January 2012 ~ pratamagta

Monday, January 16, 2012

Catatan Terakhir Jojo



Hari ini saya akan mengikuti even akbar Bunuh Diri Massal 2012 dan sebelum saya berangkat, saya memutuskan untuk menuliskan beberapa kalimat. Berharap setelah ini ada yang mau meluangkan waktu untuk membacanya.
Nama saya Jojo dan Saya punya sebuah obsesi. Saya terobsesi kepada bunuh diri. Bukan, bukan kematian, banyak orang membicarakan kehidupan setelah kematian, memakai pakaian hitam dan sebagainya dan seterusnya, saya bukan salah satu dari mereka. Obsesi yang menurut orang sangatlah aneh. Biarlah saya dibilang aneh, toh saya memang tidak pernah ingin menjadi orang normal, toh mereka yang bilang itu aneh bukan Ian Curtis, bukan Kurt Cobain, bukan Nick Drake, bukan orang yang pernah merasakan bunuhdiri.

            Umur saya 27 tahun. Sudah cukup umur berarti. Dengan ini saya telah memenuhi persyaratan untuk masuk klub Forever Young, dengan ini saya punya kesempatan ngejam bareng Jimi Hendrix di neraka, bercinta dengan Janis Joplin, dan yang terpenting mabuk bersama The Almighty Kurt Cobain! Saya berhenti memandang ke arah sebuah kotak besar, di kotak ini nantinya orang akan menyadari betapa hebatnya saya, saya pun menjadi legenda di alam pikiran manusia itu, manusia yang kelewat menghargai hidup, manusia yang sok ngerti arti hidup. Supaya lebih jelas, kotak itu berisi kumpulan karya yang saya kerjakan sejak menyadari bahwa saya punya talenta, tetapi saya terlalu malas dan unconventional untuk mengikuti prosedur standar menjadi orang yang terkenal, saya bukan hanya ingin dikenal karena karya-karya saya, saya tidak mau dilupakan begitu saja ketika tua, saya ingin dikenang! 

            Saya menemukan orang yang sepakat dengan saya, saya melihat iklannya di televisi, Bunuh Diri Massal! Fantastic Madness! Awesome! Ini Dia! Bergabung dengan sekumpulan pecundang memang bukan hal yang patut dibanggakan, tetapi berada dalam perhelatan akbar yang akan dicatat sebagai sejarah kemunduran umat manusia pasti akan hebat! Tidak ada orang yang akan menderita kerusakan mental permanent seperti halnya Holocaust, Pemboman Nagasaki! Keren banget deh kamu yang punya ide! Ternyata, di dunia yang kelewat gila ini ada juga yang senormal saya, bunuh diri itu sesuatu yang indah, mati itu bukan sesuatu untuk ditakuti, mati itu seharusnya dinikmati! Karena buat apa capek-capek hidup, padahal nantinya toh akan mati juga, jadi biarlah saya meringankan pekerjaan malaikat pencabut nyawa, supaya dia bisa bersantai dan berleha-leha sedikit, biar saya saja yang mengakhiri ini.

            Tak lama, Saya pun mengajukan diri untuk mendaftar ke panitia. Saya pun diberikan lembaran kosong berupa aplikasi untuk mengisi beberapa informasi yang diperlukan sebelum dan sesudah kematian. Gampang lah. Ada berbagai kolom yang harus diisi, ada tentang permintaan terakhir, tentang bagaimana saya seharusnya dikubur, pesan dan kesan selama hidup, kata-kata mutiara, terlihat yang paling penting adalah kolom yang menyatakan alasan apa yang membuat saya ingin terlibat di kegiatan ini.

            Itu tulis saya. Walaupun Gue bukan sesuatu yang biasa saya pakai dalam kehidupan saya sehari-hari karena terkesan egois, saya menuliskannya juga. Bukankah itu terlihat cocok dengan inti acara ini? Keegoisan.

            Hari-hari menjelang tanggal yang ditentukan, acara itu menghadapi kesimpang siuran dan berbagai permasalahan, sampai akhirnya tersiar kabar bahwa pendaftar akan diseleksi. Ah, bahkan dalam hal bunuh diri pun ada ketimpangan hak. Untungnya, saya diberi tahu bahwa saya terpilih untuk mengikuti pesta ini. Memang ini bukan pesta barbeque yang bakalan dihiasi keceriaan, tapi setidaknya ini bisa disamakan dengan Pesta Topeng, setidaknya After Party Pesta Topeng. Saya capek terus-terusan memakai topeng, harus terus tersenyum dan nurut apa maunya semua orang. Sekarang saatnya melepas topeng ini, dan benar-benar tersenyum.

            Akhirnya datang juga hari itu, dalam perjalanan saya menyempatkan diri menyiapkan beberapa hal, surat yang anda baca ini, mp3 player, dan sebuah obat. Obat ini saya butuhkan, untuk memastikan saya mati, soalnya saya ragu dengan sarana yang mereka sediakan, ternyata memang tidak ada yang bisa membuat saya puas, apalagi kalau berhubungan di sistem.

            Di ruangan ini, saya tersenyum kagum, hei para malaikat sambut aku dengan gegap gempita nanti ya. Saya berpapasan dengan ketua panitia penyelenggara acara ini di luar tempat eksekusi, saya mengenalinya dari beberapa acara di TV, dan saya pun memutuskan menambahkan percakapan saya dengannya di surat ini.

“Bung, terima kasih udah bikin acara ini”

“Oh, saya yang seharusnya berterima kasih karena sudah mau berpartisipasi”

“Kenapa ingin bunuh diri?”

“Cinta jawabannya, dan saya kesepian ketika mendapati tidak ada orang yang ikut disini mati karena alasan cinta, semakin lama makin banyak orang tak romantis”

“Oh tenang saja, anda punya saya, saya ingin mati karena cinta”

“Karena cinta?”

“Iya”

“Anda mencintai seseorang?”

“Saya mencintai diri sendiri, cinta kan gak harus kepada orang lain”

 Dan dia terdiam, memegang bahu saja sejenak, tiba-tiba berkata “nanti kalau kita berpapasan ketika penghitungan dosa dan pahala, jangan segan untuk menyapa saya ya” lalu tersenyum, matanya menatap lurus ke depan sambil berjalan ke ruang eksekusi itu.

 Saya mengikutinya dari belakang, sambil berkata dalam hati “semoga kita ditempatkan di sel neraka yang sama.”



