2009 ~ pratamagta

Wednesday, December 30, 2009

masih ada mimpi

Seperti halnya dia yang merayap tanpa tahu apa yang ada di atasnya.
Seperti halnya udara yang tak tahu kapan dia akan berubah menjadi angin.
Seperti halnya tanah yang tak pernah mengeluh ketika manusia menginjaknya.
Seperti halnya gelombang air laut yang tak kan pernah takut meskipun tahu dia akan menghantam pantai.
Seperti halnya aku yang tak pernah bisa lari dari kenyataan ini.

                Bukannya hari ini biasa saja, namun tak lepas dari semua itu ada sesuatu yang menghantam jiwa salah satu dari penghuni kota tanpa cahaya. Menggeriyat bukanlah impian hatinya dari dahulu. Dari dia bisa merasakan cinta ataupun ketika dia mengenal luka. Namun kali ini berbeda untuknya. Semua terasa hambar dimatanya dan tak ada hal indah sejauh matanya memandang. Tatapannya terpaku pada masa depan yang tak seharusnya dia renungkan..
                Raungan motor ini memecah keheningan malam dan sedikit memekakan telinga. Meraung diantara rintikan hujan yang mulai membasahi dunia,menetes dan bercampur dengan air matanya. Tetap melaju tanpa memikirkan hari esok. Pikirannya gundah dan tak lepas dari itu hatinya mulai menangis dan merintih. Diamlah kawan dan sejenak nikmati apa yang sedang teman kita rasakan. Terus melaju dengan kecepatan melebihi apa yang kita pikirkan. Entah apa yang sedang dia pikirkan namun dia benar menurutnya. Keindahan yang dia maksud berbeda dengan keindahan yang kita semua impikan. Kehidupannya hancur ketika dia mulai mengenal wanita yang menurutnya adalah gadis terindah dalam hidupnya. Okey kita hargai itu. Kembali ke permasalahan. Namanya Raflesia Arnoldy dan sering disapa dengan sebutan Arnold. Pemuda lajang belasan tahun ini belum mengerti apa – apa tentang kehidupan namun dia memfonis dirinya telah patah hati. Aneh bukan?? Tak ada yang perlu kita tertawakan karna kita tak berhak menertawakan perasaan seseorang meskipun kita membenci orang tersebut.
                Terus melesat tanpa mempedulikan air hujan yang mulai deras membasahi tubuhnya. Menggigil sudah pasti namun apa dia peduli?? Yang ada dalam otaknya hanyalah rasa sakit yang baru saja dideritanya sore tadi. Sejenak dia berpikir tuk mengakhiri semuanya. Duh dasar anak – anak. Hehehe,,,,
                Selang beberapa waktu kendaraannya mulai terhenti diatas bukit tak jauh dari kota tanpa cahaya dimana setiap tetesan air mata yang ia keluarkan berisikan kepedihan hatinya. Comunikator N9210 masih melekat di saku celana kanannya yang mulai ia sadari seluler itu mulai bergetar mengiringi panggilan dari temannya yang mencoba menenangkan hatinya. Namun sejauh temannya berusaha menenangkan hatinya tak ubahnya dengan hal yang sia – sia.
                Dia putus asa dan mencoba untuk menikmati sisa hidup yang ia pikir tinggal beberapa menit itu. Melangkah mendekati tepian jurang tanpa ragu. Dunia ini sempit baginya dan sebenarnya tak sesempit itu kalau dia mampu berpikir lebih dewasa. Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi hanya gara – gara sesosok manusia menawan yang dia sebut sebagai bidadari hatinya ternyata tak mampu memberinya kesempatan tuk menjadikannya seseorang yang terindah dalam hati.
                Sejenak dia merenungkan nasibnya dan berbicara seolah – olah nyawanya akan tercabut sebentar lagi.
Aku siap mati
Hanya tuk sekedar pahami, cinta ku tak berarti untukmu
Aku sudah tak
Dengan airmata ibuku
Menangisi kuburku karnamu…
Hanya karna mu…

                Lantunan maya itu mulai menghantui jiwanya yang sedang bimbang dan tanpa ia sadari langkahnya tak mapu ia tahan lagi. Air hujan, malam dan beberapa pepohonan yang ada di sekitar tempat itu menjadi saksi tergelincirnya tubuh remaja. Melalui semak semak dan menghantam tanah dengan penuh harapan agar nyawanya langsung tercabut begitu saja. Apa dia merasa sudah menjadi malaikat yang mampu mengatur kapan nyawanya akan habis?? Tak perlu kita pikirkan itu. Yang kita tahu sekarang dia telah mencoba melakukan hal yang salah hanya demi keyakinan yang sebenarnya salah. Ingatlah satu hal kawan. Pemikiran yang salah akan melahirkan tindakan yang salah dan hanya orang bodoh yang mau mengakhiri hidupnya hanya demi cinta. Cinta itu terlahir bukan untuk di tangisi…


…………………………..
                Dingin mulai merasuk tak hanya dalam hati namun mulai menggerogoti relung jiwanya yang katanya telah hancur karna cinta. Beberapa buliran airmenjatuhi tubuhnya tanpa rasa ragu. Namun tak menyadarkannya.berjalan di dekatnya sesosok wanita yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam remang ia sedikit melihat sosok wanita tersebut membelai lembut wajahnya dan meneriakan namanya. Apa aku tega melihat pemandangan itu?? Sekelilingku mulai gaduh dan di penuhi beberapa orang yang mencoba menolongnya. Aku tak hanya diam, mulai ku langkahkan kakiku mendekati tubuhnya yang lemah tak berdaya dan dengan bantuan beberapa warga,kutarik badannya menjauhi beberapa batang kayu yang menjepitnya dari tadi. Aku tak tahu mana air mata dan yang mana air hujan,,, semuanya Nampak sama.
Puspita dian Pradana, nama itu terlekat pada jiwa wanita yang lahir belasan tahun yang lalu. Nampak diparasnya kepedihan yang mendalam ketika itu dan pernahkah kalian terpikir akan terjadi sesuatu yang indah pada dirinya hari ini?? Malaikatpun tak punya waktu tuk memeikirkannya. Semua pemikirannya tertuju pada Arnold yang lemah tak berdaya menikmati irisan jiwa yang ia yakini sebagai keindahan yang abadi.
                Dilain hari aku meluangkan waktu tuk menikmati indahnya sore hari bersama beberapa temanku. Bercanda penuh keriangan dan selalu saja membahas hal yang sebenarnya tak penting untuk dibicarakan namun kita memang bangga melakukan itu. Bukan kepedihan yang sedang kita bicarakan namun sebuah senyuman yang terpancar dari wajah kami berlima yang menamai diri kami sebagai ‘Leter G community’ karena kita memang sama sama dari daerah yang bernomor polisi kendaraan diawali dengan huruf G.
                Sedikit kita tinggalkan tentang cerita kebahagiaan kita sejenak karna disamping itu ada keadaan yang harus kalian ketahui terlebih dahulu. Berjalan di depan kami sesosok wanita yang berparas ayu dan memiliki untaian rambut yang indah namun tak sedikitpun keindahan terpancar dari raut mukanya hanya beberapa airmata yang kami lihat membasahi parasnya itu. Kusapa namanya dan kami memaksanya tuk tinggal sejenak disini tuk menghilangkan rasa penat yang sedang menghantuinya. Sebenarnya aku malas menanyakannya namun secara tiba – dia meminta kami tuk memberikan beberapa jalan keluar pada masalahnya itu.
                Ruang tamu kos kami yang sebelumnya terasa hangat dan penuh dengan tawa, tiba –tiba hening.sedikitpun tak ada yang mampu memecahkan keheningan ini. Pikiran kami tak menyatu dengan otak kami, entah melayang kemana pikiran kita pikiran kita waktu itu.

