2013 ~ pratamagta

Sunday, December 1, 2013

Bertahanlah Pada Satu

berjalan menapak langkah
meniti jejak yang terarah
berjalan gontai bukan pasrah
menjalani hidup tanpa jerah

wahai isak keabadian
berpaku dalam keadaan
menjerit bak binatang
tenang ketika rembulan menghilang

berhenti sejenak wahai pengembara
pernahkan berpikir tuk berhenti membara?
bukankah tetes hujan adalah sebuat pertanda
pernahkan berpikir tuk bertahan pada satu dunia?

tetesan hujan mengalir lembut melalui dedaunan kering
beriringan menmbasahi bumi pertiwi
tanah tanah ini bukan tak ubahnya sebuah dataran dinding
membentang luas menjadi saksi

suatu saat nanti
di tanah dinding kering ini
aku berdiri dan tetap berdiri
menyaksikan berjuta rumput dan padi
tumbuh subur mendamaikan hati

bersabarlah pengembara
bertahanlah pada satu
berjuanglah pada satu
yakinlah pada satu


Monday, November 11, 2013

Resah

Memandang rendah rintikan hujan
Gontai melangkah pelan
Menikmati setiap gerakan badan

Kenapa tak meraung seperti singa?
Kenapa membatu seperti prasasti?

Setiap detik putaran waktu
Setiap jengkal langkak kaki
Pemikiran meronta menuntut sesuatu
Badan menggigil tak hanya menahan letih

Langkahku menjejak menyapa tanah basah
Sendu ku terhapus telak menepis resah

Sunday, October 27, 2013

Mencintaimu lebih

mengerti isyarat nada
berbicara tanpa bahasa
mengalun merdu seindah surya
menjelma merasuk dalam dada

terhitung ketika mata tak mampu terpejam
terhitung ketika mulai ada rasa yang menghujam

pelan kutarik nafas kehidupan
semerbak mewangi bak ujung dedaunan
tertarik hati menuju kedalaman
terjun jauh kedalam lembah perasaan

wahai jiwa penakluk hati
baca mata ini lebih teliti
esok akan ada hari
untukku mencintaimu lebih dari hari ini

Monday, October 21, 2013

23 * " 22 Oktober "

                Bagi sebagian besar orang. tanggal kelahiran atau yang pada umumnya disebut hari
ulang tahun merupakan hari tersendiri dimana akan ada moment moment yang menyenangkan setiap tahunnya dan selalu di tunggu kedatangannya. dari kejutan kecil dari teman teman sampai moment romantis yang di persiapkan sang pacar. tanggal kelahiran selalu identik dengan hal hal yang membahagiakan. tak bisa aku ingkari itu, dari kecil terlihat jelas bahwa aku selalu di manjakan di tanggal lahirku di tiap tahunnya. entah berapa moment yang sekarang dapat aku ingat namun dari koleksi foto yang tersimpan rapi di rumah aku dapat melihat dan merasakan moment bahagia itu. bergaya di belakang kue berlilin dengan senyuman yang terlihat lepas. tumpukan kado dan ornamen ornamen lucu jadi beground nya. setiap tahunnya pasti aku tunggu tanggal kelahiranku karna di tanggal itu aku selalu mendapatkan barang barang baru. mainan baru, baju baru dan lain sebagainya. di hari itu juga aku dapat menyaksikan kebahagiaan dari kedua orang tuaku. sangat terasa mereka sangat menyayangiku.  wajar juga sih karna kalo di tarik garis logika juga sangat jarang ada orang tua yang mendapatkan anugrah anak lelaki setampan ini.

      Ketika aku beranjak dewasa, semakin tampan dan sudah tak lucu lagi, aku masih saja menanti moment moment tanggal 22 oktober sampai pada akhirnya 22 oktober 4 tahun yang lalu aku mulai membenci tanggal itu. sesuatu menampar telak kehidupanku. tahun 2009 adalah tahun pertamaku di perguruan tinggi yang seharusnya menjadikan moment itu lebih terlihat dewasa namun Tuhan berkehendak lain. semua ini berawal bertahun tahun yang lalu ketika aku menemukan sebuah pohon. aku mulai merawatnya dengan sangat hati hati. ku jaga pohonku. air minum satu botol pelepas dahaga seharian aku siramkan ke pohon kesayanganku itu. ketika itu aku hanya memikirkan pohon yang mulai tumbuh itu. semakin hari semakin menghijau dedaunannya dan mulai tampak rindang. aku yakin pohon ini sangat kokoh dan akan menemaniku di setiap keadaanku. menjadi peneduh ketika aku lelah dengan kepenatan hidup. menjadi penenang dengan kesejukannya. aku sangat menyayangi pohon itu. semuanya aku serahkan untuk menjadikannya pohon yang kokoh. setelah aku menyelesaikan pendidikan di Salah satu SMK Swasta ternama di kota satria ini, aku memutuskan untuk melanjutkan Pendidikanku tetap di kota ini. komitmen yang semakin kuat menjadikanku yakin pohonku takkan tumbang tergoda hembusan angin.

