pertengkaran kecil selalu menjadi warna rumah tangga. Mama nggak nyangka kalau pertengkaran itu berbuntut perpisahan. Seandainya ada yang mau mengalah. Kejadiannya nggak bakal seperti ini. Maafkan mama, Via! Sebenarnya mama pun sempat berpikir, mungkin ini hanya keputusan emosional, lagipula saat itu mama mengandung kamu. Mama sungguh takut nggak bisa membahagiakan kamu." 
"Tapi mama masih mencintainya, kan?" Tanya Via.
"Mungkin." jawab mama singkat. Terlalu berat baginya memastikan perasaannya saat ini. Meski sadar selama ini dia berusaha menentang kata hatinya. 
"Kalau mama masih mencintai papa, kenapa nggak ada niat kembali? Demi Via, Ma. Demi Via!! Mama tahu Via butuh kasih sayang papa."
"Mama ngerti, Via. Setelah perpisahan itu, mama kembali ke Pekalongan, mencoba memulai hidup baru. Tapi mama masih berusaha mencari tahu tentang keberadaan papamu. Sejujurnya mama nggak bisa melupakan bayang-bayang papa, apalagi si kecil Rion yang baru berumur 2 tahun." 
"Rion???" Tanya Via penasaran.
"Kakakmu. Waktu itu pengadilan memutuskan Rion ikut papa demi masa depannya. Rion. Oh Rion, Sekarang dia pasti sudah besar. Tapi Dia nggak kenal mamanya mama yang mengandung dan melahirkannya." Desis mama tersendat. Air matanya tak tertahan lagi. Hati Via trenyuh. Hanyut dalam tangis dan pelukan mamanya. "Sebenarnya mama pernah mencarinya tapi mama kehilangan jejak mereka. Mereka meninggalkan Pekalongan enam bulan setelah peristiwa itu." 
"Udahlah, Ma. Itu bukan salah mama. Via nggak masalah kok. Justru Via harus berterima kasih ama mama. Mama terlalu banyak berkorban untuk Via." Ujar Via menetralisir gejolak hatinya. "Oya, udah larut malam nih. Via besok ada ujian kuis. Via tidur dulu ya!" Via mengecup pipi mamanya dan beranjak kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin mamanya larut dalam kesedihan yang dalam. Cukuplah, ia sudah tahu semuanya. 
Jarum jam menunjukkan Pukul 00.05. Ponsel Via berdering. Siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan Mur.
"Happy Birthday, My dear! " Suara usil Mur dari seberang. Via terharu. Mur yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
"Thanks, Mur. You are the first to say happy birthday to me." Via tersenyum senang.
"Ooo. Im the first and may be the best." Mur tertawa renyah.
"Anything else?" 
"Oya. Besok, sepulang sekolah, kita singgah di rumahku. Aku ada kejutan. Special for you. Aku tunggu di tempat parkir ya. Bye.!!" Telpon diputus tanpa memberi kesempatan Via bertanya lebih jauh.
Sepuluh menit Via duduk menunggu. Sosok Mur belum juga nongol. Via jadi bete. Dalam hati ia menggerutu. 
"Hai, My dear. Dari tadi?" entah dari mana datangnya Mur sudah berdiri di sampingnya dengan mimik tanpa dosa.
"Dasar gilingan!! Aku sudah sepuluh menit menunggu. Kemana aja sih?"
"Sorry, Non. Biasa, Asisten Pak Rizal. Habis bantuin beliau bawa peralatan lab." 
Detik berikutnya, Feroza violet milik Mur melaju di atas aspal mulus, menembus rinai gerimis siang itu. Sepanjang jalan, via lebih banyak diam. 
"Via!" tegur Mur memecah kesunyian. "Mungkin ini ultahmu yang pertama sekaligus terakhir yang bisa kita rayakan bersama. Tahun depan papa rencana memboyongku ke Cambridge untuk kuliah di sana. Itu berarti kita nggak ketemu lagi." 