Friday, November 6, 2009

E.L.A.N.G



Hujan selalu saja mengingatkan Raras pada Elang. Elang suka hujan. Katanya hujan itu salah satu anugerah Tuhan yang paling indah. Merenung di saat hujan, bisa membuat hati tenteram dan damai. 
"Itu kalau perut kenyang. Jika sedang lapar, hujan justru membuat hati semakin miris." 
Mengenai hujan, mereka memang berbeda pendapat. Bagi Raras hujan itu malapetaka. Ia akan jatuh demam bila terkena hujan sedikit saja. Hingga ia harus terkurung di rumah tanpa bisa ke mana-mana. 
Raras menghela napas. Di luar hujan masih deras. Matanya menatap lurus pada ribuan jarum hujan yang turun. Dicobanya mencari suatu makna pada hujan tersebut. Yang membayang justru wajah Elang. Elang seakan menatapnya dengan lembut. Lengkap dengan senyumnya yang sanggup membuat hati Raras bergetar hebat. 
Elang, di mana kamu sekarang? 
Hampir tiga tahun sudah Elang pergi. Ini tahun ke dua cowok itu tidak lagi pernah memberi kabar. Raras masih ingat, tiga tahun yang lalu Elang berjalan lambat di bawah hujan untuk pamit padanya. Saat itu Raras tengah termangu di depan jendela kamar. Dari jauh ia sudah melihat Elang berjalan lambat di tengah hujan, dengan ransel besar di punggung. Dari loteng, segera Raras turun ke bawah. 
"Ada apa, Lang?" tanya Raras khawatir sambil mengangsurkan sebuah handuk kering pada Elang yang terlihat kedinginan. 
"Aku mau pergi." 
"Ke mana?" 
"Jogja." 
"Buat apa kamu ke sana?" 
"Mengembangkan bakat melukisku." 
"Lantas kuliahmu?" 
"Terpaksa kutinggal." 
"Bertahanlah!" 
"Aku tak bisa, Ras! Ke dua 'anjing' sialan itu semakin menjadi-jadi. Bodohnya Papa selalu menurut apa kata mereka. Hingga Papa tega mengusirku dari rumah." 
Raras menatap iba, ia mengerti isi hati Elang. Elang memang sangat membenci kedua wanita yang menjadi mama tiri dan adik tirinya itu. 
"Lalu bagaimana dengan aku?" cetus Raras pelan. 
Elang tersenyum sambil menatap lembut. "Aku memang pergi jauh. Tapi hatiku tetap tinggal di sini, bersamamu." 
"Tapi Lang...." 
"Percaya padaku, Ras!" potong Elang cepat. 
Raras membisu. 
"Aku pergi." 
"Di luar masih hujan." 
"Aku tak ingin berlama-lama di sini. Di dekatmu, aku takut keputusanku untuk pergi menjadi goyah." 
"Bukankah itu lebih baik?" 
Akhirnya Elang pergi. Raras tahu apa pun tak bisa mengubah keputusan Elang. 
Elang datang dengan menerobos hujan. Pergi juga ia masih menerobos hujan. Raras menatap tubuh jangkung itu menjauh, sampai menghilang di tikungan jalan depan rumahnya. 
Sebulan kepergian Elang, tak terhitung berapa kali ia menelepon Raras. Memasuki bulan kedua, intensitasnya mulai berkurang. Katanya tak sanggup dengan biaya interlokal. Raras usul gantian menelepon, tapi kata Elang tak ada nomor yang bisa dihubungi, karena selama ini Elang menelepon dari wartel. 
Bulan ketiga dan seterusnya mereka berhubungan melalui email. Walau sesekali elang menelepon karena rindu mendengar suara Raras. 
Di Jogja aku harus hidup hemat, penghasilanku sebagai pelukis pemula sangat kecil. Belum lagi saingan yang sangat banyak. Terkadang sebuah lukisanku hanya laku terjual limapuluh ribu rupiah. Tapi aku bersyukur pada Tuhan, masih bisa hidup dan makan, tulis Elang pada sebuah email. 
Raras rutin membalas. Setiap emailnya selalu berisi pemompa semangat Elang. Ia ingin Elang berhasil menggapai impiannya. Ia tak mau perhatian Elang bercabang antara karir dan dirinya, hingga Raras memutuskan untuk merahasiakan penyakitnya dari Elang. 
Sepuluh bulan kepergian Elang, surat-surat yang dikirim Raras kembali dengan alasan pindah alamat. Email yang terkirim tak pernah berbalas. Memasuki bulan ke duabelas sebuah kartu pos datang padanya. 
Sekarang aku di Belanda. Kuputuskan untuk menjadi pelaut saja. Kebetulan ada kenalan temanku di Jogja yang kerja di kapal dan butuh awak baru. Doakan aku, Ras, agar suatu hari nanti kapalku berlabuh di Belawan. 
Itu satu-satunya kartu pos yang terkirim dari Elang. Dua tahun sudah. Dan Raras selalu berdoa dan menunggu, agar Elang datang padanya. Sekali saja.

***

Selain hujan, Elang juga suka laut. Berjam-jam Elang sanggup berdiri di tepi laut. Menatap jauh ke depan. Mengagumi laut yang seolah tak berbatas. 
Sering Elang mengajaknya, tapi Raras kebanyakan menolak. Ia kapok menemani Elang menatap laut. Membosankan dan membuat kaki jadi pegal. 
"Apa indahnya dari laut ini?" Raras mengomel begitu. Sudah lebih dua jam mereka hanya berdiri dan duduk menatap laut. Tapi Elang belum juga mau pulang. 
"Banyak, Raras. Bayangkan kalau kamu bisa terbang di atas air laut itu. Tentu sangat indah dan menyenangkan." 
"Kalau begitu, seharusnya kamu terlahir sebagai burung saja." 
Setelah Elang pergi, Raras jadi suka pergi ke tepi laut. Sendirian. Seperti sore ini, Raras tengah menatap lurus ke depan, lalu beralih ke angkasa biru. Begitu indah. Langit berwarna cerah. Burung-burung terbang bebas di atas air laut. 
Gadis itu menghela napas berat. Wajahnya masih mendongak. Mungkinkah saat ini Elang juga tengah menatap birunya laut dari daratan yang lain seperti dirinya? Apakah saat ini Elang juga tengah memikirkan dirinya dan merasa rindu yang seakan tak tertahan lagi? Atau justru Elang telah lupa pada Raras, karena baginya Raras hanyalah bagian masa lalu yang berarti apa-apa? 
Kembali Raras menghela napas panjang. Kemarin Raras mengunjungi Dokter Heru. Tidak seperti biasanya, kali itu Dokter Heru menjabat erat tangannya ketika mengantar Raras keluar. Ucapan terakhir dokter itu telah mengisyaratkan hal buruk buatnya. 
"Banyak-banyaklah berdoa, Raras. Semoga Tuhan mendengar segala permintaanmu itu." 
Wajah Raras berubah pucat. "Apakah ini artinya...." 
Dokter Heru tersenyum arif. "Tak ada yang perlu kau cemaskan. Karena pada dasarnya kita harus berserah kepada Tuhan, bukan?" 
Dadanya terasa sesak. Sampai sekarang ini dalam hati kecilnya, Raras selalu bertanya mengapa semua ini harus terjadi padanya. Leukimia bukan penyakit main-main. Ia belum mau mati sebelum bertemu Elang untuk terakhir kalinya.