     Tepat 22 oktober 4 tahun yang lalu. ketika pohonku sudah berdaun lebat dan menjulang kokoh, seseorang mengambilnya dengan kata katanya. Memagari batang, ranting dan setiap lembar dedaunannya untuknya. setiap kata kata yang keluar dari mulutnya masih terekam jelas di benakku. karena aku hanya pemuda lemah bersenjatakan penggaris 30cm hasil ngutang di koprasi sekolah sedangkan dia pemuda bergergaji besi yang memiliki segalanya. sehingga aku hanya bisa diam mencoba untuk menerima kenyataan.
pohonku sudah berdaun lebat dan sangat rindang. pemuda itu sangat menikmatinya dan aku tak selangkah pun dapat mendekatinya. bahkan melihatnya saja sudah tak mampu. aku dengar cerita dari orang, sudah lebih dari 1th ini pohon itu telah berbuah dan aku menahan perih mendengarnya.

         Sekarang 22 oktober bukan lagi hari yang aku tunggu. bukan lagi hari yang membanggakan untukku. aku pernah berjanji pada diriku bahwa rasa sakit hati dan semua dendam ini akan aku bawa sampai mati. apapun alasannya. seketika aku roboh dalam kenyataan yang sangat memilukan. hari hari yang sudah tak beraturan.

       Aku tumbuh penuh dendam pada jenis pohon itu. beberapa tahun berjalan aku sama sekali tak mau mengenal tanaman apapun itu. aku acuhkan semuanya dan hilang dari pandanganku. mereka tak nampak bagiku dan aku sama sekali tak menghargai perasaan mereka. Sampai pada akhirnya 22 oktober 2th yang lalu tuhan menitipkan setangkai mawar padaku. aku genggam erat mawar itu meski durinya menusuk tanganku membuat aliran darah menetes ke tanah. aku berlari menggenggam tangkai mawar itu. ku serukan pada dunia bahwa aku akan menanam dan menjaganya. ku tanam mawarku. semakin mekar dan tumbuh semakin indah. aku sadar meski mawarku tak serimbun dedaunan pohon itu tapi keindahannya akan menenangkanku. ketika badai debu menerpa, seketika aku menutup setiap tangkainya. menutupi dari panggal batang sampai ujung daunnya. tak peduli durinya mulai perih menusuk karna aku takkan membiarkan debu mengotori nya. 

      Kini 2 tahun sudah aku selalu berada di samping mawar ini, menjaga mawar ini. aku tak peduli dengan pekarangan tetangga yang memiliki beraneka ragam bunga berwarna nan indah. bagiku satu mawar saja sudah cukup. aku tak tahu apa akan ada tahun ke tiga untuk ku menjaga mawar ini karna aku harus meninggalkan pekarangan rumahku. pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tanah orang. dalam diam aku berdoa pada tuhan. jika aku mendapatkan kesempatan untuk tetap menjaga mawar ini maka dalam setiap langkahku aku berjanji akan tetap menjaganya dan takkan ku biarkan layu meski hanya sedetik saja.


Friday, October 18, 2013

VSAT ku harus berdiri

tersirat rasa iringi nada
langit sore masih menangis
berdiri kokoh tanpa tawa
lantang bersuara tanpa teriris

tetesan air membasahi bumi
meluluhkan setiap sendi
mengalir hingga ke ujung kaki

di atap gedung aku berdiri
menantang badai melawan waktu
menatap jauh langit tertinggi

berjanji dalam hati
tak beranjak aku dari sini
sampai tuntas semua kondisi

memaksa diri memaksa hati
sederas apapun air membanjiri
Vsat ku harus berdiri kokoh hari ini

Friday, September 20, 2013

Ketika Waktu

seperti mimpi ketika waktu
seperti senja ketika waktu
seperti badai ketika waktu

seperti ketika aku melangkah tertatih
seperti itu aku tertunduk melaluimu
seperti ketika hatiku terasa terinjak
seperti itu ketika aku mendengarmu berucap

seperti mimpi ketika waktu
seperti saat kamu melangkah
seperti itu kau memandang rendah
seperti ketika aku ceritakan keadaanku

bukan dorongan ketika waktu
bukan harapan yang aku terima
seperti injakan ketika waktu

bukan hanya tekanan ketika waktu
sebuah tamparan pedas kehidupan
ku korbankan semua perasaan ketika waktu
melihat langkah mu menjauh

seketika itu aku berlari
tetap pada anganku ketika waktu
ku kejar mimpiku tanpa batas waktu

aku berjanji akan menjadi paku ketika waktu
ketika kau hantam 
keyakinanku berdiri kokoh ketika waktu

mulutku berucap lirih ketika waktu
semua hantaman ketika waktu
memacu laju
menampar telak sampai ke otakku

ku pinta pada waktu
hadirku di hadapanmu
ku pinta pada telingamu
mendengar deretan terimakasihku