"Itu kan kesempatan, Mur. Kapan lagi bisa sekolah di luar negeri. Sebagai teman dekatmu, aku ikut bangga, kok." Ujar Via datar. Meski hatinya menjerit. Bayangan kehilangan sosok sahabat sejati seperti Mur menggiringnya pada suasana hati yang hampa. Tanpa Mur, tak akan ada lagi yang istimewa. Hari-harinya hambar, tanpa tawa dan canda usil Mur.
"Masalahnya bukan itu, Via. Aku takut kehilangan kamu." Desis Mur lirih. Via tersentak. Mur menyadari perubahan air muka Via. "Maksudku, aku menganggapmu bukan hanya sekedar teman, tetapi juga sebagai adik yang mengisi kekosongan hari-hariku. Papa terlalu sibuk. Di rumah aku nggak punya teman." 
"Mama kamu?" Tanya Via 
"Mama?" Mur mengulang pertanyaan via. "Mama meninggal waktu aku masih kecil." Jawab Mur nelangsa. Via sedikit menyesal dengan pertanyaannya barusan. 
"Sorry, Mur, aku nggak bermaksud membuatmu sedih."
"Nggak apa-apa kok, Via. Aku justru senang kamu care ama aku. Itulah sebabnya aku berat meninggalkan kamu." Sejenak Mur terdiam seperti kehabisan kata-kata. "Oya, kamu ingin kado istimewa apa untuk ultahmu?" Mur mencoba mengalihkan pembicaraan. Pamdangannya beralih ke wajah imut Via. Via menggeleng.
"Aku nggak perlu sesuatu yang istimewa. Ucapan selamat pun udah cukup. Cuman" Via menggantung kata-katanya. 
"Cuma apa?" desak Mur sedikit heran.
"Akh nggak kok." Via menelan ludah. "Andai kau tahu, Mur. Aku merindukan papa. Kalau saja papa bisa hadir bersamaku, itulah kado paling istimewa. Dan hanya Tuhan yang bisa memberinya. Bukan kamu, Mur. Bukan juga mama. Aku sungguh ingin melihat seperti apa rupa papaku yang asli. Selama ini hanya foto yang bercerita padaku. Itu pun hanya sepenggal. Ya, papa memiliki mata teduh, periang namun tegas. Hanya itu yang bisa diceritakan selembar foto berbingkai di kamarku. Juga lukisan itu. Ya, masih ada satu, Mur. Aku yakin papa orangnya romantis, berjiwa seni dan penyayang. Mungkin jiwa papa seperti aku. Senang melukis dan sedikit melankolik. Lukisan anggrek bulan itu sedikit banyak juga berbicara tentang papa". Jerit batin Via. 
Selanjutnya Via hanya membisu hingga perlahan feroza violet itu memasuki pekarangan yang tertata rapi dan natural. 
Dengan sedikit ragu, Via melangkah memasuki ruang tamu yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Di tengah ruangan, di atas meja ada kue tart dengan tulisan "HAPPY BIRTHDAY" berwarna biru berbaur dengan warna merah muda.
"Apa-apaan ini, Mur?" Via surprise. Keharuan menyeruak ke dalam hatinya. Mur hanya tersenyum.
"Special for you. Kita rayain berdua ya? Ayo, sini tiup lilinnya." Ajak Mur sambil menarik tangan Via. Via menurut. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti. 
Via terbelalak ketika tatapannya terbentur pada sebuah lukisan anggrek bulan yang terpampang jelas di dinding ruang tamu. Tanpa pikir panjang dia berlari mendekati lukisan itu. Di sudut kiri lukisan itu ada foto papanya. Persis sama dengan lukisan di kamar mama. Ditatapnya sekali lagi tanpa berkedip. Tidak salah lagi. Dia baru sadar, ternyata mata teduh itu, Oh Mata teduh itu juga milik Mur.
"Itu lukisan dan foto papa. Kado ultahku yang ketujuh belas dari papa. Kalau kamu suka, ambillah!" Mur tiba-tiba berdiri di belakang Via. Via menoleh, Detik berikutnya ia menghambur kedalam pelukan Mur yang masih terbengong-bengong.
"Kakak Riooooon!!!!!!

Galang n_^