***

Raras terlongo. Dikuceknya kedua mata, untuk memastikan bahwa ini bukan hanya halusinasi. Tapi senyum makhluk yang berdiri di depannya justru pecah menjadi tawa. 
"Elang?!" 
Elang mengangkat bahu dan tersenyum lebar. "Daya ingatmu hebat juga. Padahal aku telah jauh berubah." 
"Mana mungkin aku bisa melupakanmu." 
Elang maju setindak demi setindak. Susah payah Raras berusaha bangkit. Elang menahannya. 
"Berbaring saja. Biar cepat sembuh." 
Hangat Elang merangkum kedua tangannya. Kedua mata Raras memanas. Elang menatapnya lekat. 
"Aku pasti kelihatan sangat jelek. Rambutku sudah mulai menipis akibat kemoterapi." 
"Di mataku kau tetap gadis yang tercantik." 
"Kemana saja selama ini?" 
"Mengembara. Mencoba hidup dan mencari jatidiri." 
"Kamu seperti menghilang ditelan bumi. Padahal aku selalu mengharap surat atau dering telepon darimu." 
"Sangat ingin, Ras! Tapi aku tak mau mengganggumu." 
Mata Raras mendelik. 
"Aku merindukanmu, Ras! Makanya aku pulang." 
"Setelah melihatku begini, kamu pasti kecewa." 
Elang menggeleng. Ia rapikan anak-anak rambut Raras yang berantakan di sekitar dahi dan pipinya. 
Raras memejam mata. 
"Kamu harus cepat sembuh. Biar bisa menemaniku jalan-jalan, menatap hujan dan laut. Mau ya, Ras?!" 
"Kata dokter umurku...." 
"Tahu apa dokter itu. Dia bukan Tuhan yang bisa menentukan umur manusia sesuka hatinya." 
Hidup adalah perjalanan yang akan berujung di suatu masa. Bersama Elang di sampingya, Raras yakin perjalanannya masih sangat panjang. Bukankah semangat dan keyakinan untuk hidup jauh lebih manjur dari segala pil-pil yang ditelannya selama ini?

bintang tak kan redup dan terjatuh


Tiara, semua yang ada padamu hanyalah keindahan dan kesempurnaan. Andai saja kamu buatan pabrik, tentulah kamu rakitan seorang maestro dengan komponen pilihan utama. Tidak saja kamu cantik. Tapi juga pintar. Rendah hati, ramah dan baik. Mungkin penilaianku sangat subjektif. Tapi memang begitulah kamu. 
Tiara. Aku mencintaimu. Bahkan amat sangat mencintaimu. Cintaku padamu melebihi apapun di muka bumi ini. Termasuk diriku sendiri. 
Mungkin terdengar gombal. Tapi begitulah adanya. Dan aku yakin aku bukanlah satu-satunya pria yang mencintaimu. Tapi aku juga yakin tak ada pria yang mencintaimu melebihi aku. Katakan Tiara, apapun kulakukan demi menyenangkan hatimu. Dan apapun akan kuberikan demi mendapat cintamu.
Tiara.... 
"Aduh...." 
"Melamun lagi? Kamu tahu tidak, kucingku kebanyakan melamun, sorenya mati kelindas kereta api." 
Aku mengelus kepalaku yang ditimpuk Joko dengan tasnya. "Itu kucingmu. Kucingku lain lagi ceritanya." 
"Apa?" 
"Pagi melamun, sorenya diadopsi sama Nafa Urbach." 
Joko terbahak. "Ngarang!" 
Aku mesem. Bayangan Tiara hilang dari benak. Namun justru sosoknya yang kini hadir di depan. Tanpa menoleh kanan-kiri apalagi ke atas, Tiara melenggang indah menuju bangkunya yang berada paling depan sebelah kanan. 
Makin hari Tiara makin cantik saja. Dengan rambut model apapun, selalu sesuai dengan wajahnya. Andai dimodelin rambut Rohaye, barangkali Tiara tetap cantik. Atau bisa jadi kian kiyut. 
Tiara, 
I really love you. So much. 
"Hei...," Joko mencolek bahuku. 
"Apa?" 
"Lihat, Tiara makin cantik saja. Tapi sayang...." 
"Kenapa?" tanyaku penasaran. 
"Sayang dia nggak mau sama aku." 
"Habis wajah kamu jelek. Nggak komersil." 
Joko mencibir. "Kayak kamu itu kebagusan saja." 
"Wajahku memang nggak menarik. Tapi aku punya percaya diri yang tinggi." 
"Itu bukan percaya diri namanya. Tapi nggak tahu diri." 
"Lihat saja. Aku akan mendapatkan Tiara." 
"Mimpi!" ejek Joko, menahan senyum. 
Tiara cantik, itu semua orang tahu. Banyak lelaki yang jatuh cinta padanya, itu juga sudah menjadi rahasia umum. Tapi kalau aku terobsesi untuk mendapatkan Tiara, itu hanya aku yang tahu. 
Setahuku Tiara belum punya pacar. Tapi andai pun sudah punya pacar, langkahku tak akan surut. Selagi janur kuning belum menggantung di depan rumahnya, Tiara masih bebas memilih. Apalagi di zaman edan ini, yang punya anak saja masih ada yang mengejar.

***

Pagi di sekolah. Di ruang kelas, hanya ada aku sama Tiara. Memang semenjak dekat dengan Tiara, aku selalu berusaha untuk datang sepagi mungkin. Biar bisa berduaan.