semua tamparan kehidupan ketika waktu
membuatku meraih anganku

Tuesday, September 10, 2013

Rintihan Komputer Tua

tataplah tegas rangkaian bintang-bintang. Cahayanya sedang gemerlapan bak lentera neon yang teramat
menyilaukan mata. Berhayalah sedemikian rupa, mungkin aku dapat menggapainya.
Namun apakah benar itu sebuah bintang atau deretan lampu jalan?
itu kah impian dan cita cita mu?
Tataplah jauh-jauh sana.
Bukankah kamu tak pernah menatap yang seperti itu sebelumnya, apa benar itu bintang? Salah satu bintang terbesar dan menyilaukan mata mu hingga melucuti segala ego mu.
Sibuklah terus dengan semua hal ini. Memangnya kau tak peduli pada mesinku yang memanas.
Siang malam engkau duduk di depanku, meninggalkan orang yang kau sayangi. Membiarkannya pergi berlalu.
Memangnya apa yang kau pandang. Deretan angka,huruf dan symbol yang kau sebut Script.
Semua rangkaian bintang di atas sana pun menyangkal apa yang kau pandang itu bagian dari hidupmu.
Masa bodoh berlarilah tinggalkan kekasihmu itu yang sedang menanti setiap tetes perhatianmu, karena egomu yang mementingkanku.
Ribuan jiwa memandang lesu engkau.
Ribuan bintang di langit menertawakan mu.
Sepatu kulit yang kau semir tadi pagi tak kau hiraukan menyentu tanah penuh becek.
Tatapan sayu mu membulat tajam ke layarku.
Ribuan jiwa menangisi apa yang mereka lihat. Tapi engkau masih tak logis masih saja menatapku, menekan setiap tombol di keyboardku.
kenapa kau tak berteriaklah dan melolonglah sesuka hati mu. Berjam jam diam tak bersuara.
Ikutlah menangisi kemalangan mu.
Semua angan tentang rangkaian bintang yang kau pandangi penuh tanya itu, hanya melambungkan asap tebal ke atmosfir bumi menembus tingkap-tingkap langit.
Teruslah tersedu pilu memikirkan setiap lembaran lembaran itu. Kertas kertas ini yang sedang di timang lembut oleh mu, pantas saja kekasihmu meronta.
Semua ego tentang kegiatan mu membuat mu gila dan membatu hati mu.
Teruslah menangis karena perutmu melilit, teruslah menangis karena engkau kini lemah tak berdaya.
Dan teruslah menatap bintang di langit malam, dengan tatapan seduh mu itu.
biarkan tubuhmu terbaring sejenak. Tinggalkan aku sejenak. Tataplah sejenak dunia luar.
Esok kau hanya berharap menemukan sedikit senyum pada dirimu.
Esok pula gerangan sosok bayangan mu tercium halus melewati embun malam di kamar ini lagi. Sambil menatap layarku, di temani lampu kamar yang redup dan kebisingan di luar kamar mu.
matamu memerah bak bunga mawar merekah..
Engkau bingung engkau putus asa sesaat, menatap bayangan semua orang yang mendukungmu, jauh disana
Tersenyum dan mendengarkan ia memanggil mu! Akhirnya engkau mempunyai waktu untuk berbaring dengan senyuman.
Engkau hanya tersenyum membawa semua cerita yang engkau miliki untuk mereka dengar. seseaat kembali menatapku.
Sekejab dua bintang di langit bercahaya sangat terang, mungkin engkau telah bergabung menjelma menjadi dua bintang di langit malam saat ini.
Hembusan embun angin malam membawa melodi kesan dingin dan suram.
Semangat mengalir deras hingga menyongsong pagi hari nanti, andai aku dapat berucap, ku paksa kau meninggalkanku sejenak. Sayang aku hanyalah serangkaian mesin yang kau sebut komputer.

Tuesday, September 3, 2013

happy birthday honey

“Huft...SMK Telkom Purwokerto” sekali lagi gadis itu menghembuskan nafas panjangnya.

“Lo kenapa sih? Daritadi menghela nafas kayak ikan kehabisan oksigen!” Komentar cewek berambut sebahu.

“Gue bingung, gimana gue harus bilang sama Adit soal kepindahan gue ke Purwokerto.”

Cewek bernama Rindy tersebut menoleh pada Rachmi, sahabatnya. “Lo beneran mau pindah ke Purwokerto?”

Rachmi mengangguk. “Bokap gue harus ngurus bisnisnya disana. Gue bingung, Rind! Lo tahu kan akhir bulan Adit ulangtahun, sedangkan lusa gue udah harus pindah.”

“Hei! Cewek-cewek lagi pada gosipin apa nih? Kayaknya seru banget.” Adit, cowok yang sedang menjadi topik perbincangan Rachmi dan Rindy tiba-tiba muncul.

Rindy melirik Rachmi sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Kita lagi ngebahas soal kepindahan Rachmi ke Purwokerto.”

Rachmi membungkam mulutnya, dia tak percaya dengan jawaban yang dilontarkan Rindy. Sungguh, hatinya belum siap untuk menjelaskan semuanya pada Adit.

“Pindah? Rachmi mau pindah ke Purwokerto? Lo bercanda kan, Rind?” Adit bertanya gusar.

“Gue serius! Kalau lo nggak percaya, tanya aja tuh sama orangnya.”

Adit menggeser duduknya disamping Rachmi. “Sayang, benar kamu mau pindah ke Purwokerto?”

Rachmi menggigit bibirnya. “Iya, lusa aku harus pindah.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Adit menatap mata Rachmi.

