December 2008 ~ pratamagta

Thursday, December 25, 2008

Seorang Perempuan Yang Tak Bisa Berdekatan Dengan Yang Ghaib

Entah mengapa perempuan itu selalu kesulitan berdekatan diri dengan yang ghaib.

Ada nafsu jahat yang ia tahu mencoba menyelingkupi hati, untuk setiap kata ghaib yang hadir di beranda pikirannya. Melalui matanya, telinganya.
Kata dalam tulis yang ia baca, dalam suara yang ia dengar.

Kadang bersuara ketus bibirnya tak tertahankan : Busuk!
Dan nafsu jahat yang membuat ia, perempuan, tak pernah kunjung menyesali ucap kata itu.

Ia tak pernah takut. Itu satu sebab.

"Di dunia ini aku hanya takut pada dua orang, orang lain dan diriku sendiri"
"Tak takut pada ghaib yang itu?"
"Belum. Tidak. Semoga tidak pernah. Tidak akan pernah"

Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan waktu malam-malamnya duduk sendiri di tempat-tempat sunyi.
Toh tak ada yang ia takuti.
Yang biasa membuat orang gentar hati.

Jadi ia, perempuan, tak pernah lelah menghabiskan tenaga dalam darahnya untuk menarik urat bibirnya membentuk seulas senyum.
Toh tak ada risau.
Yang biasa membuat orang galau.

"Betul tak ada lagi yang kau takuti ?"
"Yup."
"Pasti?"

Hening sekejap.
Setitik cahaya berpijar di relung sel kelabunya.
Menerangi sebersit pemikiran yang menggangunya.

"Ada juga aku takut pada alam."
"Alam?"
"Hewan, tumbuhan, gunung dan lautan."
"Oh.. that's great. Satu kemajuan."

Hening sekejap.
Satu tanya tak terjawab terulur lagi, menanti.

"Tak takut pada ghaib yang itu?"

Jawabnya tidak lagi sama.
Karena kini ia, perempuan, hanya mengurai benang kusut dengan satu kata.

"Tidak"

Jadi, ia, perempuan itu, lebih menghabiskan waktunya bercocok di kebun.
Menyiangi alang.
Membunuhnya dengan cinta.
Cinta pada Rose.
Pada Melati.
Pada Mengkudu kendati baunya apek sekali.

Jadi ia, perempuan itu, menghabiskan waktunya berkandang di pekarangan.
Menjumput kotoran.
Menciumnya dengan rasa.
Rasa pada hewan kecil yang mulai menua.
Pada musuh alaminya.
Pada kutu.
Pada mahluk buas bertaring yang menyalak nyaring.

"Aku takut pada ghaib yang itu"

Ia, perempuan menjawab tanpa hasrat.

"Itu bodoh bagiku"

"Tapi kemarin di televisi..."

"Kotak kaca itu berharga. Harga yang berbayar dengan tertutupnya kalbu."

"Kau belum lihat, kemarin lelaki bersorban putih itu begitu nyata, menunjukkan kuasa yang ghaib atas manusia"

"Aku lebih takut padanya, ketimbang pada ghaib yang ditunjukkannya."

"Benar?"

"Ghaib yang itu? Ya."

Jadi ia, perempuan, malam itu kembali ke peraduan.
Bersiap untuk menyatakan diri di pertengahan malam.
Untuk mengucap kata-kata isyarat, yang selalu sarat dengan asanya.

Tolong berikan hidayah pada temanku.
Ia terlalu takut pada ghaib yang itu.
Ia menafikan kuasaMu.
Menyempitkan kehadiranMu hanya dalam alam astral.
Melupakan sosokMu dalam diri setiap orang yang Kau ciptakan atas citraMu.
Mensia-siakan karyaMu dalam alam, dalam hewan, dalam manusia.

Ia lebih takut pada ghaib yang itu.
Yang ditangkap lelaki bersorban, diperangkap dalam
botol kaca, dilepaskan dalam hatinya.
Tolong berikan hidayahMu.