"Hai...." 
"Hai juga!" 
"Nggak turun ke kantin?" 
"Malas." 
Aku mengambil tempat di kursi sebelah Tiara. Kebetulan jam istirahat. Kebetulannya lagi Lia teman sebangku Tiara sudah turun ke kantin. 
"Kamu nggak ke kantin?" 
"Malas juga." 
Tiara tersenyum mendengar jawabanku yang tidak kreatif. 
"Asyik sekali. Baca apa?" 
Tiara menunjukkan buku di tangannya padaku. 
"Oh, suka baca novel?" 
"Iya. Khususnya Marga T sama Mira W. Ceritanya ringan dan mudah dicerna." 
"Supernova suka nggak?" tanyaku asal. 
"Pernah baca sih. Bukannya terhibur, yang ada kepalaku pusing. Ribet banget." 
"Sama, dong!" 
"Kamu suka baca novel juga?" 
"Terkadang. Kalau lagi suntuk atau nggak ada kegiatan." 
"Kamu suka siapa? Agatha, ya?" 
Aku bingung. Tapi akhirnya kuanggukkan saja kepalaku. Untungnya Tiara tak bertanya lebih lanjut. Karena aku tidak tahu siapa itu Agatha. Mungkin Agathawati, atau mungkin juga Agatha Dewi. 
Tiara terlihat antusias. "Di rumah banyak buku Agatha. Kebetulan abangku ngefans sama dia. Kalau kamu mau datang saja ke rumah." 
"Kapan aku boleh datang?" 
"Terserah kamu." 
"Malam Minggu, boleh?" tanyaku ragu-ragu. 
Tiara diam sejenak. Tapi akhirnya mengangguk. 
Aku tersenyum senang. Dadaku buncah. Ah, Tiara. Ternyata tak sesulit dugaanku untuk mendapatkanmu.

***
"Kamu terlihat dekat sama Tiara." 
"Siapa dulu, dong. Robert!" kataku sambil menepuk dada. 
Joko mencibir. "Kamu pelet dia?" bisiknya kemudian. 
Aku melotot sama sahabat kentalku itu. "Pikirmu aku cowok pengecut, yang hanya berani mengambil jalan pintas?!" 
Kembali Joko mencibir. "Kalau nggak mana mungkin Tiara mau dekat-dekat sama kamu. Kamu kan jelek banget." 
"Berapa kali aku harus bilang, kegantengan bukan segalanya. Masih ada sesuatu yang lebih penting di atas itu." 
"Apa?" 
"Cinta dan perhatian. Plus kasih sayang." 
Joko terbahak. Seolah mengejek ucapanku barusan. Terus terang aku sakit hati mendengar tawanya itu. 
"Kalau hanya itu, setiap orang juga punya untuk cewek secantik Tiara. Tapi harta dan tampang, tidak semua orang punya." 
"Terserah anggapan kamu. Yang pasti Tiara memilih aku sebagai cowok yang paling dekat dengannya untuk saat ini. Itu karena aku punya keistimewaan, dong!" 
"Dukun kamu barangkali, sakti luar biasa." 
Aku menatap Joko tak suka. "Terserah apa kata kamu."

***
Pagi di sekolah. Di ruang kelas, hanya ada aku sama Tiara. Memang semenjak dekat dengan Tiara, aku selalu berusaha untuk datang sepagi mungkin. Biar bisa berduaan. Agar kami semakin akrab dan lebih mengenal pribadi masing-masing. 
"Beth, minggu depan aku ulangtahun." 
"Oya?" 
"Rencananya mau aku rayain." 
"Di hotel atau cafe?" 
"Di rumah saja. Aku bisa minta bantuan kamu?" tanyanya ragu-ragu. 
"Bisa, dong!" sahutku cepat dengan dada membusung. Cowok mana yang tidak berbangga hati bila diminta bantuannya oleh seorang cewek yang amat dicintainya. "Bantuan apa?" 
"Banyak. Misalnya membagikan undangan, menghias ruangan. Pokoknya kayak seksi repot begitu, deh!" 
"Kalau itu mah kecil. Kebetulan aku sering mendekor ruangan pesta di kompleks rumah aku." 
Tiara tersenyum. Manis banget. Aku menneguk ludah. Kalau saja aku punya keberanian, sudah kucium pipinya itu. 
"Bayangkan, Jok! Tiara memintaku untuk terlibat di pesta ulangtahunnya minggu depan," ucapku semangat begitu Joko duduk di sampingku. 
"Memangnya di pesta Tiara nanti ada badutnya?" 
"Apa hubungannya keterlibatanku di pesta ulang tahun Tiara sama badut?" 
"Bukannya Tiara meminta kamu jadi badut?" 
"Bukan, Setan!" 
"Lantas?" 
"Tiara memintaku membagikan undangan dan mendekor ruangan pestanya." 
"Dan kamu bangga dengan permintaannya itu?" 
"Tentu saja. Berarti Tiara membutuhkan aku." 
Joko terbahak. Aku menatapnya jengkel. Karena kupikir tak ada yang lucu dan pantas untuk ditertawakan. 
"Apanya yang lucu?" 
"Kamu itu, sudah dibodohin, bangga lagi. Dia itu cuma mau manfaatin tenaga kamu. Kirain dia meminta kamu jadi pendampingnya." 
Aku mencibir. Dasar Joko sirik dengan rezekiku. Soalnya aku tahu, kalau dia juga ada hati sama Tiara. Coba kalau dia yang dimintai tolong sama Tiara, pasti dia juga nggak nolak. 
"Cemburu?" 
"Cemburu sama kamu?" Mendelik mata Joko. "Yang benar saja. Tiara itu bukan level kita. Kamu saja yang nggak tahu diri dan mau dibodohi sama dia."