“Aku--aku takut! Kalau aku cerita, kamu akan memutuskan hubungan kita.” Dua bulir kristal bening menetes dari kedua pipi Rachmi. “Aku belum siap kalau semua itu terjadi.”

“Sayang, kenapa kamu bisa punya pikiran sepicik itu? Aku nggak mungkin memutuskan hubungan kita cuma gara-gara kepindahanmu.” Adit menghapus airmata Rachmi. “Atau mungkin kamu yang ingin mengakhiri hubungan ini?”

Rachmi menggeleng kuat-kuat. “Itu keinginan terakhir dalam hidupku.”

“Tapi kamu harus janji, kamu tetap harus datang pada pesta ulangtahunku. Oke?” Adit mengusap lembut rambut Rachmi.

“Ehem! Bisa nggak kalian akhiri acara drama mellownya? Gue empet nih cuma jadi obat nyamuk.” Rindy menyeletuk.
*
Tiba saatnya Rachmi harus pindah. Sayangnya Adit dan Rindy tidak bisa mengantarnya karena harus ikut pelajaran di sekolah. Terlebih lagi hari ini ada tiga ulangan, jadi Rachmi harus mengerti bahwa kekasih dan sahabatnya tidak bisa berada di Airport untuk melepas kepergiannya.

Sesungguhnya Rachmi merasa sedih harus jauh dari Adit, hubungannya yang sudah berlangsung hampir dua tahun apa sanggup bertahan saat jarak memisahkan? Dirinya takut, Adit akan melupakannya. Atau mungkin dia yang melupakan Adit?
*
Hari baru, kota baru, suasana baru dan sekolah baru. Rachmi menjejakkan kakinya malas menuju ruang Kepala Sekolah, ditempat dia akan menuntut ilmu. SMK TELKOM Purwokerto adalah salah satu SMA favorit yang terletak di Purwokerto Pusat. Kini, Rachmi menjadi salah satu penghuni disana.

“Kamu murid pindahan dari Surabaya itu kan?” tanya seorang lelaki berkumis tebal yang tak lain adalah Kepala Sekolah SMK TELKOM Purwokerto.

“Iya, Pak!”

“Kamu masuk dikelas XI TJA-1, saya sudah menyuruh ketua kelas untuk kesini.”

Tok..Tok..Tok..

“Permisi, Pak!” Seorang cowok bersuara bariton memberi salam dan masuk kedalam ruangan.

“Farid, ini murid pindahan yang Bapak ceritakan. Tolong kamu bantu dia beradaptasi selama beberapa hari.” Ucap Kepala Sekolah pada cowok bernama Farid itu.

“Rachmi, mulai sekarang kalau tidak ada yang mengerti kamu bisa tanyakan pada Farid.” Lanjut Kepala Sekolah mengagetkan Rachmi yang sedang asyik menunduk menekuri sepatunya sambil memikirkan Adit.

Demi kesopanan, akhirnya Rachmi menoleh pada cowok disampingnya dan tersenyum. Tapi perlahan senyumnya lenyap ketika mengenali sosok cowok itu. “Farid? Kamu Muhammad Al Farizzi kan?”

Farid mengangguk. “Dan kamu Rachmi kan?”

“Kalian sudah saling mengenal? Bagus kalau begitu! Tapi lanjutkan nostalgianya diluar, Bapak banyak tugas yang harus dikerjakan.” Tegur Kepala Sekolah dengan halus, melihat kelakuan kedua anak didiknya tersebut.

“Maaf, Pak! Terimakasih.” Rachmi meninggalkan ruang Kepala Sekolah diikuti Farid di belakangnya.

Rachmi berjalan cepat, dia mengutuk takdir yang mempertemukannya lagi dengan Farid. Sungguh, Rachmi enggan harus bertatap muka dengan cowok itu.
“'Rachmi! Tunggu! Kenapa lo menghindari gue?” Farid mencekal tangan Rachmi, menahannya pergi.

Rachmi menepis pegangan tangan Farid. “Jangan sok akrab!”

“Tapi bukankah hubungan kita memang akrab? Apa lo lupa semua kenangan tentang kita?”

“Hah? Setelah tiga tahun lo menghilang, sekarang lo bilang kenangan kita? Buat gue, kenangan kita udah mati!”

“Gue minta maaf, Rachmi. Sungguh gue gak bermaksud ninggalin lo begitu aja. Gue bisa menjelaskan semuanya.” Farid menatap Rachmi sendu.

“Maaf, tapi penjelasan lo sudah terlambat! Sekarang gue sudah punya kekasih yang mencintai gue seperti gue mencintainya.”

Farid terenyak mendengar perkataan Rachmi, padahal selama ini dirinya selalu menanti Rachmi. Hatinya tak pernah lepas dari sosok dan nama Rachmi. Tapi, dengan gampangnya Rachmi berubah? Melupakannya begitu saja?
***
“Hallo? Adit?” Rachmi bersuara ketika pada deringan kelima akhirnya Adit mengangkat telepon.

“Sori, gue Rindy. Adit lagi sibuk, Rachmi. Lo tahu kan, lusa Adit ada pertandingan break dance?”

