October 2009 ~ pratamagta

Tuesday, October 13, 2009

PPLK

Kenapa sinar mentari hari ini tak mampu menyilaukan mataku? Mungkin bukan waktu yang kan menemaniku hari ni, mungkin juga sang waktu tlah membenciku. Aku sadar apa yang terjadi dan aku memakluminya. Aku mencoba memanfaatkan waktu sebisa yang aku sanggupi namun tetap saja aku telah menyia-nyiakannya. Bodohnya aku. Tak ada yang bisa aku salahkan ketika aku mulai merasa tak nyaman pada keadaan tapi itu juga bukan berarti aku tak bersyukur dengan apa yang ada. Aku sudah beranjak dewasa dan seharusnya aku bisa sedikit mengerti keadaan dan memahami kenyataan yang ada. Setidaknya itulah yang pernah ayah ku katakan.
Aku bingung malam ini. Tak mampu memejamkan mata,namun mataku mulai sayu. Berkedip dan sejenak memejamkan mata namun tak bisa terlelap. Ini tak ada hubungannya dengan penyakit tidur karna sebenarnya aku tak pernah menderita penyakit itu dan semoga saja aku tak kan pernah mengalaminya. Ini tentang aku dan beberapa masalahku yang timbul beberapa hari belakangan ini. Tak ada yang bisa aku salahkan kecuali diriku sendiri yang tak bisa memanfaatkan apa yang aku punya.
Semuanya berawal dari ospek yang memang harus aku lalui di salah satu kampus ternama di kota Purwokerto, sebut saja AKATEL. Hari hari yang melelahkan mulai terjadi dan itu cukup menguras tenaga,pikiran, dan dompetku. Aku mencoba menjadi mahasiswa baru yang antusias dengan kegiatan itu. Amanat dan tugas satu persatu aku lalui. Pulang malam, mengerjakan tugas sampai harus lembur dengan teman – teman, pagi buta berangkat ke kampus dan seterusnya selama masa ospek atau yang lebih dikenal dengan kegiatan PPLK dan PDD di kampus ku.
Tak masalah untuk aku yang memang sudah terbiasa dengan keadaan itu di smk namun yang jadi masalah adalah keuanganku. Belakangan ini keuangan keluargaku masih agak tidak setabil. Kebutuhan keluargaku, adik aku yang sudah jelas tiga smp ini, dan lain sebagainya. Belum lagi ayahku dalam waktu dekat akan serah trima jabatan .beberapa hari setelah pembukaan PPLK dimulai aku mulai kehabisan dana dan uang saku aku mulai menipis. Aku mencoba menghubungi orangtuaku untuk membicarakan hal ini. Seperti biasanya, ayahku selalui mencukupi kebutuhanku selama itu memang aku gunakan untuk hal yang perlu . beliau menyadari dan mengerti keadaanku dan aku menerima kiriman uang dari beliau dengan jumlah yang cukup besar untuk kegiatan tersebut. Aku mulai tenang menghadapi masa – masa PPLK dan PDD di kampusku. Tetap dengan galang yang penuh semangat.
Hari terakhir PDD aku mulai kehabisan dana lagi aku tak tahu harus bagaimana. Mengungat beberapa hari yang lalau aku baru saja mendapatkan uang dari ayahku aku tetap mencoba diam, namun keadaan memaksaku untuk bicara pada ibuku. Ayahku temasuk salah satu dari pria bijaksana yang aku temui di dunia ini dan aku bangga dengan beliau. Meski tak ada yang bisa di banggakan dari aku namun aku tetap mencoba mengukir prestasi untuk membanggakannya. Selang beberapa jam dari aku menghubungi orangtua ku, aku mendapati ATM ku telah terisi uang lagi. Dengan hati riang aku ambil uang tersebut dan langsung aku gunakan untuk membayar hutang ku terhadap beberapa temanku yang memang selama aku kehabisan uang mereka membantuku untuk tetap bisa mengikuti kegiatan PPLK. Hutangku di warung makan dekat kos juga langsung aku lunasi. Tersisa kurang dari setengah dari yang diberikan ayahku. Aku mulai melakukan penghematan dan aku benar – benar hemat dalam menjalankan kehidupanku sebagai anak kos.