Jadi, ia, perempuan itu, tak kunjung berdekatan dengan yang ghaib.

Ghaib yang itu.

Sentaby,

The Rose: The Past That Shakes The Future 1

1820 Dublin, Ireland

Lincoln amat bahagia. Karena, dua bulan lagi, ia akan memiliki anak yang akan menjadi putra mahkota.

Dominique dan Monalisa memang tengah hamil tua. Kedua istri Lincoln, yang salah satunya nanti berhak menjadi permaisuri yang agung. Syaratnya, harus melahirkan anak laki-laki duluan.

Suatu hari, Dominique didatangi oleh seorang wanita bernama Rah Digga. Ia peramal yang datang jauh dari luar kota Dublin. Ia mengagumi Dominique, dan ingin Dominique jadi permaisuri.

Rah Digga : “Dengan berat hati, hamba katakan.. bahwa anda akan menjadi permaisuri dengan cara anda sendiri.”
Dominique : “Apa maksudmu?”
Rah Digga : “Anak anda akan segera lahir. Tapi.. dia bukan laki-laki..”
Dominique terkejut. Ia sudah berambisi menjadi permaisuri sejak awal menikah dengan Lincoln.
Dominique : “Lalu.. apa yang harus aku lakukan?”

2 bulan kemudian..

Dominique melahirkan terlebih dulu. Ramalan Rah Digga benar. Ia melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi.. Dominique dan Rah Digga sudah mengatur segalanya.

Rah Digga telah menyiapkan bayi laki-laki yang baru lahir, dan menukarnya dengan bayi perempuan Dominique.

Monalisa melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik, bernama Jean.

Bagaimana nasib bayi perempuan Dominique yang entah ada di mana sekarang ini..?

17 Tahun Kemudian

========

1837 London, UK

Ivan : “Gaun ini adalah rancangan terbaru saya. Pasti anda akan terlihat sangat cantik.”
Ia menunjuk sebuah gaun yang dipajang di ruangan butiknya. Dengan lemari yang bercat merah muda, gaun berwarna putih itu terlihat sangat anggun dan elegan.
Wanita yang dipuji itu pun tersenyum.

Dari luar jendela kaca, seorang gadis muda melihat mereka. Ia menempelkan kedua tangannya ke kaca, agar sinar matahari pagi yang menyilaukan itu, tidak menghalangi panadngannya.
Rose : “Aku ingin bisa seperti wanita itu.”

Kemudian..

“Rose! Ayo, cepat!”
Temannya yang sesama gadis muda menarik tangannya.
Livia : “Kita tidak boleh terlambat lagi. Nanti kita dihukum. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
Rose : “Iya, aku tau. Kau jangan bicara lagi.”

Mereka berdua berjalan melewati jalanan yang basah. Semalam hujan memang turun membasahi kota ini, tapi tidak begitu deras. Hanya gerimis, dan baru berhenti subuh tadi.

Rose dan Livia bersekolah di sebuah lembaga pendidikan mahasiswa, untuk warga yang tidak mampu.

Rose dan Livia tinggal di pinggiran kota London. Orang tua Rose, John dan Tanya Tucker, adalah sepasang suami-istri sederhana dan bersahaja. John bekerja di tambang batu mulia. Sedangkan Tanya, ibu rumah tangga biasa yang baik dan lembut.

Lagi-lagi, Rose dan Livia terlambat. Karena jarak antara rumah mereka dengan tempat mereka sekolah, agak jauh.

Ms. Frida, guru kelas mereka sudah menyambut bersama sebilah rotan yang diayun-ayunkan di tangannya.
Ms. Frida : “Alasan apa yang bisa kalian katakan padaku, kenapa kalian terlambat lagi?”
Livia berdiri di belakang Rose.
Ms. Frida : “Ayo, jawab!”
Rose : “Ma, maafkan kami. Ng.. ini salah saya. Tadi, waktu kami berangkat sekolah, saya melihat seorang wanita cantik di butik Tuan Ivan. Saya benar-benar kagum. Hingga tak menyadari, kalau sudah siang.. saya benar-benar mengagumi kecantikannya, dengan gaun yang indah.. sekali.”
Rose hanyut dalam lamunan. Namun, sentuhan kasar rotan yang menempel pada kakinya, membuat lamunan itu buyar seketika.