Sejenak, Rachmi merasa kesal. Kenapa sudah dua hari ini Rachmi telepon Adit, selalu saja Rindy yang mengangkat. “Please, bentar aja, Rind! Gue kangen sama Adit.”

“Gimana ya? Lo tuh harusnya bisa ngertiin Adit, dia butuh banyak konsentrasi. Ntar gue sampein deh ke Adit.”

Tutt..tutt..tutt
Telepon diputus

“Apa sih maksud Rindy? Kenapa sekarang dia berubah?”

Memang sebenarnya Rindy adalah teman Adit dari kecil. Sedangkan Rachmi baru mengenal Rindy dua tahun belakangan ini.

Farid menepuk bahu Rachmi. “Lo kenapa, Rachmi?”

“Gue kangen Adit--cowok gue. Udah dua hari dia gak ada kabar.”

“Daripada lo sedih dan manyun terus, mendingan lo ikut gue sekarang.” Tanpa menunggu jawaban Rachmi, Farid menarik pelan tangan Rachmi dan menuntunnya ke mobil.

“Sebenernya kita mau kemana sih, Rid?”

“Ketempat favorit lo saat lo sedih.”

Farid menepikan mobilnya di parkiran Baturaden.

“Mau apa kita kesini?”

“Kan tadi gue udah bilang kalau gue mau ngajak lo ke tempat favorit lo, biar lo gak sedih lagi.” Farid tersenyum. “Sekarang mending lo turun.”

Rachmi menuruti Farid, tapi tetap saja pikirannya masih belum bisa lepas dari Adit.

Rachmi tertegun ketika Farid mengajaknya masuk ke suatu tempat di Baturaden bagian atas. “Lo masih ingat?”

“Gue selalu inget apapun tentang lo. Lo kan selalu bilang, saat pikiran lo lagi kalut atau sedih semua bisa terobati saat lo menatap bintang.”

Rachmi menitikkan airmata. Entah apa yang membuatnya menangis, Adit atau Farid?

“Kenapa lo nangis? Lo gak suka?”

Rachmi menggeleng.

“Atau lo ingat soal cowok lo? Lebih baik lo lupain cowok yang cuma bisa buat lo nangis.” Farid menyentuh dagu Rachmi dan mendongakkannya. “Disini ada gue, yang lebih perhatian sama lo. Lupain aja cowok lo itu.”

“Gue sayang sama dia...”

“Sstttt....” Farid mendekatkan wajahnya pada Rachmi, dengan perlahan tapi pasti Farid mengecup lembut bibir Rachmi.

Untuk beberapa saat Rachmi menikmati kecupan lembut itu. Tapi tiba-tiba bayangan Adit terlintas di otaknya.

“Lo apa-apaan sih!” Rachmi menampar Farid dan pergi meninggalkannya.
***
Sudah beberapa hari ini Rachmi menghindari Farid. Bahkan untuk sekedar melihat wajahnya saja Rachmi malas.

“Ya Tuhan, semoga Adit yang angkat.” Rachmi berdoa dalam hati ketika menekan tombol hijau di handphonenya.

“Hai sayang, kok tumben telepon?” Suara Adit terdengar lembut di seberang sana.

“Adit? Kemana aja kamu? Aku telepon kamu selalu sibuk.”

“Maaf sayang, kamu kan tahu kalau aku ada turnamen break dance. Dan aku senang banget kelompokku maju ke babak final.”

Mendengar suara Adit yang bersemangat entah kenapa Rachmi jadi tidak ingin marah lagi.

“Sayang, maaf ya aku harus latihan lagi. Nih ada Rindy, katanya dia kangen mau ngomong sama kamu.”

“Oke deh, semoga kelompok kamu jadi juara ya. Love you.”

“Makasihhhh sayang.”

“Kenapa Adit gak balas ucapan cinta gue? Apa dia gak denger?” Rachmi berkata lirih.

“Lo pengen tahu kenapa Adit sekarang berubah sama lo?” Tiba-tiba suara Rindy terdengar dari seberang sana.

“Rindy? Emang lo tahu kenapa Adit berubah?”

“Sebenernya gue gak enak mau cerita sama lo. Tapi karena lo temen gue, jadi lebih baik gue kasih tahu lo yang sebenernya.”

Rachmi makin penasaran dengan perkataan Rindy yang dirasa berputar-putar. “Soal apa?”

“Udah lama Adit curhat sama gue kalau dia jenuh sama hubungan kalian. Sebenernya dia pengen mengakhiri semuanya, tapi dia menunggu waktu yang tepat.”

“Hah? Maksud lo apa?”

“Kalau lo emang sayang sama Adit, sebaiknya lo yang mengakhiri hubungan kalian. Daripada Adit tersiksa harus terus berpura-pura mencintai lo.”

“Lo--bercanda kan, Rind?”

“Buat apa gue bercanda soal beginian? Apa lo gak ngerasa kalau Adit ngejauhin lo? Setiap lo telepon selalu gue yang angkat, itu karena Adit malas mau ngomong sama lo.”

“Oke...kalau itu membuat Adit bahagia gue rela.” Rachmi memutuskan sambungan telepon dengan gemetar, kristal bening perlahan mengalir dipipi tembamnya.

