Mentari jingga hampir tenggelam menuju peraduannya di balik
gurat perut bumi. Rona senja berpendaran sendu menghiasi dedaunan rimbun di
setiap sudut kota Pekalongan. Ratusan burung kecil sang penghuni kota Batik bergegas
kembali meringkuk di dalam sarang tersembunyi.
Gantian kelelawar siap-siap berpesta, mencicipi ranumnya buah merah merekah di pucuk dahan.
Sore ini adalah untuk yang ke sekian kalinya Leila pergi
bersama Bella, sepupunya, ke tempat latihan seni bela diri Capoeira di samping Krematrium tepi pantai di Pekalongan.
Dentuman alat musik samba khas Negara Barsil yaitu pandeiro
dan gendang atabaque yang terbuat dari
kulit kerbau serta gemerincing nyaring agogô yang mengiringi para capoeirista
beraksi, seolah selalu memanggil-manggil nama Leila untuk larut dalam
kelincahan gerak Sony.
“Kalau tertarik dengan olah raga Capoeira ini, cepat saja bergabung jadi capoeirista. Jangan cuma
nonton terus,” kata Bella mengingatkan
Leila seraya meneguk sebotol air mineral
dingin.
Saat itu Bella dan teman-temannya yang lain sedang
istirahat.
Leila mengulum senyum. Sebab bukan itu maksud dirinya
meluangkan waktu ke tempat latihan
Capoeira ini. Ia datang ke tempat
itu hanya untuk sekedar dapat bertegur sapa dan memandangi wajah Sony.
Lelaki tersebut telah mencuri perhatian Leila.
Setiap gerakan yang dilakukan Sony saat latihan Capoeira selalu datang dalam
setiap tidurnya.
Di mata Leila, segala yang ada pada Sony sungguh sempurna.
Dia tampan, dan pandai menghargai wanita serta tentu saja pandai
seni beladiri Capoeira.
“Aku ikutan jadi capoeirista? Sepertinya aku tidak berbakat
olah raga bela diri ini.”
“Lalu mengapa rajin sekali menemani aku latihan?”
“Aku ke sini cuma iseng saja. Mau dengar musik samba dan
nonton para laki-laki ganteng beraksi
melakukan gerakan ginga.”
Ginga merupakan suatu gerakan dasar Capoeira. Gerakannya
mirip kuda-kuda dalam ilmu beladiri lainnya.
“Apa? Apakah aku tak salah dengar?”
“Apakah ada yang salah?”
Leila balik bertanya.
Jawab Bella, “Sedikit…kalau Torra tahu bahwa kamu kesini
cuma untuk melihat lelaki ganteng, pasti dia marah.”
“Kurasa Torra tidak akan pernah marah sedikit pun.”
“Kau yakin, Leila?”
“Ya, sebab Torra agaknya tak pernah merasa memiliki aku.
Mungkin bagi dirinya, aku ini hanya pelengkap dalam kehidupan rumah tangga
kami.”
“Wah, masak? Sedang bertengkar dengan suamimu itu, ya?”
selidik Bella.
“Tidak juga. Maksudku, sudah dua tahun belakangan ini aku dan
Torra tidak pernah bertengkar.
Kami baik-baik saja.”
Leila membuka tasnya.
Dia mengambil sebotol air mineral.
“Aku mau menawarkan air mineral ini untuk Sony,” kata Leila
sambil melangkah ringan mendekati Sony dan teman-temannya yang sedang
beristirahat.
“Aku butuh teman untuk berbagi,” tambah Leila.
Bella menggeleng kepala. Dia menebak dalam hatinya bahwa
sepupunya yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu sedang mengalami masa
puber kedua.
“Hop! Tapi tenang saja. Mudah-mudahan suatu hari nanti aku
ikut jadi capoeirista,” imbuh Leila.
Setahu Bella, semasa mereka masih sama-sama remaja dulu,
Leila adalah gadis pendiam yang sulit mengungkapkan perasaannya, apalagi
mengekspresikannya.
Semasa duduk di
bangku SMP dulu, sepengetahuan Bella,
sepupunya itu pernah jatuh cinta pada teman sekelasnya yang jago main
volleyball. Sayang si lelaki yang dia taksir itu tidak pernah tahu kalau Leila
diam-diam naksir berat. Buntutnya ketika akan lulus dari bangku SMP, Leila
patah hati sebab si jago volleyball itu sudah punya pacar adik kelasnya.