Beri tanggapan klik 
DISINI ya, jangan pelit - pelit
kembali ke PESAN PENULIS

Saturday, January 14, 2012

BUNUH DIRI MASSAL 2012 ( part.6 TAMAT )


Polda Metro Jaya. Pukul 11.52 wib; 22 Oktober 2012, saat adzan dzuhur tengah bersahutan di langit Jakarta. Laki-laki itu duduk dibalik meja kerjanya. Berbalut kemeja putih dan dasi merah. Wajahnya tampak tegang. Di seberang meja jatinya yang penuh dengan berkas berserak, duduk seorang lelaki kurus. Semestinya, hal ini biasa saja, menginterogasi seorang tersangka, tapi sang perwira Polisi sesungguhnya tak yakin, apakah sosok yang duduk terdiam dihadapannya, pantas disebut tersangka.
Sang perwira Polisi menarik napas panjang, berusaha menyamankan dirinya, menaruh kedua tangan diatas keyboard, bersiap memulai dengan pertanyaan pertama, sesuai prosedur yang sudah diajarkan di bangku Akademi Kepolisian;
“Nama saudara?”
“Saya?”
“Ya, saudara?”
“Jojo…”
Dan tiba-tiba, entah karena apa, sang Perwira Polisi memutuskan untuk melupakan semua prosedur yang diajarkan padanya di Akademi Kepolisian, dan segala perintah atasan; keyboard dia dorong menjauh dari kedua tangannya; wajahnya lalu mendekat kearah Jojo.
“Begini saja, anak muda.” Kata sang Perwira. Jojo menatap sang Perwira, mendengarkan. “Ceritakan pada saya, apa yang terjadi di dalam Gedung DPR/MPR itu, pada hari ini, 22 September 2012, beberapa saat yang lalu.”
Tak ada jawaban. Tapi kemudian Jojo angkat suara;
“Saya tak pandai bercerita, tapi bolehkah saya meminjam komputer bapak?”
“Untuk apa?”
“Saya akan menuliskan kisahnya…”
*