***

Satu minggu sudah Rachmi tidak pernah lagi menghubungi Adit, begitu juga sebaliknya Adit tidak pernah menghubungi Rachmi. Rachmi amat sangat terpukul mengetahui ternyata semua perkataan Rindy benar adanya.

Bahkan, hari ini saat ulangtahun Adit, Rachmi sengaja melupakannya. Ucapan ulangtahun maupun kado yang sudah dipersiapkannya kini sudah ada ditempat sampah.

“Rachmi, sebaiknya lo sekarang ikut gue.” Farid mengagetkan Rachmi yang sedang asyik merenung.

“Kenapa sih lo selalu ganggu gue? Semenjak lo datang hidup gue hancur!”

“Gue minta maaf udah bikin hidup lo hancur.” Farid terpukul. “Tapi...sebaiknya lo sekarang lo ikut gue. Karena ini antara hidup dan mati.”

“Lo ngomong apa sih? Gue gak paham sama sekali.”

“Kalau gue jelasin sekarang keburu terlambat.” Dengan tergesa Farid menarik tangan Rachmi dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan Rachmi diam saja, pikirannya sibuk menerka-nerka kemana Farid akan mengajaknya.

“Rumah Sakit Fatimah? Ngapain kita kesini? Siapa yang sakit?”

“Penjelasannya nanti aja, mending sekarang turun.”

Rachmi menuruti Farid dan segera turun dari mobil. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Pikiran buruk silih berganti melintas dipikiran Rachmi.

Farid setengah berlari sembari menggandeng tangan Rachmi. Perjalanan mereka berakhir didepan kamar bertuliskan Anggrek 15.

“Rindy? Kenapa lo ada disini?” Rachmi kaget melihat Rindy sedang berlinangan air mata. “Kenapa lo nangis?”

“Ngapain lo kesini? Belum cukup lo bikin Adit menderita? Semua gara-gara lo!” Rindy mendorong tubuh Rachmi hingga tersungkur.

“Adit? Kenapa lo bawa-bawa Adit? Ada apa sebenernya?”

“Padahal gue udah bohongi Adit! Gue bilang lo selingkuh, tapi dia gak percaya. Akhirnya dia nekat datang ke Purwokerto, tapi sesampainya disini gue ancam dia kalau gue akan bunuh diri! Saat gue berdiri ditengah jalan, Adit mendorong gue ketika ada truk mendekat!” Rindy semakin murka. “Semua ini gara-gara lo! Kalau Adit gak kenal sama lo, semua ini gak akan terjadi! Dan pastinya Adit akan jadi milik gue! Padahal hari ini hari ulangtahun Adit!”

“Adit kecelakaan?”

“Rindy! Kenapa lo nyalahin Rachmi? Dia gak salah apa-apa!” Farid angkat bicara. “Lebih baik kita masuk kedalam aja.”

Rachmi langsung berlari ketika melihat tubuh orang yang dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Bermacam-macam selang menancap ditubuh Adit.

“Dit, kenapa kamu? Jangan tinggalin aku, bangun dong!” Rachmi mengguncang pelan bahu Adit.

“Maafin aku, Dit! Aku sayang sama kamu! Buka mata kamu.” Rachmi sesenggukan.

Adit membuka matanya. “Rachmi..ya..?”

“Adit? Kamu kenapa? Tolong cepat sembuh, aku butuh kamu.”

Adit tersenyum sayu. “Ak..u ras..a wak.tu ku uda..h ga..k bany..ak lag..i..”

“Kok kamu ngomong gitu sih?”

“Jan..gan sed..ih sayan..g, mana u..capan ula..ngtah..un bu..at ak..u?” Adit mencoba tersenyum.

“Happy Birthday sayang! Kamu harus sembuh, kita rayakan ulangtahunmu sama-sama!” Rachmi mengecup bibir Adit lembut. Tubuhnya gemetar karna menahan tangis yang kian menjadi.

“Dit, maafin gue. Gue udah egois dan buat lo jadi begini.” Rindy mendekati Adit.

“Gu..e ud..ah maaf..in l..o, tolo..ng jaga..in Rachmi..ya. Lo haru..s bertema..n bai..k sam..a di..a..”

“Kenapa kamu ngomong gitu, Dit? Jangan pergi tinggalin aku! Aku butuh kamu disini.” Airmata Rachmi semakin deras mengalir.

“Ak..u saya..ng sam..a kam..u..” Perlahan Adit menutup matanya dan monitor jantung berubah menjadi garis lurus.

“Tidaaakkkkkkkkkk!!” Rachmi berteriak kencang.

Farid langsung maju dan memeluk Rachmi. “Lo yang sabar ya, hidup dan mati seseorang udah digariskan.”

Seorang dokter masuk dan mencoba alat pacu jantung untuk menolong Adit. Tapi takdir berkata lain, Adit sudah tidak bisa ditolong.

“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”

“Addiiiiiiiiiiiiittttt.” Rachmi jatuh pingsan ketika melihat wajah orang yang dicintainya tertutup kain putih.