Waktu SMU juga begitu, Leila dua kali jatuh cinta. Namun
dipendam begitu saja. Alasannya klasik, katanya tidak pantas seorang perempuan
yang lebih dulu mengatakan isi hatinya. Jadilah Leila bagai pungguk merindukan
bulan.
Setelah Bella dan Leila sama-sama sibuk kuliah di
universitas yang berbeda, Bella tak tahu lagi nasib percintaan Leila.
Hingga suatu hari setelah lulus kuliah, Leila tiba-tiba mengumumkan rencana
pernikahannya bersama Torra.
Bella sendiri tidak banyak tahu tentang siapa calon suami
Leila tersebut.
Dalam pernikahan tersebut, Leila dan Torra dikaruniai tiga
orang anak laki-laki tampan…
Bella sesekali melayangkan pandang ke arah Leila dan Sony
yang sedang berbincang akrab. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Wajah cerah ceria tampak terlukis di wajah Leila. Dalam
hatinya Bella berdecak, seumur hidupnya belum pernah dia melihat sepupunya
tersebut sebahagia itu.
Apakah Sony yang menjadi alasan Leila untuk setia menemani
Bella latihan seni bela diri Capoeira? Begitu
Bella menebak.
Pesona musik samba kembali terdengar. Suara dentuman alat
musik ritmis yang ditabuh tiga laki-laki capoeirista berambut gondrong kembali
menggema. Melantunkan nyanyian riang mengiringi para capoeirista mengayun-ayunkan kaki dan tangannya
membentuk gerakan yang indah.
Mata lentik Leila kembali hanyut mengikuti gerakan tubuh
Sony yang mengentak-hentak. Ada getar
nuansa indah hadir di relung hatinya.
Leila bertanya jauh ke dasar hatinya yang paling dalam.
Apakah ada yang salah dengan perasaannya kali ini bila dirinya terpesona pada
seorang lelaki tampan di Capoeira? Ups? Lelaki anggota Capoeira itukah atau
sesungguhnya Leila jatuh cinta pada seni beladiri Capoeira itu sendiri?
Wanita itu coba menelusui jejak masa lalunya. Mencoba
memahami gejolak indah yang ada di hatinya.
Sejak kecil dia butuh cinta dan kasih sayang. Sebuah rasa
yang tak pernah dia dapatkan secara utuh.
Sejak kecil dia sudah hidup terpisah dari kasih sayang kedua
orang tua. Kedua orang tuanya memilih hidup terpisah dengan alasan yang tidak pernah Leila ketahui sampai detik ini.
Kedua orang tuanya telah membungkus misteri itu
rapat-rapat…
Semula, menikah dengan Torra adalah suata momentum sejarah
dalam dirinya untuk menutup lembar pahit dalam hidupnya yang telah kehilangan
kasih sayang kedua orang tuanya. Dia
mengira menikah dengan Tora merupakan keputusan yang paling tepat. Dia berharap
Torra dapat melengkapi kekosongan batinnya yang butuh kasih sayang dan perhatian.
Namun harapan itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
Membuat Leila merasa frustrasi.
Perjalanan pernikahannya terasa hambar.
Pagi-pagi sekali Torra sudah berangkat ke kantor. Tengah
malam dia baru pulang. Kalau libur, Torra lebih asyik bersama teman-temannya
memancing atau mengendarai moge alias
motor gede menyusuri jalan kota Pekalongan. Seolah Leila tiada pernah ada di dalam
lembar kehidupan Torra.
Bukan rutinitas seperti itu yang diimpikan Leila. Dia ingin
diajak nonton film berdua di bioskop seperti masa-masa pacaran dulu, makan
berdua di kafe sambil mendengarkan musik romantis, merayakan hari ulang tahun
perkawinan dengan setangkai mawar merah di atas tempat tidur, dan…beribu
kejutan romantis yang tidak pernah diberikan satu kali pun dalam perjalanan
kehidupan perkawinan yang telah dilalui pasangan Leila-Torra.
Yang lebih menyakitkan lagi bagi Leila adalah Torra tidak
pernah merisaukan jika Leila pergi dari rumah selama berhari-hari. Hati Torra
tidak pernah tergerak sekalipun untuk menjemput Leila pulang ke rumah. Dia
hanya menelpon dengan tenang seraya menanyakan kabar Leila, seolah-olah tak ada
yang perlu dikhawatirkannya.