Sejak kecil, aku selalu menginginkan ini, Jojo. Menjadi pelukis.
Kira-kira begitulah ucapan Evelyn, kalian tak mengenalnya tentu saja.
Evelyn adalah sosok cewek yang saya harap menjadi kekasih saya, ketika saya menghadiri pembukaan pameran lukisan solo pertamanya. Ia tampak begitu bahagia. Terlebih karena berada di antara lukisan-lukisannya, bukan karena berada di antara orang-orang yang ia sayangi. Saya hanya tersenyum melihat mimik gembiranya. Saya rasa seulas pun cukup untuk membuat ia tahu bahwa saya bahagia untuknya.
Itu Evelyn, sekarang saya.
Sejak kecil, saya sudah memimpikan satu hal yang tidak pernah berubah. Cita-cita saya hanya satu seumur hidup ini, menjadi pahlawan. Tidak, tidak menjadi dokter yang katanya “menolong orang” melalui dunia medis. Tidak juga menjadi pahlawan dengan mendaftar akademi militer ataupun kepolisian. Saya ingin menjadi pahlawan full-time. Seperti Jenderal Sudirman dan Mohammad Yamin. Pahlawan yang benar-benar konkrit, tidak secara kiasan ataupun ungkapan. Tidak dengan menjadi guru. Pokoknya pahlawan. Bukan, bukan superhero. Tapi pahlawan.
Hari ini adalah Hari H. 22 Oktober 2012. Jam sembilan lebih empatpuluh tiga menit Waktu Indonesia Barat. Gedung MPR/DPR RI. Atau kalau menggunakan Bahasa Pak Ketua, “Gedung Parlemen”. Ah, Pak, ini bukan Amerika. Sistem kita bukan Parlementer.
Saya mendapat tempat duduk tepat di sebelah orang yang paling penting dan mulia di acara ini. Ketua Panitia Bunuh Diri Massal 2012. Ya, saya berada di sebelahnya. Mendadak saya merasa bahwa Tuhan membukakan jalan yang seluas-luasnya agar saya bisa menjadi pahlawan. Meskipun terlambat.
Ruangan ini, entah mengapa, terasa begitu dingin. Lantai marmer yang kami injak-injak sejak tadi juga sepertinya sama. Sangat dingin. Saya jadi berpikir, mengapa neraka selalu diidentikan dengan panas? Padahal sesuatu yang kelewat dingin pun sama menakutkan dan sama menyiksanya. Bayangkan darahmu membeku secara konyol. Bayangkan jika kau tidak bisa bicara karena rahangmu bergetar, dan tidak bisa bergerak lagi. Beku.
Di sini, semuanya sudah disiapkan dengan rapi. Susi , sekretaris Bunuh Diri Massal 2012 yang mendadak terkenal, berjalan wara-wiri ke sekeliling ruangan. Mengecek segala sesuatunya agar dapat berjalan dengan lancar. Sementara itu, Si Anak Magang yang tidak pernah diketahui siapa namanya (ia tidak pernah diekspos karena selalu dianggap “masih di bawah umur” untuk terlibat suatu peristiwa radikal seperti ini), menolong Susi dengan berkeliling memeriksa apakah sabuk kursi listrik yang diduduki masing-masing peserta sudah terpasang dengan benar.
Mati dengan kursi listrik… Betapa… kampungannya. Seperti ikut-ikutan di film The Green Mile saja. Apakah sebaiknya saya memilih menjadi Tom Hanks? Menonton orang-orang mati di atas kursi listrik dengan konyolnya. Saya akan terbahak-bahak dengan puas! Sudah saya katakan, bukan? Bahwa saya akan mati dengan cara saya sendiri. Dengan sebuah cara yang glamor, menyenangkan, indah, menggairahkan. Bukan dengan konyol dan kampungan seperti 999 orang lainnya. Kursi listrik? BAH!
“Saya tidak sabar ingin bunuh diri. Menurutmu, Jo, akankah kita bertemu Tuhan dalam hitungan menit setelah jam sepuluh?” tanyanya. Saya menengok, Pak Ketua tersenyum ramah. Saya sampai bingung. Mengapa ia bisa-bisanya menjadi ketua acara seperti ini, padahal, dari garis mukanya, tidak ada ekspresi depresi sedikitpun? Padahal…
Semua orang yang ada di sekeliling, punya mimik dan air muka yang… jauh lebih konyol dibanding fakta bahwa mereka semua akan mati konyol di atas kursi listrik yang dikendalikan oleh orang yang dikenal sebagai Pak Ketua. Mimik mereka: takut, depresi, bingung, mengambang, datar, urung, sedih, terluka… Hal-hal menyedihkan. Betapa menyedihkannya orang-orang ini. Ini adalah impian mereka, dan saya. Bunuh Diri Massal 2012 akan dilangsungkan pada hari ini, beberapa menit lagi. Ini adalah sesuatu yang sudah mereka impi-impikan. Sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama berhari-hari. Tidak ada satupun dari mereka yang raut wajahnya bahagia selain Pak Ketua yang ada di sebelah saya ini. Sepertinya Pak Ketua, seperti rumor yang ada di televisi, benar-benar seorang psikopat. Psikopat yang tertawa terbahak-bahak sebelum membunuh seribu orang dengan kursi listrik.
 “Sudah tau bagaimana kamu akan mati, Jojo?” tanyanya lagi.
“Ya,” jawab saya, singkat. Saya mengeluarkan sebuah senjata api dan meletakkannya di atas meja, untuk memberi distraksi terhadap rekaan-rekaan yang ada di kepalanya. Rekaan-rekaan orang sok tahu seperti dia.
“Hmmm. Tetap tidak mau bunuh diri dengan cara yang sama seperti ratusan peserta lainnya?” tanya Pak Ketua kemudian. Saya hanya menggeleng lemah, sambil memperhatikan ke mana ia akan membawa pembicaraan ini. Mana mau saya mati konyol seperti kamu, hah? Saya jadi berpikir. Pak Ketua menekan tombol itu, mengaktifkan kursi listrik 999 peserta lainnya. Berarti, ini bukan Bunuh Diri Massal. Ini justru seperti holocaust atau semacamnya, di mana seseorang membunuh 999 orang secara bersamaan. Mungkin caranya saja yang lebih keren dibanding jaman Hitler. Lebih high tech! Tapi, tetap saja, konyol!
“Yang saya masih tidak habis pikir... Tidak ada satupun orang yang ingin bunuh diri karena cinta. Awalnya saya kira, jatuh cinta adalah alasan paling umum bagi seseorang untuk merasa tidak kuat hidup lagi. Ternyata saya salah. Dari tigapuluh ribu pendaftar, tidak ada satupun yang ingin mati karena cinta. Apakah cinta telah membuat manusia menjadi kuat?”
Saya menghela nafas panjang. Sepertinya saya berada di tempat yang salah. Orang-orang yang ikut bunuh diri massal ini, apalagi ketuanya, sudah tentu merupakan orang-orang paling melodramatik sedunia. Saya tidak menyukai gaya bicara seperti ini. Mengapa demi hidup, orang-orang ini merasa harus mati? Dengan mati, saya rasa kita justru melengkapi hidup, bukannya mengakhirinya. Mengapa mati diidentikan dengan kesedihan? Dengan mati, kita bisa bertemu Tuhan. Dengan mati pula, kita bisa mengakhiri fase memilih dalam hidup yang tiada habisnya, karena hidup adalah tentang memilih sesuatu yang paling jujur dan benar dari segala macam pilihan yang disediakan. Life is a multiple choice!, seperti kata Joker.
“Tentu tidak, Pak Ketua. Saya rasa, mereka yang ingin mati karena cinta tidak perlu mendaftar di acara ini. Jatuh cinta adalah suatu perbuatan dengan resiko yang sangat banyak. Jika seseorang memilih untuk jatuh cinta, berarti ia pun telah memilih cara matinya. Meninggal perlahan-lahan seiring dengan berjalannya waktu. Jatuh cinta itu bunuh diri,” jawab saya. Mungkin orang-orang yang jatuh cinta akan memilih untuk bunuh diri di depan orang yang mereka sayangi, bukannya di hadapan Garuda Pancasila yang digantung di dinding Gedung MPR/DPR ini. Ya, biar melodramatik saja… “Bakal ngaret nggak nih, Pak Ketua?” tambah saya.
Kau tahu, di Indonesia, terlambat adalah budaya. Tapi, masak sih sampai ketika ingin bunuh diri pun manusia tetap ingin terlambat? Kalau saya bakal bunuh diri, saya maunya tepat waktu!
Pak Ketua menggeleng. “Tentu tidak. Saya memegang kontrol penuh atas acara ini. Ketika saya menekan tombol merah ini, semuanya akan berakhir dalam sesaat. Habis. Hancur. Kita semua mati bersama-sama di atas kursi listrik ini. Bisa mengikutinya kan?” katanya. Mungkin ia berkata seperti itu karena menurutnya saya mungkin memiliki cara-cara yang sudah saya tetapkan untuk mati. Menembak kepala saya, misalnya.
Saya sudah menetapkannya sejak lama. Bagaimana, di mana dan kapan saya akan mati.
Sayangnya, orang-orang di sekitar saya ini memilih untuk menjadi bagian common dari masyarakat. Bahkan, ketika menentukan cara mereka mati, menentukan waktu, menentukan tempat. Bunuh diri yang dirancang sedemikian rupa seperti sunatan massal. Apa bedanya? Professor yang sejak tadi mondar-mandir mengecek segala macam hal yang berhubungan dengan kursi listrik adalah dokter yang siap dengan alat-alat untuk khitanan. Susi adalah salah satu ibu PKK yang merupakan panitia inti dari peristiwa akbar ini. Si Anak Magang menjadi ‘anak bawang’ yang dimintai tolong mengambilkan perlengkapan khitanan. Sampai mengundang catering segala untuk bunuh diri saja! Sementara itu, 999 orang di sini, adalah orang-orang yang belum disunat.
Saya jadi menyimpulkan sendiri. Mungkin saja, Bunuh Diri Massal ini khusus laki-laki karena mengadopsi penuh tata cara pelaksanaan sunatan massal!
Ada beberapa orang yang tidak saya kenal, menyiapkan alat-alat untuk memainkan musik di hadapan seribu peserta Bunuh Diri Massal 2012. Ah ya, mungkin mereka yang akan memainkan anthem acara ini, yang berjudul “The Big Bang Prophecy”.We’ll build the world that Lennon imagined. Bah, tahu apa orang-orang ini tentang John Lennon? Mereka sok tahu. Seperti 999 orang ini yang sok ingin berpartisipasi dalam perhelatan akbar Bunuh Diri Massal 2012 padahal sebenarnya takut mati.Looooseerrs. Jangan-jangan mereka benar-benar belum disunat!
Lagu itu mengalun dengan menyakitkan. Suara sang vokalis yang seperti suara orang yang menghirup lem Aica Aibon berlebihan itu menyayat-nyayat hati orang-orang menyedihkan di sekitar saya. Menemani degup jantung mereka yang tidak karu-karuan. Menemani raut wajah mereka yang setengah mati kampungan dan murahan. Membuat saya inginnya tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Bodohnya kalian, kumpulan orang-orang bodoh…”
The world that full with Gibran’s limb. Oh, tahu apa kalian tentang Gibran?
Waktu terus bergulir sampai tiba saatnya di mana jam sepuluh adalah tinggal satu menit lagi. Seribu peserta telah berkumpul di dalam ruangan ini. Seribu orang. Keheningan luar biasa. Kombinasi hal yang jarang kita temui di Jakarta.Saya suka ini. Seribu orang yang biasanya beradu bacot luar biasa dan sekencang-kencangnya, mendadak diam. Seperti orang-orang di MPR/DPR yang seharusnya berdiskusi tapi malah tidur di Gedung ini. Betapa menyedihkannya.
Sementara saya, sudah siap dengan pistol ini. Siap menarik pelatuknya. Duduk di sebelah Sang Penentu. Jika tiba-tiba ia ingin hidup, acara ini pasti batal. Semua yang telah dilakukan akan sia-sia juga. Jika tiba-tiba ia ingin hidup, 999 orang ini tidak jadi mati konyol! Habislah mimpi-mimpi saya. Saya berharap bisa melihat mereka semua mati dengan konyol sebelum saya sendiri mati bunuh diri dengan pistol ini.
Dan sampai saat ini, saya masih belum menemukan jawabannya. Demi hidup, kenapa harus mati? Kenapa? Mati adalah sesuatu yang seharusnya menyempurnakan hidup.
Di atas meja, telah disiapkan selembar kertas dan sebuah pulpen untuk menulis suicide notes. Dari total kejadian bunuh diri, sekitar 20% pelaku meninggalkan pesan sebelum meninggal. Mungkin saja pihak panitia ingin meningkatkan persentase tersebut.
Omong-omong, hari ini saya berulangtahun yang ke 27. Bagi saya, 27 adalah angka yang sangat penting di dalam kehidupan. Orang-orang penting mati di umur 27. Kurt Cobain, Janis Joplin, Brian Jones, Jim Morisson sampai Jimi Hendrix.The 27 Club. Akankah saya menjadi salah satu dari orang-orang penting tersebut?
“Punya istri? Pacar?” tanya saya kepada Pak Ketua. Ia menengok dengan mimik bingung.
Menggeleng.
“Sudah bilang selamat tinggal pada orangtua Pak Ketua?” tanya saya lagi.
Ia menggeleng lagi.
“Mungkin hari ini saya sedang melamar seseorang, atau sekedar mengantar ibu saya berbelanja. Mereka harus lihat prestasi ini nantinya. I will be the biggest somebody on Earth. The first person who encourages people to commit suicide. Apakah saya ada bedanya dengan LSM yang bergerak di bidang lingkungan? Sepertinya tidak. Saya juga ingin menyelamatkan dunia, dan ini cara saya.”
Saya mengangguk. Pak Ketua mengakhiri ceramahnya;
“Dan kau tahu Jojo, semua ini hanya untuk sebuah kado.”
“Bah!” seru saya. Tiba-tiba wujud Pak Ketua berubah menjadi pungguk, sementara bulan tetap akan bersinar setiap hari walau pungguk sudah menjadi bangkai.
“Sebuah kado spesial berbentuk hati.”
“Ya ya ya..”
15 detik menuju bunuh diri massal yang telah ditunggu-tunggu. Suara penyanyi giting itu semakin menyayat hati. Degup orang-orang di sekeliling saya seolah-olah diperdengarkan melalui speakers. Seolah-olah saya benar-benar mendengarkan degup yang semakin cepat, seiring dengan raut wajah yang semakin takut, sedih, depresi, tidak terima, … ingin pulang.
Saya meraih pistol yang ada di hadapan saya. Memegangnya senyaman mungkin dan menyiapkan jari telunjuk untuk menarik pelatuknya. Tidak boleh ada yang salah dari hal ini. Saya sudah merencanakan semuanya. Saya sempat tersenyum sesaat mengingat tulisan yang ada di kaus yang saya kenakan. Let’s die and go to Heaven. Apakah saya akan masuk surga jika caranya seperti ini? Apakah orang-orang bodoh ini akan masuk surga?
Tunggu. Saya bahkan belum bilang bagaimana saya akan mati. Sebenarnya… Hanya saya yang boleh tahu.
5, 4, 3...
Satu detik lagi, tangan Pak Ketua akan menyentuh tombol tersebut dan menghabisi nyawa dirinya dan 999 orang lainnya – termasuk saya – secara bersamaan. Satu detik lagi, ia akan menjadi orang paling terkenal sedunia. Menjadi legenda. Menjadi kontroversi. Menjadi satu titik kebangkitan nasional, atau bahkan dunia. Menjadi orang yang mengubah segalanya meskipun proyek ini pada awalnya mendapat respon yang negatif dari masyarakat luas.
Saya menunduk. Menyadari bahwa hanya saya yang tidak memakai sabuk sialan itu. Saya tidak akan mati bersama-sama mereka. Saya akan mati belakangan.
Namun, tetap saja. Ia, tentu, kalah cepat dari saya.
“Satu detik lagi. Selamat ulang tahun… Selamat meninggal... Welcome to the new half of life!” kata Pak Ketua dengan lantang.
Saya menarik pelatuk pistol. Terdengar ledakan senjata yang bunyinya cukup keras. Bunyi yang muncul dari senjata api ini. Cipratan darah. Jeritan kampungan. Hening. Jeritan. Hening lagi. Saya tidak mati. Tentu saja. Pak Ketua tadi keseleo lidah, seharusnya ia mengatakan “selamat tinggal”.
Karena, saya telah memilih. Inilah cara mati yang paling sempurna di mata saya.
Peluru dari senjata saya kini sudah bersarang di kepalanya. Kepala Pak Ketua. Seketika, tubuhnya terkulai, jerat sabuk pengaman menopang tubuhnya agar tak jatuh ke lantai marmer yang dingin.
Saya puas.
22 Oktober 2012. Jam 10 WIB. Gedung MPR/DPR. Hanya ada satu orang yang mati, dan itupun bukan mati bunuh diri. Ada 999 orang yang gagal ikut bunuh diri massal. 999 orang gagal menjadi Tuhan bagi diri mereka sendiri. Hanya saya yang berhasil. Berbekal sebuah senjata api dan sebuah peluru, saya yang menentukan semuanya dalam satu detik. Bukan Pak Ketua yang tadi telah dengan sombongnya berkata, “Saya memegang kontrol penuh atas acara ini…” Ia salah. SAYA yang memegang kontrol penuh atas acara ini!
Saya yang membatalkan semuanya. Tanpa perlu banyak berkata, tanpa pakai banyak rencana. Hanya membawa pistol itu saja. Duduk di sebelah Ketua Panitia. Dan lalu, membunuhnya.
Ini pelajaran untuk egonya. Untuk keinginannya menentang Tuhan. Untuk keberaniannya mematahkan paradigma masyarakat akan hidup yang berkembang belakangan ini. Untuk cita-citanya mensukseskan Bunuh Diri Massal 2012. Untuk perjuangannya. Untuk ajakannya yang berhasil membuat 30000 orang semakin mantap untuk mati bunuh diri. Untuk persuasinya yang membuat 30000 orang membohongi diri mereka sendiri, yang sebenarnya masih ingin hidup tetapi merasa perlu sok-sokan ingin mati, supaya terlihat keren, pemberani, berwibawa, apalah.
Ini hadiah buat saya. Pencapaian.
I was nobody until i killed the biggest somebody-to-be on Earth.
Tadinya, Pak Ketua akan menjadi lebih hebat dari John Lennon yang mencoba menyebarkan perdamaian melalui lagu “Imagine”. Tadinya, Pak Ketua akan menjadi legenda.
Saya tidak terima jika seseorang menjadi legenda lewat cara seperti ini.
Saya bisa mematahkannya. Dalam hitungan detik, saya akan menjadi lebih terkenal dibanding Mark David Chapman. Saya akan menjadi lebih diperhitungkan, lebih diperhatikan dibanding Ketua Bunuh Diri Massal 2012. Saya akan dibicarakan banyak orang. Saya akan menjadi sesuatu yang hebat. Dan ketika saya telah menjadi orang tersebut, saya hanya perlu bunuh diri. Dengan begitu, saya menjadi legenda.
Satu lagi, yang paling penting, saya telah mencegah 999 orang bunuh diri, sekaligus membuang mimpi-mimpi mereka. Saya telah menghentikan suatu hal yang dipandang orang sebagai radikalisme, dipandang orang sebagai gerakan negatif. Saya melawannya.
Semua orang terkesima. Raut wajah mereka berubah. Tatapan mereka memandang seolah-olah tidak percaya. Ada yang tersenyum, ada yang menghela nafas panjang. Lega. Ada yang terkejut. Ada yang tidak percaya. Ada yang mengusap tangan mereka ke wajah, tanda sejak tadi mereka sudah berdoa agar tidak mati konyol seperti ini.
Ternyata nurani masih ada. Ternyata harapan juga masih ada. Ternyata, orang-orang yang tadinya ingin mati konyol seperti Pak Ketua, sebenarnya masih berdoa supaya mereka tidak jadi mati hari ini. Kini, semua orang tahu, bahwa hanya Pak Ketua-lah yang ingin mati konyol…

