Entah mengapa perempuan itu selalu kesulitan berdekatan diri dengan yang ghaib.
Ada nafsu jahat yang ia tahu mencoba menyelingkupi hati, untuk setiap kata ghaib yang hadir di beranda pikirannya. Melalui matanya, telinganya.
Kata dalam tulis yang ia baca, dalam suara yang ia dengar.
Kadang bersuara ketus bibirnya tak tertahankan : Busuk!
Dan nafsu jahat yang membuat ia, perempuan, tak pernah kunjung menyesali ucap kata itu.
Ia tak pernah takut. Itu satu sebab.
"Di dunia ini aku hanya takut pada dua orang, orang lain dan diriku sendiri"
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
"Belum. Tidak. Semoga tidak pernah. Tidak akan pernah"
Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan waktu malam-malamnya duduk sendiri di tempat-tempat sunyi.
Toh tak ada yang ia takuti.
Yang biasa membuat orang gentar hati.
Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan tenaga dalam darahnya untuk menarik urat bibirnya membentuk seulas senyum.
Toh tak ada risau.
Yang biasa membuat orang galau.
"Betul tak ada lagi yang kau takuti ?"
"Yup."
"Pasti?"
Hening sekejap.
Setitik cahaya berpijar di relung sel kelabunya.
Menerangi sebersit pemikiran yang menggangunya.
"Ada juga aku takut pada alam."
"Alam?"
"Hewan, tumbuhan, gunung dan lautan."
"Oh.. that's great. Satu kemajuan."
Hening sekejap.
Satu tanya tak terjawab terulur lagi, menanti.
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
Jawabnya tidak lagi sama.
Karena kini ia, perempuan, hanya mengurai benang kusut dengan satu kata.
"Tidak"
Jadi, ia, perempuan itu, lebih menghabiskan waktunya bercocok di kebun.
Menyiangi alang.
Membunuhnya dengan cinta.
Cinta pada Rose.
Pada Melati.
Pada Mengkudu kendati baunya apek sekali.
Jadi ia, perempuan itu, menghabiskan waktunya berkandang di pekarangan.
Menjumput kotoran.
Menciumnya dengan rasa.
Rasa pada hewan kecil yang mulai menua.
Pada musuh alaminya.
Pada kutu.
Pada mahluk buas bertaring yang menyalak nyaring.
"Aku takut pada ghaib yang itu"
Ia, perempuan menjawab tanpa hasrat.
"Itu bodoh bagiku"
"Tapi kemarin di televisi..."
"Kotak kaca itu berharga. Harga yang berbayar dengan tertutupnya kalbu."
"Kau belum lihat, kemarin lelaki bersorban putih itu begitu nyata, menunjukkan kuasa yang ghaib atas manusia"
"Aku lebih takut padanya, ketimbang pada ghaib yang ditunjukkannya."
"Benar?"
"Ghaib yang itu? Ya."
Jadi ia, perempuan, malam itu kembali ke peraduan.
Bersiap untuk menyatakan diri di pertengahan malam.
Untuk mengucap kata-kata isyarat, yang selalu sarat dengan asanya.
Tolong berikan hidayah pada temanku.
Ia terlalu takut pada ghaib yang itu.
Ia menafikan kuasaMu.
Menyempitkan kehadiranMu hanya dalam alam astral.
Melupakan sosokMu dalam diri setiap orang yang Kau ciptakan atas citraMu.
Mensia-siakan karyaMu dalam alam, dalam hewan, dalam manusia.
Ia lebih takut pada ghaib yang itu.
Yang ditangkap lelaki bersorban, diperangkap dalam
botol kaca, dilepaskan dalam hatinya.
Tolong berikan hidayahMu.
Jadi, ia, perempuan itu, tak kunjung berdekatan dengan yang ghaib.
Ghaib yang itu.
Sentaby,
Ada nafsu jahat yang ia tahu mencoba menyelingkupi hati, untuk setiap kata ghaib yang hadir di beranda pikirannya. Melalui matanya, telinganya.
Kata dalam tulis yang ia baca, dalam suara yang ia dengar.
Kadang bersuara ketus bibirnya tak tertahankan : Busuk!
Dan nafsu jahat yang membuat ia, perempuan, tak pernah kunjung menyesali ucap kata itu.
Ia tak pernah takut. Itu satu sebab.
"Di dunia ini aku hanya takut pada dua orang, orang lain dan diriku sendiri"
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
"Belum. Tidak. Semoga tidak pernah. Tidak akan pernah"
Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan waktu malam-malamnya duduk sendiri di tempat-tempat sunyi.
Toh tak ada yang ia takuti.
Yang biasa membuat orang gentar hati.
Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan tenaga dalam darahnya untuk menarik urat bibirnya membentuk seulas senyum.
Toh tak ada risau.
Yang biasa membuat orang galau.
"Betul tak ada lagi yang kau takuti ?"
"Yup."
"Pasti?"
Hening sekejap.
Setitik cahaya berpijar di relung sel kelabunya.
Menerangi sebersit pemikiran yang menggangunya.
"Ada juga aku takut pada alam."
"Alam?"
"Hewan, tumbuhan, gunung dan lautan."
"Oh.. that's great. Satu kemajuan."
Hening sekejap.
Satu tanya tak terjawab terulur lagi, menanti.
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
Jawabnya tidak lagi sama.
Karena kini ia, perempuan, hanya mengurai benang kusut dengan satu kata.
"Tidak"
Jadi, ia, perempuan itu, lebih menghabiskan waktunya bercocok di kebun.
Menyiangi alang.
Membunuhnya dengan cinta.
Cinta pada Rose.
Pada Melati.
Pada Mengkudu kendati baunya apek sekali.
Jadi ia, perempuan itu, menghabiskan waktunya berkandang di pekarangan.
Menjumput kotoran.
Menciumnya dengan rasa.
Rasa pada hewan kecil yang mulai menua.
Pada musuh alaminya.
Pada kutu.
Pada mahluk buas bertaring yang menyalak nyaring.
"Aku takut pada ghaib yang itu"
Ia, perempuan menjawab tanpa hasrat.
"Itu bodoh bagiku"
"Tapi kemarin di televisi..."
"Kotak kaca itu berharga. Harga yang berbayar dengan tertutupnya kalbu."
"Kau belum lihat, kemarin lelaki bersorban putih itu begitu nyata, menunjukkan kuasa yang ghaib atas manusia"
"Aku lebih takut padanya, ketimbang pada ghaib yang ditunjukkannya."
"Benar?"
"Ghaib yang itu? Ya."
Jadi ia, perempuan, malam itu kembali ke peraduan.
Bersiap untuk menyatakan diri di pertengahan malam.
Untuk mengucap kata-kata isyarat, yang selalu sarat dengan asanya.
Tolong berikan hidayah pada temanku.
Ia terlalu takut pada ghaib yang itu.
Ia menafikan kuasaMu.
Menyempitkan kehadiranMu hanya dalam alam astral.
Melupakan sosokMu dalam diri setiap orang yang Kau ciptakan atas citraMu.
Mensia-siakan karyaMu dalam alam, dalam hewan, dalam manusia.
Ia lebih takut pada ghaib yang itu.
Yang ditangkap lelaki bersorban, diperangkap dalam
botol kaca, dilepaskan dalam hatinya.
Tolong berikan hidayahMu.
Jadi, ia, perempuan itu, tak kunjung berdekatan dengan yang ghaib.
Ghaib yang itu.
Sentaby,