***
Di pesta ulang tahun Tiara. Aku duduk kecapekan di teras belakang rumah. Nafasku ngos-ngosan. Aku memang capek luar biasa. Dari pagi sampai tadi kerja terus. Nggak ada istirahatnya. Semua memang aku kebut sendirian. Dari mengangkati sofa-sofa ke luar ruangan, mendekor ruangan, sampai mengambil pesanan kue ulangtahun. Aku babat sendirian. 
Meski letihnya setengah mati, aku cukup senang bisa membahagiakan Tiara. Setidaknya Tiara jadi tahu kalau aku ini bisa diandalkan. Aku tersenyum bangga. Segera aku bangkit. Kudengar suara-suara dari ruang depan. Tamu-tamu sudah datang rupanya. Aku harus segera mandi dan tampil maksimal. Biar sebanding kalau nantinya berdiri di samping Tiara saat pemotongan kue. 
Untung aku bawa baju dan peralatan mandi. Aku mandi di kamar mandi pembantu. Kedua pipiku kusabuni sampai benar-benar kinclong. Barangkali saja nanti dapat jatah ciuman dari Tiara.. 
Sehabis mandi, aku dandan sebentar. Memakai jas kawin Ayahku dulu yang kuambil diam-diam. Sekalian juga memakai dasi kupu-kupu yang kupinjam dari Mas Seno, tetanggaku. Kusisir rambutku yang keriting. Biar nggak terlihat seperti sarang tawon. Setelah semuanya cukup pantas, aku masuk ke ruangan tengah yang telah kusulap menjadi arena pesta. 
Aku berjalan dengan dada membusung dan wajah terangkat. Kulepas senyum ke segala arah dan sudut. Kurasakan seluruh mata tertuju padaku. Andai aku selebritis, pastinya kilatan 
blitz akan mengarah padaku saja. 
Kudekati Tiara yang tengah berbincang dengan Lia. Duh, aku terpesona melihatnya. Dia terlihat seperti bidadari dengan balutan gaun berwarna biru muda begitu. Bahunya yang terbuka terlihat sangat mulus dan kinclong. 
"Beth, bisa tolong aku?" 
"Apa yang nggak bisa aku bantu buat kamu. Robert gitu, loh!" 
Tiara tersenyum senang. "Tolong dong, aturin kendaraan di luar. Katanya semrawut. Jadi susah parkirnya. Sekalian kamu jaga juga. Biar nggak ada yang hilang." 
"Oke. Itu sih kecil." 
"Kamu baik, deh!" Tiara menowel pipi kananku. Aku terkaget karenanya. 
Aku keluar. Memang benar mobil parkir semrawut. Ada yang melintang kanan, ada yang melintang kiri. Waduh, baru belajar setir mobil barangkali semuanya. Parkir saja tidak becus. 
"Woi, dekorator merangkap jadi tukang parkir juga?" 
Aku menoleh. Joko tertawa terbahak melihatku. Aku mencibir jelek. 
"Ngapain kamu datang? Memangnya diundang?" 
Tanpa menjawab Joko mengacungkan undangan di tangannya. 
"Bawa kado nggak? Kalau nggak, nggak boleh masuk." 
"Tuh ada yang mau parkir." 
Aku menoleh. Mobil sedan mulus terlihat masuk. Aku berlari menyongsong. Joko tertawa-tawa masuk ke dalam. 
"Kiri! Kiri! Terus! Ya, hop!" 
Seorang pria keluar dari dalam mobil. 
"Lama benar datangnya, Mas! Parkiran sudah semrawut, nih." 
Matanya memicing menatapku. "Apa hubungannya parkiran sama aku?" 
"Bukannya Mas satpam di rumah ini?" 
"Enak saja. Aku ini pilot. Bukan satpam. Baca nih. Nggak pernah naik pesawat, ya?! Kasihan deh, lu!" 
Aku garuk kepala. Eh, benar juga. Sial deh. Kirain satpam. Seragamnya mirip sih. 
"Maaf deh, Mas." 
"Kerja yang benar. Jaga mobil aku. Awas kalau sampai lecet." 
"Iya...." 
Dia berlalu. Gagah nian gayanya. Kulihat ia membawa seikat bunga. 
Kudengar lagu selamat ulangtahun mengalun dari dalam. Aku harus ada di samping Tiara, nih. Segera aku masuk. Kulihat si Pilot tadi berdiri di samping Tiara. Ia membantu Tiara memotong tart tiga tingkat itu. Tiara memberikan potongan itu padanya. Baru sekali para undangan meneriakkan kata cium, si Pilot itu sudah mencaplok bibir Tiara. Anehnya Tiara cuma ketawa saja. 
Dadaku terbakar melihatnya. 
"Teman-teman, ini namanya Mas Teguh. Pacar Tiara. Tiara sangat bahagia, meski sangat sibuk, Mas Teguh masih menyempatkan diri untuk datang ke pesta ini." 
Aku terperanjat. Pria itu pacarnya? Jadi....selama ini Tiara menganggapku apa? 
Kaki kuhentak kesal. Aku berbalik. 
"Beth, mau kemana?" Joko mengejarku. 
"Pulang!" sahutku ketus. 
Di parkiran kulihat mobil mulus tadi. Aku tersenyum licik. Kukempeskan seluruh ban mobil itu. Biarin deh. Nggak berani mengempeskan orangnya, mobilnya juga jadi. 
Joko cuma angkat bahu. Lantas ia berbalik kembali masuk ke ruangan. 
"Jok, tega kamu ya...." 
Matanya memicing. 
"Teman lagi sedih, malah kamu tinggalkan begitu saja." 
Joko terbahak. "Aku juga bilang apa? Kamu yang kege-eran. Jadi pulang saja sendiri. 
Gila aja aku tinggalkan makanan-makanan enak di dalam." 
Aku terdiam. Lunglai aku melangkah pulang. Tiba-tiba perutku terasa perih, baru terasa laparnya sekarang. Terbayang makanan-makanan enak di ruang pesta tadi. Liurku berlomba keluar. Kebimbangan menyergap. Terus pulang atau berbalik. 
Akhirnya aku berbalik. Seperti kata Joko. 
Gila aja meninggalkan makanan-makanan enak. Nggak dapat orangnya, dapat makanannya juga jadi. Akan aku habiskan semuanya. Biar si Pilot itu nggak dapat apa-apa. Biar perutnya kempes mirip ban mobilnya. Hahahaha....

Monday, November 2, 2009

dalam proses perpindahan

Aku mulai menyadari akan adanya perpindahan dalam diri aku ini bukan paksaan dari orang tuaku atau terpengaruh teman2 tapi aku menyadari hal itu…. Perpindahan dari siswa ke mahasiswa. Perpindahan pola pikir menuju kedewasaan. Dan perbindahan agar terkosentrasi pada kesuksesan yang selalu diharapkan kedua orang tuaku.
Sukses adalah keinginan tiap orang, ada satu hal penting dalam meraihnya, yaitu motivasi. Motivasi dapat membuahkan kedisiplinan, keuletan dan lain-lain. Motivasi adalah merupakan ruh dari jasad pribadi yang ingin sukses. motivasi merupakan suatu penggabungan keinginan dan energi dalam mencapai suatu tujuan. Dengan keinginan orang tau kemana akan melangkah, dengan energi orang akan dapat menggerakkan apa yang ada padanya untuk mencapai keinginan itu. Motivasi seperti udara bagi kehidupan. Sangat berperan penting bagi jiwa-jiwa yang ingin sukses.

Prinsip motivasi
1.     motivasi merupakan proses psikologis dengan membangkitkan emosional.
2.     motivasi berproses tanpa disadari.
3.     motivasi bersifat individual sehingga cara memotivasi tiap orang bisa berbeda-beda atau juga dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Namun inti dari motivasi itu bersumber dari diri sendiri (motivatornya maupun orang yang dimotivasi).
4.     Motivasi adalah proses sosial, sehingga membutuhkan faktor eksternal
Sumber motivasi:
§  Motivasi Internal yaitu motivasi dari dalam diri, dari perasaan dan pikiran diri sendiri. Orang yang memiliki motivasi internal, akan memandang dirinya secara positif.
§  Motivasi eksternal yaitu motivasi dari luar. Contohnya dari bacaan yang memotivasi, lingkungan, dari kehidupan keseharian, dan lain-lain
Tips memotivasi secara internal:
1.     Ciptakan Imbalan. Kalau saya melakukan A maka akan mendapatkan rumah mewah. Dengan begitu diri kita akan termotivasi untuk melakukan A.
2.     Ambil selalu langkah kecil. Terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang besar perlu langkah-langkah kecil.
3.     Ciptakan Kesusahan. Ini adalah kebalikan dari yang pertama. misalnya kalau saya tidak melakukan B maka jabatan tidak naik. Tentu kita akan termotivasi untuk melakukan tindakan B.
4.     Susun Rencana beserta langkah-langkahnya.  Dengan memiliki rencana, anda seolah-olah punya alur dan plot menuju tujuan. Secara tidak langsung ini akan memotivasi dalam mencapai tujuan.
5.     Buat penarik ke arah tujuan. Misalkan kita ingin naik haji, cetak MMT dengan ukuran besar gambar ka’bah. Ini hanya contoh saja.
Motivasi dipengaruhi oleh mendesaknya kebutuhan, motivasi juga dipengaruhi oleh adanya anggapan tindakan akan memenuhi suatu kebutuhan.
Dalam memotivasi sangat dilarang untuk meremehkan, mengkritik di depan umum, perhatian yang setengah-setengah, malah memperhatikan diri sendiri, tidak memperdulikan hal-hal kecil. Motivasi juga bisa luntur karena adanya keraguan dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan (jika dalam organisasi).