Waktu itu, saya dikenalkan dengan Susi oleh teman saya. Kami mengobrol, dan Susi – yang sangat inosen itu – mabuk. Ia mengigau. Meracau. Menceritakan bahwa Pak Ketua minta hatinya diambil dan diantar oleh Susi ke alamat ini. Konyol! Saya tertawa terbahak-bahak ketika saya mendengar cerita itu. Ia ingin berkorban untuk seseorang, ingin menunjukkan sisi melodramatiknya kepada nya… dengan mengajak 999 orang lain bunuh diri. Hanya supaya ia tidak kelihatan mencolok di mata wanita pujaannya. Hanya supaya kelihatan kerenUnderclass!
Betapa pengecutnya laki-laki yang barusan mati di tangan saya ini. Bunuh diri saja harus ditemani banyak orang. Bunuh diri saja harus bikin pengumuman. Memberi hati saja harus minta tolong sekretaris. Bunuh diri saja harus minta tolong professor untuk membuatkan kursi listrik.
Lain kali, jika mau bunuh diri lagi, bilang pada saya. Saya akan dengan senang hati membunuh Anda sekali lagi, Pak Ketua. Berterimakasihlah kepada saya, karena telah menyarangkan peluru ini di kepala Anda. Agar Susi bisa tetap mengantarkan hati itu .. Kalau perlu, saya nanti mengantarkan Susi sampai ke depan pintu rumah itu.
Kau ingin tahu bagaimana saya ingin mati? Saya mau mati sebagai pahlawan.
Mulai hari ini, hal itu telah saya capai. Dengan membunuh Ketua Bunuh Diri Massal 2012, saya telah menjadi pahlawan. Pahlawan bagi dunia. Pahlawan bagi 999 orang ini. Sekaligus pahlawan bagi Sang Ketua. Saya membuatnya tidak terlihat terlalu konyol dan kampungan.