PPLK benar – benar menguras semuanya dari dompetku. Aku tak mungkin menceritakan ini pada kedua orangtua ku lagi. Mereka sudah cukup lebih untuk menampung semua masalahku. Ayahku menghubungiku untuk menanyakan kabar dan berbicara padaku tentang pelantikan yang akan di laksanakan 2 minggu lagi. Aku bangga dengan itu. Sebenarnya waktu itu aku sudah mengumpulkan keberanian untuk berbicara jujur kepada orangtuaku tentang keadaan ekonomiku yang benar – benar sudah menipis. Namun itu terhenti dan dalam sekejap keberanian itu hilang. Ayahku mengatakan bahwa pengeluarannya membengkak bulan ini. Belum lagi belia harus memepersiapkan diri untuk jabatan barunya itu. Bodohnya diriku. Aku harus mengerti dengan keadaan itu dan aku sadar bahwa aku bukan anak kecil lagi dan aku mampu. Dengan lantang aku ucapkan mampu ketika ayahku menyarankan agar aku mengerti dan berusaha hemat. Padahal dalam dompetku sudah tak ada uang sepeserpu.
Aku mulai memutar otak untuk hal ini. Aku pergi ke kos teman baik ku yang bisa di bilang kami sangat dekat. Berharap disana aku mendapatkan sedikit ketenangan untuk berpikir. Dia masih kelas 3 smk di tempat dulu aku sekolah. Berbicaranya beberapa menit sudah cukup untuk membuatku merasakan ketenangan. Namun ternyata pada waktu itu dia sedang mendapatkan kesulitan uang juga dan sedikit mengeluh padaku. Beberapa hari lagi dia UTS (Ujian Tengah Semester) dan biaya Sekolahnya bulan ini belum bisa dia bayar karna suatu masalah. Padahal itu syarat mrngikuti UTS. Aku mulai berpikir dan mencoba untuk memecahkan masalahnya sedangkan aku sendiri masih dalam masalah.
Sepulang dari kos temenku itu aku sedikit bengong dan memutar otak berharap aku menemukan sesuatu dalam otak kecilku. Kupandangi sekitar kamar kosku. Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku memandang telepon genggam pemberian ayahku. Sejenak aku berpikir untuk menjualnya, namun seketika itu juga aku teringan dengan apa yang pernah ayahku katakan ketika memberikan itu padaku. Yang kurang lbih intinya, aku tak bleh menjualnya pada siapapun. Tapi bisa apa aku??. Harus bagaimana lagi?? Dengan sigap aku ambil hp tersebut dan aku menjualnya. Tindakan terbodoh yang pernah aku lakukan, tapi aku melakukannya dengan sadar.
Aku kembali ke kamar dengan memegang uang dari hasil penjualan hp tersebut. Aku pilah pilah uang tersebut untuk keperluanku yang memang sangat mendesak. Aku mulai melangkah dengan hati berat untuk menyelesaikan masalah keuanganku tersebut. Di tengah jalan aku teringat dengan temanku yang lebih membutuhkan uang tersebut untuk biaya UTS nya. Aku tak boleh egois seperti ini. Aku palingkan arahku menuju kosnya dan ku berikan uang tersebut untuk biaya sekolahnya. Dia tersenyum lebar menerima bantuanku itu. Maskipun dalam keadaan genting aku masih bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya. Aku turut senang melihatnya tersenyum lagi. Masih tersisa Rp 100.000 di tanganku. Aku kembali ke kos. Maslahku belum selesai.
Aku ingat pesan ayahku yang melarang aku untuk menjadi lilin. Menyinari kehidupan orang lain namun diriku sendiri harus meleleh.
Aku menulis memang hanya dengan ini aku mampu menceritakan apa yang aku alami. Aku tak mau menambah beban orang – orang yang ada di sekitarku dengan masalahku. Ini kau galang dan aku kenal galang yang tidak pernah mau menyerah pada keadaan. Dan ini merupakan masalah yang harus aku pecahkan agar aku mampu beranjak dewasa seperti apa yang ayahku harapkan.