Jalanan kota London sedang ramai dengan atraksi karnaval. Menjadi iring-iringan kereta kencana milik Ratu Elizabeth.
Rose dan Livia baru pulang sekolah, dan menonton atraksi tersebut. Sederet pasukan drum band memainkan drum dan terompet dengan lagu yang semarak.
Gadis-gadis akrobat sedang memeragakan atraksi mereka, dan membentuk formasi-formasi yang keren.
Rose : “Wah.. bagus sekali!”
Lalu, Rose melihat seorang wanita di dalam salah satu kereta kencana. Wanita itu yang tidak di butik Tuan Ivan. Cantik sekali.
Saat Rose tengah hanyut dalam lamunannya, tiba-tiba..
“Awas!!”
Seorang pemuda menyambar tubuh Rose, dan mereka sama-sama jatuh ke trotoar.
Rose : “Aduh!!”
Ia memegangi lengan kanannya. Sikunya berdarah. Bajunya kotor terkena lumpur.
Rose : “Kau ini.. apa-apaan?!”
Livia menghampiri mereka.
Livia : “Rose.. Kau tidak apa-apa?”
Ia membantu Rose berdiri.
Rose : “Kalau bukan karena dia.. aku pasti sudah baik-baik saja.”
Ia menunjuk pemuda itu, dengan tidak lembut. Ia benar-benar sangat kesal.
Livia : “Maksudmu..?”
Rose : “Dia mendorongku..!”
Pemuda itu sibuk menyangkal. “Bukan begitu, Nona.. tadi.. kau..”
Livia : “Tadi, kau hampir saja ditabrak kereta kuda. Untung saja, dia menolongmu.”
Pemuda itu tersenyum. Lega rasanya, karena Livia menjelaskan yang sebenarnya.
Rose menatap pemuda itu.
Rose : “Ya sudah.. terimakasih.”
Ia tetap tidak ramah pada pemuda tersebut. Lalu menggandeng Livia, dan pergi.

John dan Tanya Tucker sedang terlibat obrolan serius di rumah kecil mereka.
John : “Aku dipecat.”
Raut wajahnya yang keriput, semakin mengkerut, dilanda rasa sedih.
Tanya : “Apa?! Kenapa bisa begitu?”
Ia duduk di samping sang suami.
John : “Ya.. karena aku sudah tua dan lamban.”
Ditatapnya sang istri dengan mata merahnya, yang menunjukkan lelah dan penat sedang melingkupi ruang jiwanya.
Tanya : “Hanya karena itu? Lalu.. apa rencanamu?”
Wanita itu mencoba mencari solusi untuk masalah ini.
John : “Kita kembali ke Irlandia.”
Solusi yang tepatkah? Pertanyaan itu muncul di benak Tanya. Menurutnya, kembali ke Irlandia, sama saja dengan bunuh diri.
Tanya : “Kau sudah gila? Kita tidak bisa kembali ke sana.”
Suaranya mulai meninggi. Namun, suaminya tetap menyabarkan hatinya.
John : “Dengarkan aku, Sayang.. Dengan kembali ke Irlandia, kita bisa dapat banyak uang tanpa harus bekerja. Kau pasti sudah tau bagaimana caranya.”
Tanya terdiam. Lalu tersenyum.
Tanya : “Ya.. ya.. kalau begitu, aku setuju.”