 Ayo,
bilang, Pak.

Bilang apa?

Terima kasih Jojo…
TAMAT.


Beri tanggapan klik DISINI ya, jangan pelit - pelit
 kembali ke PESAN PENULIS

Friday, January 13, 2012

BUNUH DIRI MASSAL 2012 ( part.5 Kenapa Harus 22 Oktober ?? )


22 Oktober 2012.
Saya memilih tanggal itu. Sebagai hari pelaksanaan kegiatan Bunuh Diri Massal 2012. 
Kenapa?
Sederhana, itu hari ulang tahun saya. Seorang anak laki laki yang selalu gagal membuat orang tuanya bangga. Dan, saya ingin mengakhiri hidup saya di hari peringatan kelahiran saya.dan tanggal ini merupakan hari jadi sat dengan seseorang yang tak pernah saya lupakan.
Kamu tahu kenapa saya menggagas acara ini? Acara bunuh diri massal ini? Karena saya ingin tahu, ketakutan terbesar apa yang membuat seorang manusia tak lagi takut pada mati. Dan jawabannya? Dari hasil seleksi dan meloloskan 999 peserta yang akan lengkap menjadi seribu orang ditambah saya, tak ada satu pun yang berprinsip ‘lebih baik mati jika tak bisa membanggakan orang tua’.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. The show must go-on.
Walau akhirnya akan mati bersama 999 orang dalam Gedung Parlemen yang megah itu, toh saya tetap merasa sendiri, tetap merasa kesepian.
“Bapak mau teh? Badan bapak bergetar.”
Saya menoleh, itu suara sekretaris saya, Susi. “Bapak mau saya temani?”
Saya menggeleng.
“Saya sedang menulis catatan terakhir saya sebagai Ketua Panitia Susi, kamu boleh pulang.” Kata saya kemudian.
“Saya akan tetap disini pak, ini hari-hari terakhir sebelum tanggal 22, saya ingin punya banyak waktu lebih bersama bapak.”
Saya tersenyum ke arah Susi.
Sekarang, segala sesuatunya tak lagi bisa dihentikan.
Segala tetek bengek ijin dari kepolisian hingga pengurus kelurahan sudah dikantongi panitia. Setiap hari, stasiun-stasiun televisi menayangkan satu demi satu profil peserta. Mulai dari latar belakang mereka, hingga niatan bunuh dirinya. Rating setiap acara yang menayangkan liputan Bunuh Diri Massal selalu saja mendapat peringkat tertinggi. Hingga suatu hari, sebuah telepon dari petinggi stasiun televisi meminta saya untuk memundurkan acara kegiatan, agar masih tersedia waktu untuk mereka meraup untung sebanyaknya dari iklan.
Tentu saja saya menolak mentah-mentah!
Saya sudah terlanjur kecewa tak menemukan cinta dan kasih sayang sebagai alasan bunuh diri. Fakta itu saja sebenarnya sudah bisa membuat saya memutuskan untuk menghentikan acara, dan membubarkan kepanitiaan yang saya ketuai. Tapi semua tak semudah itu. Saya tetap ingin mati, demi cinta dalam hati. Dan karena saya takut mati sendiri, maka saya membutuhkan 999 orang menemani saya menghadapi kematian!
Susi masuk membawakan secangkir teh hangat untuk saya. Saya menyeruput teh hangat buatan sekretaris saya, lalu memandangi wajahnya untuk menambah rasa manis teh.
“Apa rencanamu setelah tak lagi bekerja disini, Susi?” Tanya saya. Gadis itu menggeleng.
“Saya belum tahu pak.” Jawab Susi datar, “Mungkin saya akan pulang ke kampung dan bercocok tanam!”
“Bercocok tanam?!”
“Hahaha, itu becanda pak.”
“Oh, sialan kamu!”
Sejenak, terjadi jeda yang canggung.
“Kamu cantik Susi, kenapa kamu nggak menikah saja?” Tanya saya kemudian.
“Bapak, kenapa bapak tidak membatalkan acara ini saja?!” tiba-tiba suara Susi meninggi, setengah histeris. Pertanyaan basa-basi, dijawab dengan pertanyaan serius. Mati terkejut saya. Setetes airmata, keluar dari sudut mata kiri Susi. Saya terdiam dan memandangi sekretaris saya yang aselinya, sesuai KTP hanya memiliki deret empat huruf dalam namanya; SUSI.
“Kenapa kamu berkata begitu?” Tanya saya. Susi menunduk, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menangis sesenggukan.
“Saya nggak tahu pak,” jawab Susi dengan terus menunduk. “Mungkin, saya tiba-tiba merasa takut kehilangan bapak.”
“Kenapa kamu tiba-tiba merasa takut kehilangan saya?”
“Karena…” suara Susi tertahan. “Karena bapak baik sama saya.”
“Hahaha…”
“Karena, dari seribu orang yang akan mati besok, hanya bapak yang menjalaninya karena cinta.” Lanjut Susi.
*

Cinta?
Susi, cinta itu absurd.
“Kamu tahu siapa yang saya cintai Susi?”
Susi menatap saya.
“Saya mencintai diri saya sendiri, Susi.” Kata saya kemudian, membuat Susi berhenti menangis sesenggukan.
“Setelah 22 oktober, saya akan dikenal sebagai martir.” Kata saya dengan tegas dan berwibawa. “Sebagai penggagas.” Lanjut saya mantap. “Dan orang-orang akan mengingatnya.”
Susi memandang saya dengan sorot mata berbinar.
“Saya berharap, kamu mau melakukan satu lagi pekerjaan sebagai sekretaris saya, walau pun saya sudah mati Susi. Sebelum kamu kembali ke kampung dan bercocok tanam tentunya, hahaha.”
“Saya akan melakukannya, Pak.” Jawab Susi tegas sekali. Saya memandangi sekretaris saya itu. Mata Susi tampak bersemangat menunggu kata-kata saya selanjutnya.
“Saya mau…” kata saya, “Ketika saya telah mati nanti, kamu meminta dokter untuk mengambil hati saya…”
“Lalu…”
“Sebentar,” kata saya seraya mengangkat tangan. “Kamu bawa hati saya dan bungkus lah sebagai kado. Taruh di dalam kotak yang mahal, beralas kain sutera, dan ikat dengan pita.”
“Kado?”
“Hati saya menjadi sebuah kado hari jadi.”
Susi terperangah.
“Kamu mengerti Susi?”
“I.. iya pak, saya paham.”
“Antarkan pada hari itu juga ya,  22 oktober itu hari ulang tahun saya plus hari jadian saya dengan Dia seseorang yang pernah bersama saya memandang kembang api.” Kata saya kemudian.
“siapa pak? Bidadari Bapak itu ya?”
Saya tersenyum. “Susi yang baik, kamu kan sekretaris ku, kamu tidak saja cantik, tapi juga pinter…”
“Oh, maksudnya, kado itu buat saya?”
“Bukaaaaaannnn!!!” potong saya cepat.
“Ah, bukan saya, sudah GR aja saya pak. Lagian 22 oktober bukan hari jadian saya juga pak.”
“Bukan, bukan untuk kamu Susi.” Kata saya buru-buru, “Kamu cukup menjadi sekretaris saya, membuat saya sukses mati bersama 999 orang lainnya dan mengantarkan hati saya nantinya.”
“Iya, tapi diantar kemana pak?”
“antarkan ke alamat ini, dan bicara padanya bahwa sampai saya mati.. hati saya masih tetap miliknya”
Susi mendengarkan.
 “Baiklah pak.” Kata Susi. “Saya akan pamit pulang sekarang.” Lanjutnya seraya bangkit dari kursi dan hendak melangkah keluar ruangan saya.
“Oiya, satu hal lagi.”
Langkah Susi terhenti.
“Pastikan di sebelah saya, duduk seorang peserta yang bernama Jojo itu. Saya membutuhkan enerjinya untuk menambah keberanian saya menghadapi maut.”
Susi pun mengangguk.
*
Susi telah menghilang dibalik pintu.
Sekarang tinggal saya sendirian.
Siapa saya?
Saya Ketua Panitia Bunuh Diri Massal 2012. Saya dihujat dan saya dipuji. Tapi saya tak peduli. Semua demi sebuah kado yang tak ada duanya di dunia ini. Setelah catatan terakhir saya ini, saya akan berada dalam Gedung Parlemen, memandang patung kayu Garuda Pancasila yang kaku, dan menekan tombol sengatan listrik tepat pukul 10 pagi.
Setelah saya menulis ini, saya tak akan bisa lagi menceritakan apa yang terjadi. Semoga seseorang menuliskan peristiwa bersejarah itu kepada kalian semua.
22 Oktober.
Saya akan mati ditemani 999 orang peserta Bunuh Diri Massal.
Dan hati saya akan diantarkan oleh Susi, sebagai kado untuknya.
22 Oktober.
Hatiku selamanya, untuk sang cinta sejatiku.
Kubiarkan kumengikuti, suara dalam hati. Aku mencintainya namun inilah jalanku

bersambung ke part 6. KLIK DISINI
Beri tanggapan klik DISINI ya, jangan pelit - pelit

kembali ke PESAN PENULIS

Klarifikasi Cerpen BUNUH DIRI MASSAL ( Pesan Penulis )


            Sejak saya mengupload cerpen bersambung Bunuh Diri Massal 2012, banyak imail yang masuk dan menanyakan kebenaran acara itu. Bahkan yang mengejutkan untuk saya adalah beberapa imail yang isinya kesediaan untuk mengikuti acara tersebut dengan berbagai alasan mereka masing – masing. Sangat mengejutkan untuk saya. Untuk itu saya garis bawahi disini bahwa cerpen tersebut hanyalah fiktif belaka dan tak ada acara BUNUH DIRI MASSAL 2012.
            Ide penulisan cerpen ini sendiri sebenarnya adalah berasal dari ingatan saya terhadap salah satu buku yang saya baca dulu ketika saya baru masuk kuliah dan semalam enta mengapa ketika saya sedang penat memikirkan tumpukan tugas, tiba – tiba saya kembali mengingat isi buku tersebut dan akhirnya saya putuskan untuk membuat cerpen ini sesuai dengan ingatan saya dan selebihnya saya tambah tambahkan sendiri dengan gaya bahasa saya.

            Maksut dan tujuan saya menulis cerpen ini sebenarnya bukan pada ajakan untuk bunuh dirinya melainkan kritikan terhadap kehidupan yg sering kita alami. Saya sarankan untuk membaca semua bagian bagian cerpen ini dengan lengkap agar dapat mengerti apa yang saya maksutkan. Jangan di telaah mentah mentah karna meskipun saya mengusung bahasa sastra yang ringan namun beberapa kalimat sengaja saya buat agak berat agar dapat menarik rasa simpatik dari pembaca dan menghilangkan kejenuhan pembaca saat tengah membacacerpen ini. Ini merupakan bagian bagian dari cerpen BUNUH DIRI MASAL 2012 ::


BUNUH DIRI MASSAL 2012 :
6.      Part 6 ( TAMAT )

selain cerpen diatas, dalam waktu dekat saya berencana mengupload cerpen cerpen DIBALIK BUNUH DIRI MASSAL 2012

DIBALIK BUNUH DIRI MASSAL 2012

yang saya beri tanda pagar berarti masih dalam proses pengerjaan.
Selamat membaca. Semoga ada hikmah yang dapat diambil dari cerpen ini dan jangan lupa beri komentar ya..