Dari berbagai sumber yang aku temui di purwokerto.

Tuesday, October 13, 2009

PPLK

Kenapa sinar mentari hari ini tak mampu menyilaukan mataku? Mungkin bukan waktu yang kan menemaniku hari ni, mungkin juga sang waktu tlah membenciku. Aku sadar apa yang terjadi dan aku memakluminya. Aku mencoba memanfaatkan waktu sebisa yang aku sanggupi namun tetap saja aku telah menyia-nyiakannya. Bodohnya aku. Tak ada yang bisa aku salahkan ketika aku mulai merasa tak nyaman pada keadaan tapi itu juga bukan berarti aku tak bersyukur dengan apa yang ada. Aku sudah beranjak dewasa dan seharusnya aku bisa sedikit mengerti keadaan dan memahami kenyataan yang ada. Setidaknya itulah yang pernah ayah ku katakan.
Aku bingung malam ini. Tak mampu memejamkan mata,namun mataku mulai sayu. Berkedip dan sejenak memejamkan mata namun tak bisa terlelap. Ini tak ada hubungannya dengan penyakit tidur karna sebenarnya aku tak pernah menderita penyakit itu dan semoga saja aku tak kan pernah mengalaminya. Ini tentang aku dan beberapa masalahku yang timbul beberapa hari belakangan ini. Tak ada yang bisa aku salahkan kecuali diriku sendiri yang tak bisa memanfaatkan apa yang aku punya.
Semuanya berawal dari ospek yang memang harus aku lalui di salah satu kampus ternama di kota Purwokerto, sebut saja AKATEL. Hari hari yang melelahkan mulai terjadi dan itu cukup menguras tenaga,pikiran, dan dompetku. Aku mencoba menjadi mahasiswa baru yang antusias dengan kegiatan itu. Amanat dan tugas satu persatu aku lalui. Pulang malam, mengerjakan tugas sampai harus lembur dengan teman – teman, pagi buta berangkat ke kampus dan seterusnya selama masa ospek atau yang lebih dikenal dengan kegiatan PPLK dan PDD di kampus ku.
Tak masalah untuk aku yang memang sudah terbiasa dengan keadaan itu di smk namun yang jadi masalah adalah keuanganku. Belakangan ini keuangan keluargaku masih agak tidak setabil. Kebutuhan keluargaku, adik aku yang sudah jelas tiga smp ini, dan lain sebagainya. Belum lagi ayahku dalam waktu dekat akan serah trima jabatan .beberapa hari setelah pembukaan PPLK dimulai aku mulai kehabisan dana dan uang saku aku mulai menipis. Aku mencoba menghubungi orangtuaku untuk membicarakan hal ini. Seperti biasanya, ayahku selalui mencukupi kebutuhanku selama itu memang aku gunakan untuk hal yang perlu . beliau menyadari dan mengerti keadaanku dan aku menerima kiriman uang dari beliau dengan jumlah yang cukup besar untuk kegiatan tersebut. Aku mulai tenang menghadapi masa – masa PPLK dan PDD di kampusku. Tetap dengan galang yang penuh semangat.
Hari terakhir PDD aku mulai kehabisan dana lagi aku tak tahu harus bagaimana. Mengungat beberapa hari yang lalau aku baru saja mendapatkan uang dari ayahku aku tetap mencoba diam, namun keadaan memaksaku untuk bicara pada ibuku. Ayahku temasuk salah satu dari pria bijaksana yang aku temui di dunia ini dan aku bangga dengan beliau. Meski tak ada yang bisa di banggakan dari aku namun aku tetap mencoba mengukir prestasi untuk membanggakannya. Selang beberapa jam dari aku menghubungi orangtua ku, aku mendapati ATM ku telah terisi uang lagi. Dengan hati riang aku ambil uang tersebut dan langsung aku gunakan untuk membayar hutang ku terhadap beberapa temanku yang memang selama aku kehabisan uang mereka membantuku untuk tetap bisa mengikuti kegiatan PPLK. Hutangku di warung makan dekat kos juga langsung aku lunasi. Tersisa kurang dari setengah dari yang diberikan ayahku. Aku mulai melakukan penghematan dan aku benar – benar hemat dalam menjalankan kehidupanku sebagai anak kos.
PPLK benar – benar menguras semuanya dari dompetku. Aku tak mungkin menceritakan ini pada kedua orangtua ku lagi. Mereka sudah cukup lebih untuk menampung semua masalahku. Ayahku menghubungiku untuk menanyakan kabar dan berbicara padaku tentang pelantikan yang akan di laksanakan 2 minggu lagi. Aku bangga dengan itu. Sebenarnya waktu itu aku sudah mengumpulkan keberanian untuk berbicara jujur kepada orangtuaku tentang keadaan ekonomiku yang benar – benar sudah menipis. Namun itu terhenti dan dalam sekejap keberanian itu hilang. Ayahku mengatakan bahwa pengeluarannya membengkak bulan ini. Belum lagi belia harus memepersiapkan diri untuk jabatan barunya itu. Bodohnya diriku. Aku harus mengerti dengan keadaan itu dan aku sadar bahwa aku bukan anak kecil lagi dan aku mampu. Dengan lantang aku ucapkan mampu ketika ayahku menyarankan agar aku mengerti dan berusaha hemat. Padahal dalam dompetku sudah tak ada uang sepeserpu.
Aku mulai memutar otak untuk hal ini. Aku pergi ke kos teman baik ku yang bisa di bilang kami sangat dekat. Berharap disana aku mendapatkan sedikit ketenangan untuk berpikir. Dia masih kelas 3 smk di tempat dulu aku sekolah. Berbicaranya beberapa menit sudah cukup untuk membuatku merasakan ketenangan. Namun ternyata pada waktu itu dia sedang mendapatkan kesulitan uang juga dan sedikit mengeluh padaku. Beberapa hari lagi dia UTS (Ujian Tengah Semester) dan biaya Sekolahnya bulan ini belum bisa dia bayar karna suatu masalah. Padahal itu syarat mrngikuti UTS. Aku mulai berpikir dan mencoba untuk memecahkan masalahnya sedangkan aku sendiri masih dalam masalah.
Sepulang dari kos temenku itu aku sedikit bengong dan memutar otak berharap aku menemukan sesuatu dalam otak kecilku. Kupandangi sekitar kamar kosku. Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku memandang telepon genggam pemberian ayahku. Sejenak aku berpikir untuk menjualnya, namun seketika itu juga aku teringan dengan apa yang pernah ayahku katakan ketika memberikan itu padaku. Yang kurang lbih intinya, aku tak bleh menjualnya pada siapapun. Tapi bisa apa aku??. Harus bagaimana lagi?? Dengan sigap aku ambil hp tersebut dan aku menjualnya. Tindakan terbodoh yang pernah aku lakukan, tapi aku melakukannya dengan sadar.
Aku kembali ke kamar dengan memegang uang dari hasil penjualan hp tersebut. Aku pilah pilah uang tersebut untuk keperluanku yang memang sangat mendesak. Aku mulai melangkah dengan hati berat untuk menyelesaikan masalah keuanganku tersebut. Di tengah jalan aku teringat dengan temanku yang lebih membutuhkan uang tersebut untuk biaya UTS nya. Aku tak boleh egois seperti ini. Aku palingkan arahku menuju kosnya dan ku berikan uang tersebut untuk biaya sekolahnya. Dia tersenyum lebar menerima bantuanku itu. Maskipun dalam keadaan genting aku masih bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya. Aku turut senang melihatnya tersenyum lagi. Masih tersisa Rp 100.000 di tanganku. Aku kembali ke kos. Maslahku belum selesai.
Aku ingat pesan ayahku yang melarang aku untuk menjadi lilin. Menyinari kehidupan orang lain namun diriku sendiri harus meleleh.
Aku menulis memang hanya dengan ini aku mampu menceritakan apa yang aku alami. Aku tak mau menambah beban orang – orang yang ada di sekitarku dengan masalahku. Ini kau galang dan aku kenal galang yang tidak pernah mau menyerah pada keadaan. Dan ini merupakan masalah yang harus aku pecahkan agar aku mampu beranjak dewasa seperti apa yang ayahku harapkan.