Dublin, Irlandia

Suara derapan langkah kaki kuda menggema di padang rumput di lereng Pegunungan Kerry.
Damian, si putra mahkota Kerajaan Irlandia, sedang melakukan aktivitas berburunya, bersama sahabatnya, Leigh. Mereka dapat seekor rusa yang besar.
Damian : “Berburu kita minggu kemarin tidak dapat apa-apa.”
Leigh : “Tapi, dijadikan satu dengan hari ini..”
Mereka tertawa.
Dari lereng Pegunungan Kerry, menuju istana sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, dasar Damian yang nakal, ia suka keluyuran, dan tidak langsung kembali ke istana.
Leigh : “Damian, sebaiknya kita kembali ke istana saja.”
Damian : “Iya, nanti kita pulang setelah bersenang-senang.”
Damian memacu kudanya ke desa Ballsbridge. Sebenarnya tidak layak disebut desa, karena tempatnya sangat mewah, di pertengahan kota. Di sana ada sebuah bar favorit Damian. Namanya L’s Bar. Sebenarnya, Damian belum cukup umur masuk ke bar. Usianya masih 17 tahun. Tapi, Lucifer, si pemilik L’s Bar itu adalah teman baik keluarga kerajaan. Ia terpaksa mengizinkan Damian masuk barnya, dan minum Whiskey, atau sekedar meneguk segelas Martini dingin.

Hari itu, Lucifer kedatangan seorang tamu wanita. Namanya Sinead. Dia kekasih Lucifer.
Melihat Lucifer dan Sinead bermesrahan membuat Damian. Ingin berbuat jahil. Damian mendekati Sinead dan berkata.
Damian : “Hai, Nona.. apa benar, kau menyukai Lucifer?”
Ia memulai kejahilannya dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Dengan suaranya yang masih seperti anak kecil, yang di sok dewasakan.
Sinead : “Tentu saja. Kenapa memangnya?”
Wanita itu menjawab dengan senyuman malu-malu, dan wajah yang merah merona.
Damian : “Perlu kau tau.. Lucifer itu, sudah memilih calon istrinya. Dia sangat cantik. Namanya Trinidad. Kalau dibandingkan denganmu.. kau terlihat biasa saja.”
Wajah Sinead yang tadinya merah merona, berubah jadi merah padam. Rasa malu-malunya pun berbalik jadi amarah yang naik ke ubun-ubun.
Lalu..
Sinead : “Lucifer!!”
Ia menghampiri Lucifer yang sedang melayani tamunya.
Lucifer : “Ada apa, Sayang?”
Ia menyahut dengan senyuman manis dan suara yang super mesrah.
Tapi.. Byurr!! Segelas bir disiramkan ke wajahnya, oleh Sinead.
Sinead : “Rasakan itu!”
Wajahnya masih merah padam. Seperti seekor banteng, yang hidung dan telinganya keluar uap.
Lucifer : “Sa, sayang.. ada apa ini?”
Sinead : “Siapa itu Trinidad?”
Ia sama sekali tidak lembut.
Lucifer : “Ibuku.”
Sinead : “Bohong! Dia calon istrimu yang sangat cantik itu, kan?”
Lama-lama ia jadi gemas, saking kesalnya.
Lucifer melotot. Ia bingung dengan yang dikatakan oleh Sinead. Lalu, ia mendengar suara tawa. Itu tawa Damian. Lucifer mengampirinya, sambil menarik tangan Sinead. Matanya melotot. Ia sangat marah.
Lucifer : “Damian..!!”
Damian : “Huaaahhh..!!”
Suara Lucifer sangat memekakan telinga.
Damian : “Ampuni aku, Lucifer..”
Lucifer membuat Damian harus menimba air sumur, di belakang bar. Sedangkan Lucifer sendiri kembali bermesrahan dengan Sinead, yang sudah tau, kalau Damian itu jahil sekali.
Hingga Sinead pulang, dia tidak juga menyuruh Damian berhenti melakukan itu.