Padahal saat itu Leila ingin Torra menjemputnya dengan
pandangan cemburu yang dibungkus dengan sedikit bumbu amarah cinta.
Ya…sedikit amarah karena cemburu, canda tawa, pujian,
rayuan, perhatian, dibukakan pintu mobil bila hendak masuk kedalam mobil,
ciuman di kening sambil membisikkan kata I love you, hm…kejutan kecil yang
romantis…agaknya semua itu tidak pernah ada dalam kamus hidup Torra.
Padahal semua perhatian kecil seperti itulah yang dibutuhkan
Leila…yang dibutuhkan semua kaum wanita pada umumnya di belahan kutub mana pun
di muka bumi ini.
Leila pun enggan mengungkapkan sisi ruang batinnya yang
hampa tersebut kepada Torra.
Akankah semua impiannya tersebut dapat diberikan oleh Sony?
Siapa peduli pada diri Leila walaupun melolong panjang bak serigala betina yang
minta dikasihi dan diberikan limpahan kasih sayang!
Leila seolah baru tersadar dari tidur panjangnya.
Pada bulan-bulan berikutnya, kenyataannya, Leila baru
menyadari, ternyata bukan lelaki tampan yang bernama Sony itulah yang
membuatnya seolah mendapatklan energi cinta dan bahagia.
Namun seni bela diri Capoeira-lah yang memberikan banyak
energi cinta pada dirinya. Energi untuk belajar mencintai diri
sendiri…menghargai diri sendiri…menyenangkan diri sendiri…memanjakan diri
sendiri dalam sebuah komunitas baru yang dipenuhi dengan aroma persahabatan.
Itulah Capoeira.
Kini Leila telah menjadi capoeirista, sebutan untuk
orang-orang yang menjadi pemain Capoeira. Saat belajar Capoeira, selain
berlatih jurus-jurus tertentu, para capoeirista ternyata juga diajari filosofi,
nyanyian, dan memainkan alat musik khas Brasil seperti pandeiro, gendang atabaque, agogô, dan yang tak kalah
pentingnya adalah berimbau yaitu instrumen yang bentuknya seperti busur panah.
Beberapa orang dari
capoeirista akan memainkan alat musik khas Brasil tersebut. Kemudia
pemain Capoeira akan berkumpul melingkar dan bernyanyi lagu-lagu irama samba.
Selanjutnya, semua
capoeirista maju berpasangan secara bergantian untuk saling beradu.
Namun gerakan diantara para capoeirista yang sedang beradu ini tidak serta
merta bertujuan menjatuhkan lawan. Inilah bedanya dengan bela diri lain. Dalam gerakannya terlihat cendrung lambat.
Dua capoeirista yang sedang bertarung tersebut bak penari gagah perkasa. Oh indahnya.
Ya, Torra adalah Torra. Mungkin dia bukan tipe suami
romantis. Leila beranggapan bahwa
sungguh tak adil jika dirinya memaksakan kehendaknya agar Torra berubah sesuai
impiannya.
Kini Leila lebih memilih untuk memberikan kebahagiaan kepada
dirinya sendiri, tanpa perlu menunggu Torra memberikannya.
Semuanya sekarang mengalir seperti apa adanya, Leila bisa
berbahagia dengan menjadi capoeirista. Leila bisa bahagia juga dengan kembali
melukis di atas kanvas seperti dahulu lagi untuk dijualnya di galeri lukisan
milik Bella di Bali.
Segala hal yang dilakukannya sekarang telah membuatnya lebih
berbahagia.
Menurut sejarahnya, Capoeira adalah sebuah seni bela diri
yang dikemas dengan tarian.
Sekitar tahun 1500-an orang-orang Afrika yang dijadikan
budak di Brazil secara diam-diam berlatih
Capoeira dengan tujuan
mempertahankan diri dari tindakan kesewenang-wenangan sistem perbudakan yang
ada pada waktu itu.
Nah, agar tidak dicurigai saat berlatih Capoeira, maka
setiap gerakan yang mereka lakukan selalu disertai iringan alat musik
tradisional dan nyanyian yang indah.
Jadi Capoeira merupakan
sebuah sistem bela diri tradisional yang dikembangkan di Brazil oleh
budak-budak Afrika.
Tahun 1900-an keindahan bela diri Capoeira mulai tersebar ke
seluruh penjuru dunia.
Semangat orang-orang Afrika di abad enam belas itu memberi
inspirasi bagi Leila untuk tak cengeng menangisi nasib.