Begitu naas nasib Adit, hari kelahirnya berubah menjadi hari kematiannya. Tapi itulah takdir, kita tidak bisa meramalkan hidup dan mati seseorang. Semuanya adalah kuasa sang Ilahi.

Tuesday, July 23, 2013

Setangkai mawarku telah Pergi

Langkah kaki itu sayup samar menjauh
melangkah hilang di pekat malam

setangkai mawarku telah pergi
penuh ter iris pedih
penuh luka sayatan hati
bergerak pelan aku menahan setiap luka

air mata mengalir mengiringi setiap detak kepedihan
raut muka menyatu dengan debu, membaur bersama gumpalan duka

tuhan, aku mencintainya
dalam setiap aliran darah
dalam setiap nada yang aku cipta

tuhan aku merindukan hatinya
dalam setiap detupan jantung
di setiap hembusan nafas

setangkai mawarku memilih pergi
dan aku masih saja memilih tuk berduka
karna aku sadar
aku sangat mencintainya.

Saturday, July 20, 2013

Meninggalkan Luka untuk sebuah duka.

Bayangan nampak ketika aku terjaga,
Gumpalan awan sendu mengiringi setiap malamku,
Ntah tlah berapa lama hati ini hampa,
Masa lalu menjebak memukul telak,
Sempat tak mampu kaki untukku melangkah.

Berhasil kusembunyikan setiap impian yang pergi,
Berharap ketika waktu aku tlah mampu berdiri,
Ku sisihkan waktu dalam hari,
Tuk hapus sedikit ruang di sela kepnatan ini.

Tlah kusaksikan berjuta bintang yang bersinar,
Tlah kucari cahaya terterang dalam hidup,
Tlah kuyakinkan diriku tentang indahnya dunia luar,
Akan ada hati dimana rasa ini akan kembali berlabuh.

Ketika hati mulai terbuka,
Seketika itu tersayat getir.
Kembali dalam duka.

Sunday, July 7, 2013

Jangan kembali untukku

Aku sadar aku tidak bisa melangkah bersamamu lagi
Aku menunggu untukmu menyesal
Bukan lagi bayanganku
Seketika itu…..
Aku kehilangan separuh dari hati ini

Perlahan aku belajar untuk hidup
Bangkit kembali dengan hati yg rapuh
Aku ingin berdiri penuh dengan hatiku

Bekas luka mengiringi langkah
Mengumpulkan kepingan hati
Mencoba menyatukan cinta yg kian terpisah
 menatap lembut padaku
Lebih dalam ke lubuk hati
Jangan kembali untukku

Samar lembut kudengar lirih
Kau datang tuk meminta
Tapi waktu tlah menuntunku terlalu kuat
Tak akan aku terjatuh dalam pelukanmu lagi

Butuh waktu begitu lama..
butuh beberapa putaran musim tuk tersenyum
Butuh ratusan tawa….
 hanya untuk merasa baik-baik saja

dalam diam aku mengenang
setiap langkah tuk kembalikan  cahaya di mataku
Dan sekarang kau meminta kembali
Sadarkah dirimu tentang hati

Hati yang tlah kau patahkan

Sunday, June 30, 2013

CHIRPSTORY ( stories from Tweets #pratamanovelis ) UPDATE

Terimakasih telah menjadi pengunjung dan pembaca setia site Mawar kehidupan dimana kita berada di dalam keadaan yang tak kan pernan lelah untuk menanti pelangi di malam hari. Seperti halnya yang sudah kita ketahui bersama bahwa hanya tweet yang menyertakan " #pratamanovelis " lah yang akan kami tanggapi.
berikut ini kami kumpulkan beberapa tweet yang telah kami rangkum menjadi Chirpstory yang akan kami update setiap ada pembaruan. silahkan menyimak dan semoga bermanfaat.





  1.  The Memories From a Bowl of Ice Cream #pratamanovelis
  2.  Kehilangan Bukan Berarti Kepedihan #pratamanovelis
  3.  Mendua Karna Dia Mencintai Sahabatku #pratamanovelis
  4.  Tentang Cinta #pratamanovelis
                                                                                              Pratama Galang Tata Aditama

Tuesday, June 11, 2013

Semua ini Cukup Bagiku

Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.


Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.


Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.


“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.


Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.


Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.


Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.


Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.


“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.


Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?


Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.


Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.


Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.


Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!


Ia membenamkan wajahnya didadaku. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.


Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***


“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.


“iya..” jawabnya.


Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.


Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.


“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.


Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.


“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.


“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.


Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.



“ ayo vi!.” Ajakku.


Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.



“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.


Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.


“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.


Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.


“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.


Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.


“sakit yel.” Lanjutnya


Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.


Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.


“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.


Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.


“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.


“iel?.” Ucapnya.


“Alvin?.” Ucapku.


“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.


“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.


Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.


“masih bisa kan vi?.” Tanya ku


Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.


Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?


Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.


“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.


Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.


Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.


“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.


“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.


“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.


“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.


“makasih ya.” Tambah sivia.


Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.


Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.


Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.


Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...


“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku


Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.


Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.




Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata.
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya


Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG... 
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”
Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.


Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia
menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis
takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu


"Tolong tinggalkan komentar, Kritik atau Saran untuk penulis. saya menerima Kritikan sepedas mungkin demi pengembangan diri" #pratamanovelis

Thursday, May 23, 2013

The Memories from a bowl of ice cream


Ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada pria yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.


Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.
***

3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama

Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak panjang, sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.

“Gimana?” tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.

“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.

“Enaak !!” Seru ku.

Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.

Ya, Dialah Mutiara Dian. Dian dan Aku pertama kali bertemu di Kos temanku yang juga adalah teman Dian. Disitulah kami berkenalan.

Dian  sering meminta pertolonganku. Sebagai imbalan nya Dian sering mentaktirku es krim. Berawal dari  secorong es krim-lah pertemanan kami semakin akrab.
Cewek berbadan ideal yang mengambil kuliah di jurusan kesehatan ini bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Dian mengambil Cooking Class khusus membuat pastry. Dian termasuk golongan cewek yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Dian tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.

Sore itu, Dian dengan sengaja menculikku dari kampus, Dian mengajakku berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat seperti di museum–mesueum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.

Dian bercerita sambil menerawang kearah langit-langit, kalo dia sering makan es krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood.

Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan.

“Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia menatap ku lagi. Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku jejali roti itu dengan es krim tutti fruiti-ku.

“Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.

“ini Enaaak, coba deh” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Dian lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.

“yeee, enak kan, sekarang kamu ketularan rakus” aku tertawa puas. Dan dia menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.

Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Dian seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak pacaran, tepatnya Dian punya pacar. Dian berpacaran dengan Bagas. Mengenai Dian dan Bagas aku tak tahu banyak karena Dian jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran. Hanya itu yang ku tahu.

“Pulang yuk Lang, nanti ketinggalan jadwal nonton anime ” ajak Dian kepadaku sekaligus mengingatkan.

“Iya, hampir lupa..ayook” jawabku sambil beranjak dari kursi.
 ***

2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama.

Dian tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapih.

“Ta daaaa, Happy Birth Day” Dian menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!

Malam itu di hari ke dua puluh dua di bulan oktober, Dian membuatkanku kue ulang tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan merah, seperti warna club kesukaanku, Barcelona. Lengkap dengan tulisan “Happy Birth Day Galang” diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin.

“Jangan lupa berdoa dan make wish ya” Dian tersenyum Simpul lagi.

Aku meniup lilin itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan Dian dan es Krim tentunya.

Tika, belum telepon juga?” Dian bertanya singkat.

Tika? Kenapa Dian nanya Tika lagi sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat cerita, Tika adalah gadis yang sekarang dia sudah menyandang gelar mantan pacar. Tika dan Aku bertahan pacaran hanya beberapa tahun saja. Tika yang tidak pernah suka dengan hobiku yang menyukai capoeira. Terkadang itu menjadi bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik namun dia lebih memilih menjalin hubungan denganTeman sekelasku di kampus bahkan sekarang mereka berdua sudah menikah dan di karuniai anak.

“Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk” ujarnya seraya menghiburku.

Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu ku hanya diam dan menikmati es krim dan kuenya lagi.

“yang penting…” Ujar Dian. Hening sejenak. Aku menunggu dian melanjutkan kalimatnya. “ Ayah dan Adik, sudah telepon” lanjutnya sambil tersenyum.

Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya “Tentu saja, itu yang penting” timpalku kepadanya. Kamu juga penting Yan.

Dian selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang teman seperti Dian yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Bagas? Apakah dia melakukan hal yang sama kepadanya?

Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail bagaimana Dian memperlakukan Bagas? Bukan kah sebelumnya aku tak pernah peduli?

“Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Dian membangunkan ku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.

“Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.

“Pelit” Dian pura-pura ngambek.

“Anyway Dian, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum. aku bahagia malam ini.

“Any time, Lang” balas Dian. Tersenyum simpul.

Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
***

Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menadakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.

Dua jam yang lalu, aku dan Dian duduk bersama di kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan setirus dulu, rambut nya pun tak seberantakan dan sepanjang satu tahun yang lalu, Dian terlihat baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Dian, Dia bersikap dingin, sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar sana.

“Kenapa gak ada kabar Lang?” Dian menatapku serius. Nada suaranya dingin.

Aku tak sanggup memandang Dian, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.

“Aku sibuk Dian” Aku berbohong. “Maaf Dian, aku memang keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.

Setelah mendengar kata maaf itu Dian langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu Dian pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin menguasai, persahabatanku dengan Dian terasa bias, tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di depan Dian yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Dian yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan.
“Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.

Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Dian sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Dian selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.

“Lalu bagaimana denganmu Dian?” ucapku terbata.

Dian tak menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan bagi Dian sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun Dian menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
***

Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Dian. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Dian dua jam yang lalu.

Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri?

Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Dian kepadaku, dia selalu ada untukku, menyangiku sebagai sahabatnya. Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Dian terluka.

Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.

Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Statsiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Dian dan Bagas. aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan.

Biarlah aku menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Dian, dan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?

Baca Chirpstories >>KLIK DISINI<<


----TAMAT---


"Tolong tinggalkan komentar, Kritik atau Saran untuk penulis. saya menerima Kritikan sepedas mungkin demi pengembangan diri" #pratamanovelis