to be continue

Cerita Fina

Sepertinya ada yang eneh dengan Hendra dan Runa hari ini, tak seperti biasanya mereka tak banyak bicara. Jangan kan bercanda atau sekedar melakukan lelucan, mengobrol ringan saja tampaknya mereka enggan, dan itu membuat saya semakin penasaran. Wajah lesu mereka menandakan mereka juga mempunyai masalah, tapi mereka tak mau jujur dengan saya.
Malam harinya juga tidak datang, padahal mereka tidak pernah telat. Kami selalu kumpul di kafetaria, tempat faforit kami saat malam hari. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Namun saat di depan pintu saya menemukan sosok Roni yang sedang menuju ke arah saya sambil tersenyum manis.
“ Sudah mau pulang?” tegur Roni pada saya yang masih tak percaya dengan apa yang saya lihat. “ Ada yang mau saya bicarakan, kamu nggak lagi sibuk kan?” sambungnya. Saya menggeleng, ia kemudian meuntun saya masuk dan duduk di kursi.
“ Jika saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, izinkan saya untuk mengucap maaf.” Tuturnya memulai pembicaraan.
Ia memegang kedua tangan saya, kemudian meletakkan sebuah kotak kecil di telapak tangan saya.
“ Dan cincin ini sabagai saksi dari ucapan saya.” Ia membuka kotak kecil yang berisi sebuah Cincin berhiaskan permata kecil warna pitih. Cincin itu sangat indah, dan saat ia memasukkannya di jari manis saya rasanya seakan membuat hati saya berbunga-bunga.
Saya begitu terharu hingga tak terasa butiran air mata mulai membasahi kedua pipi saya.
“ Saya lah yang seharusnya minta maaf, karena tidak bisa membuat kamu bahagia. Saya nggak pernah mau tahu tentang perasaan kamu yang terluka saat saya lebih mementingkan sahabat dari pada kamu.” Roni memeluk saya erat, seolah tak ingin melepaskan saya lagi.
“ Kami berdua yang salah dan seharusnya kamilah yang minta maaf.” Seseorang berkata dengan sangat menyesal dari samping kami.
Mendengar itu rangkulan Roni melepas rangkulannya. Hendra, Runa, dan Monika berdiri di hadapan kami. Tampaknya mereka mendengar pembicaraan kami, atau mungkin mereka yang justru merencanakan pertemuan kami ini.
“ Sedang apa kalian di sini?” tanya saya antara kaget dan tak percaya.
Monika hanya tersenyum kemudian duduk bersama kami. “ Anggap saja ini surprize buat kamu.” Jawab Monika santai.
“ Roni, kamu kayak nggak kenal kami aja. Denger ya, kami itu kalau nggak ditegur makin jadi-jadi. Makanya kalau kamu diam-diam aja kami nggak pernah tahu kalau ternyata selama ini kamu nggak suka kedekatan kami.” Tegur Runa pada Roni.
“ Benar. Lagian apa susahnya sih ngomong gitu? Takut kami marah, terus mukulin kamu?” sambung Hendra.
“ Saya nggak pernak melarang hubungan kalian, hanya kalian terlau dekat. Melebihi kedekatan saya dengan Fina.” Jawab Roni jujur.
“ Kalian berdua juga sama-sama salah, kayak nggak pernah pacaran aja. Bagaimana kalau seandainya kamu jadi Roni, apa kamu bisa sabar?” Monika menengahi.
Saya hanya bisa tersenyum, ternyata letak permasalahan bukan hanya pada saya dan Roni, tetapi puncaknya justru tertuju pada Hendra dan Runa. Kami sama-sama salah karena tidak pernah mengerti dan memahami perasaan masing-masing. Padahal kami saling menyayangi, tapi tak pernah mau tahu tentang apa yang ada di hati.
Saya tahu ini semua siasat Monika agar kami bisa bersatu kembali. Ternyata Monika memang orang yang tepat untuk di jadikan seorang sahabat, karena hanya dialah yang mengerti perasaan kami.
Roni, cowok ganteng yang pendiam. Tapi keberaniannya mengungkapkan isi hatinya di depan banyak orang membuat saya terharu dan sangat mengaguminya. Hingga akhirnya ia benar-benar membuat saya jatuh cinta. Walau pribadi kami jauh berbeda tapi dia cowok baik yang rela bersabar, dami mempertahankan cinta kami.
Hendra dan Runa adalah sahabat saya sejak duduk di bangku SMP, entah mereka serius atau tidak, yang jelas dulu mereka pernah bersaing untuk mendapatkan cinta saya. Walaupun akhirnya hanya bisa bersabar karena cintanya saya tolak. Bagi saya persahabatan kami lebih berharga dari pada harus bertengkar demi memperoleh satu hati yang pada akhirnya membuat orang yang satunya sakit hati.
Sedangkan Monika, sahabat lama saya. Tinggal berdampingan dengan rumah saya. Tak pernah terpisahkan, karena hanya dialah satu-satunya pembangkit semangat saya agar terus maju. Selain itu ia juga gadis yang cantik, tak heran jika banyak yang menawarkannya untuk menjadi pendamping Monika, sebagai seorang kekasih tentunya. Monika memang patut di acungi jempol, kesetiaannya terhadap kekasihnya yang kini berada jauh di Jakarta ternyata tak membuatnya melirik pria lain.
Betapa bahagianya memiliki mereka, kasih sayang kami tak ternilai harganya. Tak dapat dibayar dengan apapun juga, dan semoga semuanya kekal abadi selamanya.