Friday, July 3, 2009

who is He??

Teeeett…teeett…teeett…!

“Baiklah, pelajaran hari ini kita sudahi sampai di sini, jangan lupa tugas di kumpul minggu depan. Selamat siang”.

“Selamat siang, Pak guru”.

“May, lo mau langsung ke tempat les atau mau ngapain dulu?” tanya Widya sambil merapikan buku-buku dan alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja.

“Ke tempat les” jawab Maya singkat sambil memasukan buku terakhir ke tas sekolahnya.

“Kan masih lama mulai lesnya, kita ke…”.

“Duluan ya…” jawab Maya tidak mendengarkan omongan temannya, lalu bergegas keluar kelas.

“Maya, tunggu… ada apa sih” kejar Widya sambil mengerutu. Terburu-buru sekali temannya yang satu ini setiap ada jam les.
Padahal dulu kalau diajak les Maya paling malas, malah ia sering sekali bolos saat jam les. Ke mall lah, jalan-jalan, atau sekedar makan di tempat-tempat mereka nongkrong biasanya. Tapi kenapa seminggu belakangan ini Maya semangat sekali. Bahkan sehabis jam sekolah usai, Maya segera berangkat ke tempat les jika hari itu ada jam untuk les. Ini harus diselidiki, pikir Widya.

“Aduh…mana ya, jam segini kok belum dateng sih?” Maya gelisah di tempat duduknya sambil sesekali melihat arloji tangannya.

Tak berapa lama kemudian, datanglah seorang cowok dengan mengendarai sepeda gunung memasuki halaman balai bimbingan tersebut. Rasa lega dan bahagia memancar dari wajah Maya setelah mengetahui orang yang ditunggu-tunggunya sedari tadi akhirnya muncul.

Saat cowok itu selesai memarkir sepedanya, dan berjalan masuk ke dalam gedung bimbingan belajar tersebut, jantung Maya berdebar-debar karena cowok itu berjalan ke arahnya yang memang saat itu Maya duduk di ruang tunggu tepat di sebelah kiri pintu masuk.

Saat mengetahui cowok itu melihat ke arahnya, Maya pura-pura cuek dan sibuk membuka-buka buku pelajarannya. Saat melewatinya, cowok itu tersenyum kepada Maya dan langsung masuk ke dalam kelas. Mendapat senyuman dari cowok itu, yang menurut Maya sangat-sangat manis dan menawan itu, jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.

“Manis sekali…” gumam Maya.

“Hei…! Ngapain duduk di sini, jadi dari tadi terburu-buru ke sini cuma buat duduk-duduk di sini doang?” bentak Widya yang ternyata juga sudah samapi di tempat itu sambil menepuk bahu Maya.

Dikejutkan seperti itu, Maya jadi sewot karena kesenangannnya mengagumi senyuman yang baru saja didapatnya dari cowok tadi tiba-tiba lenyap.

“Emangnya kenapa kalau gue duduk di sini? jawab Maya masih sewot.

Melihat perubahan sikap temannya Widya jadi curiga. Tadi sewaktu dia datang Maya sedang senyum-senyum sendiri, terus waktu dikagetin kok jadi marah, pasti ada sesuatu nih, pikir Widya.

“Kali ini lagi jatuh cinta sama sapa?” tanya Widya sambil lalu.

“Jadi ini namanya jatuh cinta?”

“Hah… beneran?” kata Widya heran.

Maya hanya tersenyum dan langsung masuk ke dalam kelas. Widya jadi bingung, pertanyaannya dijawab dengan senyuman seperti itu. Ia pun menyusul Maya ke kelas.

“Elo serius? sama sapa? Gue kenal nggak? Anak sekolah kita bukan?” tanya Widya bertubi-tubi sambil duduk di sebelah Maya.

“Ada deh…”

“Ayo dong bilang siapa, kan elo tuh jarang-jarang ngelirik cowok apalagi sampe’ jatuh cinta kayak gini”

“Beneran mau tau?”

“He-eh”

“Lihat cowok yang pake’ kaos putih ama jaket biru plus jeans biru di kelas sebelah itu gak?”

“Yang mana?” tanya Widya sambil matanya mencari-cari sosok yang digambarkan Maya.

“Itu.. yang lagi ngobrol ama temen-temennya, dia pegang pena item” lanjut Maya sambil memandang cowok pujaan hatinya itu dengan mata besinar-sinar, kagum.

“Oh yang itu, keren juga kok, namanya siapa?”

“Nggak tahu”

“Nggak tahu? Kok nggak tahu sih, kalau alamat rumahnya atau nomor teleponnya tahu kan?”

“Nggak juga”

“Kalau gitu sekolahnya kamu tahu kan?”

“Itu gue juga nggak tahu”

“Terus yang elo tahu dari dia apa?”

“Enggak ada”

“Elo bilang nggak ada?, jadi elo nggak tahu apa-apa tentang tuh cowok? kok bisa…!” kata Widya sambil keheranan.

“Iya ya? Tapi kalau dibilang nggak tahu apa-apa juga nggak sih. Menurut gue, dia itu cowok paling keren, paling ganteng and paling ramah yang pernah gue temuin. Lihat dong badannya tinggi kan, rambutnya lurus, kulitnya juga nggak putih ataupun item-item amat, dan yang paling penting senyumnya itu, maniiis bangeeet” jawab Maya sambil memandangi cowok itu.