                    sayalah sang ketua
            Pratama Galang Tata Aditama 

BUNUH DIRI MASSAL 2012 ( part.4 Bagaimana Akan Dilaksanakan )


lanjutan dari Bunuh Diri Massal part 3
Sebelumnya, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua yang membaca tulisan ini. Saya telah membunuh mimpi. Bagi saya, membunuh mimpi seseorang adalah salah satu dosa paling besar, dan harus masuk neraka paling dasar. Saya membuat puluhan ribu orang memupus mimpi mereka. Bagaimana tidak? Kapasitas Gedung MPR/DPR hanya sekian ratus, sekian ribu… Sementara itu, ada hampir tigapuluh ribu orang yang ingin ikut bunuh diri secara massal bersama saya. Seperti sudah saya katakan sebelumnya. Semua yang mendaftar akan diseleksi.
Ada beberapa alasan bunuh diri yang menjadi favorit saya. Kalaupun tidak jadi favorit, ada beberapa yang mencuri perhatian.
RAMANDA
Saya ingin, sekali saja, duduk di kursi MPR/DPR. Saya sudah mengerahkan segala kemampuan dan uang, sampai-sampai orang menganggap saya gila setelah mengeluarkan 8 miliar dan gagal jadi anggota DPR. Sekarang saya sudah rela mati, asalkan sempat duduk di sana. Terima kasih karena telah memindahkan tempat dari Monas ke MPR/DPR.

SIDHASADYA
Tentu saja karena takdir. Apalah arti sebuah nama? Untuk saya, nama ini penting. Sidha berarti mati. Saya sedia mati.

Life is God’s game, humans are the pawns. Tapi gue bukan pion. Gue udah menentukan cara gue hidup. Menurut gue, gue jugalah yang seharusnya menentukan cara gue mati. Bukan supir truk yang mabuk, bukan pembunuh berantai, bukan sel kanker.
Ketika membaca formulir pendaftaran yang terakhir, saya segera mengidolakan si pendaftar yang bernama Jojo itu. Ingin sekali saya mengangkat gagang telepon yang ada di depan saya dan menghubungi nomor ponsel Jojo yang tertera pada lembaran ini.
Awalnya, saya kira, mereka semua ingin berpartisipasi dalam bunuh diri massal ini karena sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup mereka. Ketika kita menyetir ke suatu tempat yang jauh dan kehilangan arah, kadang-kadang kita ingin berhenti dan mengambil arah putar balik. Kembali ke tempat semula, kembali ke awal, ketika kita tahu kita takkan pernah mencapai tujuan dan sudah terlalu lelah akan sebuah rintangan. Ternyata, Jojo justru menilai sebaliknya. Ia ingin bunuh diri untuk melengkapi hidupnya. Tidak karena putus asa, tetapi hanya ingin menentukan sendiri cara ia mati, kapan ia mati, di mana ia mati. Bunuh diri untuk menyempurnakan hidupnya.
Saya jadi kembali berpikir. Sejak awal perencanaan acara bunuh diri massal sampai hari ini, belum ada satupun dari kami yang mencetuskan bagaimanabunuh diri massal akan dilaksanakan. Ada banyak cara untuk bunuh diri. Minum racun atau obat tidur sebanyak-banyaknya, menembak diri melalui mulut atau pelipis kepala seperti di film-film, lompat dari atas gedung tingkat 30 atau 25 saja juga bisa dilakukan. Cara terakhir cukup menarik. Ada begitu banyak gedung pencakar langit yang dibangun di Jakarta. Mengapa bangunan-bangunan itu dibangun dengan sekian banyak lantai? Bisa saja untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin bunuh diri, bukan? Jadi, kenapa tidak dimanfaatkan?
Sayangnya, lokasi juga sangat menentukan bagaimana kita akan melaksanakan hal ini. Gedung MPR/DPR sangat besar. Bisa saja kami meminta beberapa orang profesional, bahkan yang sudah ada di dalam penjara karena kasus bom Bali dan bom lainnya, untuk membuatkan bom berskala besar yang mampu membunuh satu atau dua ribu orang. Kalau tidak bisa, kami akan meminta mereka untuk membuat sepuluh bom, masing-masing mampu membunuh tiga ratus orang, itu juga sudah lumayan. Tapi, negara ini sudah miskin. Acara ini akan kehilangan esensinya apabila prosesi bunuh diri nantinya justru menyulitkan negara. Saya pribadi sebenarnya ingin meringankan beban presiden dengan mengajak ribuan orang untuk bunuh diri bersama-sama.
Mungkin program Keluarga Berencana tidak perlu lagi digalakkan. Hal itu selalu sulit, bukan, karena orang-orang Indonesia menganut faham “banyak anak, banyak rejeki”? Sebaiknya mereka menukar program KB dengan acara bunuh diri massal. Dana yang dibutuhkan tidak banyak. Hanya perlu menyediakan tempat, menyediakan kertas untuk formulir, dan sebuah line telepon untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk. Kami di sini bekerja secara sukarela, tentu saja. Toh, dalam hitungan hari, kami akan mati bersama-sama di dalam gedung beratap hijau tersebut.
Saya kembali melihat satu demi satu formulir pendaftaran yang sudah diisi, meski jumlahnya ada ribuan. Bagaimana acara ini akan dilaksanakan? Membakar Gedung MPR/DPR? Menyewa penembak jitu untuk menembak ribuan orang satu persatu? Menyediakan ribuan senjata api agar peserta bisa menembak bagian manapun dari tubuh mereka? Menyiapkan berliter-liter racun arsenik agar kami semua dapat meninggal semulia Munir? Atau menyemprotkan gas beracun ke dalam Gedung MPR/DPR dalam jumlah yang tidak masuk di akal?
Cara-cara bunuh diri yang ditulis oleh calon peserta semuanya biasa-biasa saja. Tidak ada satupun yang spektakuler. Minum racun. Tembak mati. Memutus urat nadi dengan silet. Buat apa ikut bunuh diri massal jika ingin bunuh diri dengan cara seperti itu? Lakukan saja di kamar Anda. Saya segera mencari formulir milik Jojo dan…
Cuma gue yang boleh tau bagaimana gue akan mati.
***
 Mendadak, segala sesuatunya meledak diluar perkiraan.
Pertama, keputusan bahwa kegiatan ini akan digelar di Gedung MPR/DPR ternyata membuat jumlah peserta menjadi meningkat. Hampir 30 ribu orang kini terdaftar sebagai calon peserta!
Susi, sekretaris panitia, kini tak sempat lagi mampir ke salon sepulang dari kantor. Sekarung formulir pendaftaran yang datang setiap saat, membunuh waktu luang Susi. Ah, kasian saya melihatnya, hingga saya berpikir untuk merekrut anak magang bekerja dalam kepanitiaan.
Dan anak magang itu adalah gadis kecil berumur 17 tahun!
Dia datang membawa gulungan kertas besar, masuk ke ruangan saya dengan berbalut kaos putih ketat bertuliskan huruf kapital besar berwarna merah; SUICIDE IS ROCK!
Bah!
Pusing saya melihat anak magang satu ini. Dalam hati, saya jadi penasaran, sesungguhnya dia tahu nggak sih makna dari tulisan yang tertera persis diatas buah dada-nya yang belum tumbuh sempurna itu?
“Ini gulungan peta-nya pak.” Kata si anak magang. Saya segera meraihnya, Perwira Polisi yang tempo hari berbicara dengan saya untuk memutuskan tempat kegiatan dilaksanakan, mengirimi gulungan cetak biru Gedung Parlemen Indonesia. Lalu handphone saya berdering.
“Pak Ketua?”
“Siap.”
“Sudah terima cetak birunya?”
“Siap. Right on my desk.”
“Jadi begitu ya pak Ketua.”
“Begitu bagaimana?”
“Loh, saya sudah nitip pesan pada panitia yang ngambil peta itu dikantor saya tadi, dia belum bilang?”
Saya melirik tulisan diatas buah dada itu; SUICIDE IS ROCK yang bergerak kesana-kemari. Si anak magang nyengir kuda!
“Saya bilang, kapasitas gedung parlemen kita terbatas, hanya untuk seribu orang Pak Ketua.”
“Begitu ya?”
“Jadi, Anda harus menyeleksi peserta yang 25 ribu itu menjadi seribuan orang Pak Ketua.”
“Pendaftarnya sudah 30 ribuan orang.” Selaku.
“ Hah ? Segitu banyaknya pak ? ”
“Ya, segitu meningkat pesat sejak Anda memutuskan kegiatan akan dilangsungkan di gedung parlemen.”
“Gila!” sahut sang perwira polisi dari seberang, “Mereka sadar kan kalau mereka ke Gedung Parlemen untuk mati, bukan untuk jadi anggota dewan?”
“Yah, mungkin, banyak yang ingin mati secara terhormat Pak.” Sahut saya.
“Gila!” Teriak sang perwira, membuat saya refleks menjauhkan handphone dari telinga sendiri, “Orang-orang sudah pada gila rupanya!”
*

Banyak hal yang membuat orang-orang menjadi gila.
Dan tugas si anak magang untuk menyiapkan laporan pada si perwira polisi yang meminta data latar-belakang peserta yang disebutnya ‘sudah pada gila’ itu.
“Seribu orang peserta, datang dari Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka korban Lumpur Lapindo pak.”
“Seribu orang lain masuk kategori korban dan lain-lain.”
“Maksudnya dan lain-lain?”
“Yaaah, bapak tahulah,” kata si anak magang, “Korban gusuran, korban kenaikan harga-harga. Korban ketidak-adilan negeri ini.” Terang si anak magang lagi, “Karena kategorinya banyak, saya kelompokkan menjadi ‘Korban Dan Lain-Lain.”
“Hmmm, cerdas kamu!” puji saya. "Korban cinta, adakah yang masuk kategori korban cinta?"
Si anak magang menggeleng. Dari 30 ribu orang dan belum ada satu pun korban cinta? Sial!
Tiba-tiba pintu ruangan saya terbuka, Susi, sekretaris saya masuk bersama seorang laki-laki paruh baya.
“Pak Ketua.” Kata Susi, “Ini professor itu.”
Saya segera berdiri menyambut uluran tangan dan senyum hangat si Profesor. “Apakabar?” sapa saya, sang professor mengangguk.
“Saya sudah siapkan apa yang Pak Ketua minta.” Ujar si professor. Wow! Bisik saya dalam hati, tanpa basa-basi, benar-benar ilmuwan sejati. Sang professor segera membuka tas koper hitamnya, dikeluarkannya beberapa gulungan kertas, dan dibukanya diatas meja, persis diatas cetak biru gedung parlemen.
“Ini rencananya.” Kata sang professor kemudian. Saya memperhatikan gambar dalam gulungan kertas yang terbuka itu. “Saya akan membuat Gedung Parlemen menjadi kamar listrik raksasa!” serunya.
“Wow! That’s rock!” seru si anak magang terlonjak dari tempatnya berdiri. Suicide is Rocknya bergoyang-goyang kesana kemari. Sementara saya merasa sangat excited dengan rencana si professor yang sangat brilian itu. Konsepnya memang berawal dari sesuatu yang sederhana, kursi parlemen sering disebut sebagai kursi panas. Jadi tak ada salahnya, kegiatan Bunuh Diri  itu nantinya akan menerapkan istilah tersebut. Panas yang mematikan!
“Bagaimana?” Tanya si professor. Saya mengangguk-angguk.
“Bravo, prof!” puji Susi seolah mewakili saya.
“Ya, hanya tinggal satu masalah besarnya.”
“Apa?” Tanya saya.
“Ijin Gedung Parlemen?”
“Sudah saya kantongi Prof. Para anggota dewan sedang reses pada tanggal itu, kalau pun tidak, mereka mungkin sedang berkunjung ke luar negeri, studi banding Prof.”
“Atau kita buat reses sekalian? Hahaha.” Sang Profesor berusaha bercanda.
“Berapa daya listrik yang dibutuhkan Prof?”
Kening sang Profesor berkerut. Kerut yang tak akan kembali walau sudah diolesi kosmetik pencerah kulit bermerk sekalipun. “Itu dia…” kata sang Profesor tertahan.
“Prof?”
“Ingat akhir pekan kemarin sebagian Jakarta mati lampu?”
“Ya?”
“Itu saya sedang melakukan uji coba, hingga membuat sebuah gardu meledak, dan uji coba saya berantakan!” terang sang Profesor. “Pasokan listrik di Jakarta tak akan cukup untuk merealisasikan rencana ini.”
“Maksud Profesor?”
“Jika rencana ini dijalankan, maka pada hari pelaksanaan kegiatan, seluruh listrik di Jakarta akan padam, karena semua akan dialirkan ke Gedung Parlemen.”
“Berapa besarnya itu Prof?”
“Sekitar 150 Kilo Volt!”
“Wow! That’s rock!”
Aku melirik si anak magang.
“Susi…” panggil saya pada sekretaris saya yang berambut semakin kucel karena mulai jarang ke salon itu. “Bisa kamu ajak si anak magang ini keluar ruangan?”
Tanpa dua kali permintaan, Susi segera meraih pergelangan tangan si anak magang, lalu menariknya keluar ruangan.
“Kita punya masalah besar, bukan begitu Prof?”
Sang professor mengangguk.
“Masalah kekurangan daya listrik memang tak akan pernah terselesaikan,” kata si Profesor.
“Kenapa?” Tanya saya.
“Karena Pemerintah takut, stok listrik yang berlebihan, akan dipakai oleh rakyat untuk menyetrum diri Pemerintahnya sendiri!”
“Wow! That’s rock, professor!” seru saya. “Di negeri ini, ide yang nyetrum aja bisa dianggap berbahaya.”
bersambung ke part 5..... KLIK DISINI  untuk membaca


Beri tanggapan klik DISINI ya, jangan pelit - pelit
kembali ke PESAN PENULIS