(End)

CHAPTER 1:SI PETASAN INJAK

"Mas Ray!"
Petasan injak itu lagi!
"Lho, kok Mas Ray cuek begitu sih?" Kishi menarik kursi ke dekat Ray. "Aku kan nggak pernah dapat B. Selalu C, itu pun setelah belajar sampai jungkir balik."
"Kalau tidak bisa kimia, kenapa nekat masuk Perminyakan?"
"Kalau tidak masuk Perminyakan, tidak akan ketemu Mas Ray kan?" Kishi tersenyum manis.
Gadis ini! gerutu Ray dalam hati. Selalu saja bisa menangkis semua kata-katanya. Ray menoleh. Menatap ke arah Kishi sekilas. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau kehadirannya benar-benar mengganggu konsentrasi Ray.
"Kemari cuma mau lapor hasil ujianmu?"
"Mas Ray keberatan aku datang kemari, ya?" Kishi menatap profil samping Ray. Cowok itu masih saja menatap lurus ke arah kanvasnya.
"Bisa kan menjawab pertanyaan dulu sebelum bertanya balik?" tegur Ray.
Kishi terkekeh. "Habis, Mas Ray nanyanya seperti mau ngusir."
Aku memang mau mengusirmu! geram Ray dalam hati. Setiap Kishi muncul, lukisannya pasti terbengkalai. Tidak pernah selesai. Ada-ada saja permintaan gadis itu. Minta diajari kimia. Mencari buku. Kaset. Nonton bioskop. Segalanya, bahkan sampai makan!
Dan dengan caranya sendiri, Kishi selalu berhasil membuat Ray menuruti keinginannya.
"Mas Ray sudah makan?"
"Sudah."
"Aku belum. Temani aku makan keluar, yuk."
"Aku sedang melukis," tolak Ray.
"Nanti kan bisa diteruskan lagi. Ayo dong, Mas Ray! Tidak kasihan melihatku kelaparan?"
"Kamu kan bisa makan sendiri."
"Ah, mana enak makan tanpa teman."
"Kenapa tidak makan dulu sebelum kemari?" gerutu Ray tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Aku mau traktir Mas Ray. Kan ujianku dapat B karena diajari Mas Ray."
"Aku tidak minta bayaran. Simpan saja uangmu."
"Mas Ray kok menolak niat baik orang?"
"Lukisanku belum selesai."
"Nanti bisa dilanjutkan. Kutemani, deh."
"Tidak usah," tolak Ray cepat. "Nanti malah lebih tidak selesai."