“Haah…! Jadi lo suka sama cowok, tapi elo nggak tahu apa-apa tentang cowok itu? Menurut gue, elo tuh nggak ‘sehat’, tahu nggak?”

“Yang penting kan gue suka ama dia”

“Iya, tapi tetep aja elo harus tahu siapa dia, emangnya elo nggak mau kalau nantinya bisa deket ama dia, atau malahan elo bakal jadian ama dia?”

“Gue sih mau banget deket ama dia, apalagi sampe’ jadian, uu..h mau bangee…tt? bantuin gue ya” kata Maya dengan suara memohon.

“Oke deh, ntar gue bantuin, tapi gue dapet apa dong?”

“Apa pun yang elo mau, asal nggak sampe’ ngerugiin gue aja”

“Oke..”

“Oke!” jawab Maya cepat.

“Udah dong sekarang dah mau mulai tuh pelajaran tambahannya”

“Iya iya”.

***

Keesokan harinya di sekolah.

“Widya, badan gue panas gak? Apa gue demam ya?” tanya Maya tiba-tiba setelah terburu-buru kembali dari kantin.

“Badan lo nggak panas tuh, emangnya kenapa? Elo nggak enak badan? jawab Widya sambil memegang kening dan leher Maya.

“Tadi gue lihat tuh cowok di kantin”

“Cowok yang mana? Yang pasti bukan cowok yang elo taksir kan?”

“Itu dia, yang gue maksud ya cowok itu”

“Defry…!”

“Siapa itu Defry?”

“Oh iya gue lupa mau ngasih tahu elo, baru kemarin gue tahu kalau nama tuh cowok namanya Defry, lagian nggak mungkin dong May, dia kan bukan siswa sini”

“Jadi namanya Defry ya, tapi gue bener-bener lihat dia kok”

“Maya, Widya udah tahu belom kalau kita sekarang ada siswa baru, cowok, keren lagi, dia kelas tiga dan masuk kelas tiga IPA 1” kata Vera tiba-tiba saat dia dan teman-temannya lewat di sebelah mereka berdua.

“Apa…!” jawab Maya dan Widya berbarengan, lalu segera beranjak dari situ.

“Hei…! Kalian kenapa sih?” tanya Vera keheranan melihat kedua temannya tiba-tiba terkejut dan bergegas pergi.

***

“Tuh kan bener, kalau gue sama sekali nggak salah lihat” kata Maya sambil terus berjalan ke arah kelas IPA.

“Yang penting kita pastiin dulu, bener nggak dia orangnya”

Sesampainya di kelas IPA yang mereka sama sekali tidak menemukan cowok yang mereka cari. Kelas itu masih sepi, cuma ada beberapa siswa yang ada di kelas.

“Nggak ada tuh”

“Mungkin masih di kantin”

“Kita ke sana?”

“Ayo…!”

Teeett…teeett…!

“Yah udah bel masuk, nanti aja ya pulang sekolah, kita pastiin aja lagi”

“Oke deh, kita ke kelas yuk”.

Lalu mereka berduapun menuju ke kelas mereka dengan pertanyaan yang masih menggantung dan rasa penasaran yang teramat sangat.

Saat pulang sekolah.

“Jadi bener ya mbak anak baru yang pindahan itu namanya Defry?” tanya Widya kepada salah satu siswi yang baru saja keluar dari kelas IPA 1 itu.

“Iya bener, tapi sekarang anaknya sudah pulang, kalian kenal ya?”

“Begitulah mbak…terimakasih ya kami pulang dulu”

“Karena anaknya juga udah pulang, kita besok aja ya nemuinnya, yang penting kita udah tahu kalau tuh cowok bener-bener ada di sekolah ini” kata Widya.

“Oke deh, lagian denger dia ada di sekolah ini gue jadi seneng, soalnya kesempatan gue deket ama dia makin terbuka lebar”.

“Pulang yuk…”

***

“Siang Yah” sapa Maya kepada ayahnya yang sedang duduk di ruang keluarga.

“Siang, sudah pulang, nggak les?”

“Hari ini kan ngak ada jadwal les . kok Ayah jam segini udah di rumah?

“Iya, ada sedikit persiapan yang harus ayah lakukan di rumah”

“Persiapan? Buat apa?”

“Kamu ingat sewaktu Ayah bilang kalau ayah akan memberikan ibu baru untuk menggantikan posisi ibumu yang sudah meninggal. Sekarang ayah sudah dapat yang cocok dan akan ayah kenalkan padamu malam ini, kamu nggak keberatan kan?

“Kalau itu udah pilihan ayah dan ibu baru ini baik dan nantinya bisa menyayangi ayah dan Maya, juga mendidik Maya dengan baik pula, Maya sih nggak keberatan, terserah Ayah saja”

“Terima kasih sayang, kalau begitu kamu malam ini nggak kemana-mana kan, soalnya calon ibu barumu ini punya seorang anak yang sebaya denganmu, kalian pasti bisa berteman nantinya”

“Oh ya, seru dong, semoga saja kita bisa temenan dan jadi saudara yang baik ya. Yah, Maya ke kamar ganti baju dulu ya”.

“Iya sayang” jawab Ayahnya sambil tersenyum.

***

Malam harinya.

”Assalamu’alaikum. Selamat malam?”

“Kalian sudah dating rupanya, ayo masuk”

“Terima kasih”

“Maya mana mas, kok nggak kelihatan”

“Ada kok lagi di kamarnya, siap-siap untuk ketemu ibu barunya, dia nggak mau kalah cantik sama calon ibu barunya nanti katanya”

“Duduk yuk, santai saja ya, saya panggil Maya dulu” lanjut Ayah sambil mempersilahkan tamu istimewanya untuk duduk di ruang tamu.

“Iya mas”

Saat itu Maya keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu untuk menemui tamu istimewa malam ini sambil tersenyum manis.

“Oh ini dia anak Ayah sudah keluar, sini Maya. Kenalkan ini Rina yang akan jadi ibumu nanti”

“Halo tante apa kabar, saya Maya”

“Kabar baik Maya, kamu cantik sekali”

“Terima kasih tente”

“Nah kalau yang ini anak Tante Rina yang akan jadi saudara juga akan jadi temanmu, namanya Defry, kalian seumuran kan?” lanjut Ayahnya memperkenalkan tamu istimewanya yang satu lagi.

“Halo Maya, saya Defry apa kabar?”

“Defry…” hanya itu yang keluar dari mulut Maya, heran. Maya sama sekali tidak bisa mengatakan sepatah katapun bahkan senyuman di wajahnya langsung hilang. Cowok di depannya adalah cowok keren dan misterius yang selama ini dia sukai dan sekarang cowok itu ada di depannya sambil menjabat tangannya dan tersenyum manis.

Cowok yang selama ini dia cari-cari dan selalu ada di pikirannya. Cowok yang membuatnya jatuh cinta kini ada di depannya dan mengenalkan diri sebagai saudara tirinya.

“Ya Tuhan… bagaimana ini”.