"Nanti ke rumah Ray?"
"Mungkin. Kenapa?"
Tito mengeluarkan amplop coklat dari dalam ranselnya. "Titip ini buatnya. Dan ingatkan dia, Kish. Wisudanya bulan depan. Dia harus datang mengurus administrasi. Jangan lupa bawa foto."
"Oke."
"Trims." Tito melambai sambil menjauh.
"Kenapa harus kamu yang merawat bayi besar itu?" tanya Warnie setelah Tito berlalu. "Mengingatkannya makan. Bahkan sekarang mengingatkan untuk acara wisudanya. Sementara dia sendiri tidak ingat apa-apa selain melukis."
"Bayi besar yang mana?"
"Tentu saja Ray! Siapa lagi?"
"Oo." Kishi tersenyum manis. Kalau bukan aku, siapa lagi? Lagipula, Mas Ray banyak membantuku."
"Kimia?" Warnie mencibir. "Sebenarnya tanpa dia pun kamu bisa."
"Biar saja. Mas Ray toh tidak keberatan."
"Apa yang kamu cari darinya, Kish?"
"Tidak ada."
"Kamu tidak sedang jatuh cinta padanya, kan?"
"Tidak!"
"Kamu terlalu cepat menjawab."
Jatuh cinta? Kishi bahkan tidak pernah memikirkan itu. Dia cuma merasa senang berada di dekat Ray.
"Apa dia tidak terlalu tua untukmu, Kish?"
"Kamu ini bicara apa, sih?!" Kishi mendelik. Mulai sebal dengan Warnie yang nyinyir.
"Aku cuma kasihan melihatmu. Selama ini selalu kamu yang menghampirinya. Memperhatikannya. Apa dia pernah bertindak sebaliknya?"
Kishi terdiam. Memang tidak pernah, jawabnya dalam hati.
"Aku tidak menuntut apa pun," sanggah Kishi. Tapi dia tahu hatinya tidak yakin.
"Kamu tidak jujur."
"Jangan bicara lagi, Nie!"
"Kalau kamu menghindar terus, semua bisa terlambat. Dia terlalu tua untukmu. Kamu bahkan baru duduk di semester pertama sementara Ray sudah lulus."
"Kami cuma berbeda lima tahun!"
"Lebih baik mencari yang seumur denganmu. Yang mendekatimu banyak, Kish. Buat apa mengejarnya terus kalau dia tidak mencintaimu?"
"Aku tidak bilang aku jatuh cinta padanya."
"Suatu saat pun kamu pasti sampai pada kesimpulan itu."
Benarkah?
"Kish, aku bisa bicara begini karena aku kenal Ray dengan baik. Aku sudah berteman dengannya sejak dulu. Bahkan saat dia masih bersama Ika. Dia sangat mencintai gadis itu."
"Aku tahu."
"Bahkan mungkin sampai sekarang," lanjut Warnie hati-hati. "Kukatakan ini karena aku tidak mau kamu terperangkap. Kamu teman baikku, Kish. Aku tidak mau melihatmu terluka tanpa ada yang bisa kulakukan."
Lalu dia harus apa?!
Kishi bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan tidak tahu apa benar dia jatuh cinta pada Ray, seperti yang dikatakan Warnie? Namun hati kecilnya membenarkan sebagian besar yang dikatakan Warnie.
Apa dia harus mencoba menjauh dari Ray, sekadar mencari tahu apa Ray peduli padanya? Lalu bagaimana kalau ternyata Ray memang tidak mencarinya, kalau ternyata bagi cowok itu seorang Kishi memang bukan apa-apa?
Kishi tidak berani membayangkan.
Dia bahkan tidak berani memikirkannya.


BIODATA PENULIS




Siauw Phing, lahir di Jakarta. Perempuan cantik berdarah Tionghoa ini sangat produktif melahirkan cerpen bertema cinta di berbagai media cetak nasional. Tema ceritanya mengalir manis dan natural khas meremaja. Bersama Nurhayati Pujiastuti — penulis asal Solo, ia sangat fasih bermain dalam plot yang dibangun lewat dialog-dialog cerdas sang tokoh karakter ceritanya. Karyanya paling banyak dipublikasikan di majalah Anita Cemerlang. Ia juga merupakan salah satu pengarang yang sering menjadi nominator di LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang.