Polda Metro
Jaya. Pukul 11.52 wib; 22 Oktober 2012, saat adzan dzuhur tengah bersahutan di
langit Jakarta. Laki-laki itu duduk dibalik meja kerjanya. Berbalut kemeja
putih dan dasi merah. Wajahnya tampak tegang. Di seberang meja jatinya yang
penuh dengan berkas berserak, duduk seorang lelaki kurus. Semestinya, hal ini
biasa saja, menginterogasi seorang tersangka, tapi sang perwira Polisi
sesungguhnya tak yakin, apakah sosok yang duduk terdiam dihadapannya, pantas
disebut tersangka.
Sang perwira
Polisi menarik napas panjang, berusaha menyamankan dirinya, menaruh kedua
tangan diatas keyboard, bersiap memulai dengan pertanyaan pertama, sesuai
prosedur yang sudah diajarkan di bangku Akademi Kepolisian;
“Nama
saudara?”
“Saya?”
“Ya,
saudara?”
“Jojo…”
Dan
tiba-tiba, entah karena apa, sang Perwira Polisi memutuskan untuk melupakan
semua prosedur yang diajarkan padanya di Akademi Kepolisian, dan segala
perintah atasan; keyboard dia dorong menjauh dari kedua tangannya; wajahnya
lalu mendekat kearah Jojo.
“Begini
saja, anak muda.” Kata sang Perwira. Jojo menatap sang Perwira, mendengarkan.
“Ceritakan pada saya, apa yang terjadi di dalam Gedung DPR/MPR itu, pada hari
ini, 22 September 2012, beberapa saat yang lalu.”
Tak ada
jawaban. Tapi kemudian Jojo angkat suara;
“Saya tak
pandai bercerita, tapi bolehkah saya meminjam komputer bapak?”
“Untuk apa?”
“Saya akan
menuliskan kisahnya…”
*
Sejak kecil,
aku selalu menginginkan ini, Jojo. Menjadi pelukis.
Kira-kira
begitulah ucapan Evelyn, kalian tak mengenalnya tentu saja.
Evelyn
adalah sosok cewek yang saya harap menjadi kekasih saya, ketika saya menghadiri
pembukaan pameran lukisan solo pertamanya. Ia tampak begitu bahagia. Terlebih
karena berada di antara lukisan-lukisannya, bukan karena berada di antara
orang-orang yang ia sayangi. Saya hanya tersenyum melihat mimik gembiranya.
Saya rasa seulas pun cukup untuk membuat ia tahu bahwa saya bahagia untuknya.
Itu Evelyn,
sekarang saya.
Sejak kecil,
saya sudah memimpikan satu hal yang tidak pernah berubah. Cita-cita saya hanya
satu seumur hidup ini, menjadi pahlawan. Tidak, tidak menjadi dokter yang
katanya “menolong orang” melalui dunia medis. Tidak juga menjadi pahlawan
dengan mendaftar akademi militer ataupun kepolisian. Saya ingin menjadi
pahlawan full-time. Seperti Jenderal Sudirman dan Mohammad Yamin.
Pahlawan yang benar-benar konkrit, tidak secara kiasan ataupun ungkapan. Tidak
dengan menjadi guru. Pokoknya pahlawan. Bukan, bukan superhero. Tapi
pahlawan.
Hari ini
adalah Hari H. 22 Oktober 2012. Jam sembilan lebih empatpuluh tiga menit
Waktu Indonesia Barat. Gedung MPR/DPR RI. Atau kalau menggunakan Bahasa Pak
Ketua, “Gedung Parlemen”. Ah, Pak, ini bukan Amerika. Sistem kita bukan
Parlementer.
Saya
mendapat tempat duduk tepat di sebelah orang yang paling penting dan mulia di
acara ini. Ketua Panitia Bunuh Diri Massal 2012. Ya, saya berada di sebelahnya.
Mendadak saya merasa bahwa Tuhan membukakan jalan yang seluas-luasnya agar saya
bisa menjadi pahlawan. Meskipun terlambat.
Ruangan ini,
entah mengapa, terasa begitu dingin. Lantai marmer yang kami injak-injak sejak
tadi juga sepertinya sama. Sangat dingin. Saya jadi berpikir, mengapa neraka
selalu diidentikan dengan panas? Padahal sesuatu yang kelewat dingin pun
sama menakutkan dan sama menyiksanya. Bayangkan darahmu membeku secara konyol.
Bayangkan jika kau tidak bisa bicara karena rahangmu bergetar, dan tidak bisa
bergerak lagi. Beku.
Di sini,
semuanya sudah disiapkan dengan rapi. Susi , sekretaris Bunuh Diri Massal 2012
yang mendadak terkenal, berjalan wara-wiri ke sekeliling ruangan. Mengecek
segala sesuatunya agar dapat berjalan dengan lancar. Sementara itu, Si Anak
Magang yang tidak pernah diketahui siapa namanya (ia tidak pernah diekspos
karena selalu dianggap “masih di bawah umur” untuk terlibat suatu peristiwa
radikal seperti ini), menolong Susi dengan berkeliling memeriksa apakah sabuk
kursi listrik yang diduduki masing-masing peserta sudah terpasang dengan benar.
Mati dengan
kursi listrik… Betapa… kampungannya. Seperti ikut-ikutan di film The
Green Mile saja. Apakah sebaiknya saya memilih menjadi Tom Hanks?
Menonton orang-orang mati di atas kursi listrik dengan konyolnya. Saya akan
terbahak-bahak dengan puas! Sudah saya katakan, bukan? Bahwa saya akan mati
dengan cara saya sendiri. Dengan sebuah cara yang glamor, menyenangkan, indah,
menggairahkan. Bukan dengan konyol dan kampungan seperti 999 orang
lainnya. Kursi listrik? BAH!
“Saya tidak
sabar ingin bunuh diri. Menurutmu, Jo, akankah kita bertemu Tuhan dalam
hitungan menit setelah jam sepuluh?” tanyanya. Saya menengok, Pak Ketua
tersenyum ramah. Saya sampai bingung. Mengapa ia bisa-bisanya menjadi ketua
acara seperti ini, padahal, dari garis mukanya, tidak ada ekspresi depresi
sedikitpun? Padahal…
Semua orang
yang ada di sekeliling, punya mimik dan air muka yang… jauh lebih konyol
dibanding fakta bahwa mereka semua akan mati konyol di atas kursi listrik yang
dikendalikan oleh orang yang dikenal sebagai Pak Ketua. Mimik mereka:
takut, depresi, bingung, mengambang, datar, urung, sedih, terluka… Hal-hal
menyedihkan. Betapa menyedihkannya orang-orang ini. Ini adalah impian mereka,
dan saya. Bunuh Diri Massal 2012 akan dilangsungkan pada hari ini, beberapa
menit lagi. Ini adalah sesuatu yang sudah mereka impi-impikan. Sesuatu yang
mereka tunggu-tunggu selama berhari-hari. Tidak ada satupun dari mereka yang
raut wajahnya bahagia selain Pak Ketua yang ada di sebelah saya ini. Sepertinya
Pak Ketua, seperti rumor yang ada di televisi, benar-benar seorang psikopat.
Psikopat yang tertawa terbahak-bahak sebelum membunuh seribu orang dengan kursi
listrik.
“Sudah
tau bagaimana kamu akan mati, Jojo?” tanyanya lagi.
“Ya,” jawab
saya, singkat. Saya mengeluarkan sebuah senjata api dan meletakkannya di atas
meja, untuk memberi distraksi terhadap rekaan-rekaan yang ada di kepalanya.
Rekaan-rekaan orang sok tahu seperti dia.
“Hmmm. Tetap
tidak mau bunuh diri dengan cara yang sama seperti ratusan peserta lainnya?”
tanya Pak Ketua kemudian. Saya hanya menggeleng lemah, sambil memperhatikan ke
mana ia akan membawa pembicaraan ini. Mana mau saya mati konyol seperti kamu,
hah? Saya jadi berpikir. Pak Ketua menekan tombol itu, mengaktifkan kursi
listrik 999 peserta lainnya. Berarti, ini bukan Bunuh Diri Massal. Ini justru
seperti holocaust atau semacamnya, di mana seseorang membunuh
999 orang secara bersamaan. Mungkin caranya saja yang lebih keren dibanding
jaman Hitler. Lebih high tech! Tapi, tetap saja, konyol!
“Yang saya
masih tidak habis pikir... Tidak ada satupun orang yang ingin bunuh diri karena
cinta. Awalnya saya kira, jatuh cinta adalah alasan paling umum bagi seseorang
untuk merasa tidak kuat hidup lagi. Ternyata saya salah. Dari tigapuluh ribu
pendaftar, tidak ada satupun yang ingin mati karena cinta. Apakah cinta telah
membuat manusia menjadi kuat?”
Saya
menghela nafas panjang. Sepertinya saya berada di tempat yang salah.
Orang-orang yang ikut bunuh diri massal ini, apalagi ketuanya, sudah tentu
merupakan orang-orang paling melodramatik sedunia. Saya tidak menyukai gaya
bicara seperti ini. Mengapa demi hidup, orang-orang ini merasa harus mati?
Dengan mati, saya rasa kita justru melengkapi hidup, bukannya mengakhirinya.
Mengapa mati diidentikan dengan kesedihan? Dengan mati, kita bisa bertemu
Tuhan. Dengan mati pula, kita bisa mengakhiri fase memilih dalam hidup yang
tiada habisnya, karena hidup adalah tentang memilih sesuatu yang paling jujur
dan benar dari segala macam pilihan yang disediakan. Life is a multiple
choice!, seperti kata Joker.
“Tentu
tidak, Pak Ketua. Saya rasa, mereka yang ingin mati karena cinta tidak
perlu mendaftar di acara ini. Jatuh cinta adalah suatu perbuatan
dengan resiko yang sangat banyak. Jika seseorang memilih untuk jatuh cinta,
berarti ia pun telah memilih cara matinya. Meninggal perlahan-lahan seiring
dengan berjalannya waktu. Jatuh cinta itu bunuh diri,” jawab saya. Mungkin
orang-orang yang jatuh cinta akan memilih untuk bunuh diri di depan orang yang
mereka sayangi, bukannya di hadapan Garuda Pancasila yang digantung di dinding
Gedung MPR/DPR ini. Ya, biar melodramatik saja… “Bakal ngaret nggak
nih, Pak Ketua?” tambah saya.
Kau tahu, di
Indonesia, terlambat adalah budaya. Tapi, masak sih sampai ketika ingin bunuh
diri pun manusia tetap ingin terlambat? Kalau saya bakal bunuh diri, saya
maunya tepat waktu!
Pak Ketua
menggeleng. “Tentu tidak. Saya memegang kontrol penuh atas acara ini. Ketika
saya menekan tombol merah ini, semuanya akan berakhir dalam sesaat. Habis.
Hancur. Kita semua mati bersama-sama di atas kursi listrik ini. Bisa
mengikutinya kan?” katanya. Mungkin ia berkata seperti itu karena menurutnya
saya mungkin memiliki cara-cara yang sudah saya tetapkan untuk mati. Menembak
kepala saya, misalnya.
Saya sudah
menetapkannya sejak lama. Bagaimana, di mana dan kapan saya akan mati.
Sayangnya,
orang-orang di sekitar saya ini memilih untuk menjadi bagian common dari
masyarakat. Bahkan, ketika menentukan cara mereka mati, menentukan waktu,
menentukan tempat. Bunuh diri yang dirancang sedemikian rupa seperti sunatan
massal. Apa bedanya? Professor yang sejak tadi mondar-mandir mengecek segala
macam hal yang berhubungan dengan kursi listrik adalah dokter yang siap dengan
alat-alat untuk khitanan. Susi adalah salah satu ibu PKK yang merupakan panitia
inti dari peristiwa akbar ini. Si Anak Magang menjadi ‘anak bawang’ yang
dimintai tolong mengambilkan perlengkapan khitanan. Sampai mengundang catering segala
untuk bunuh diri saja! Sementara itu, 999 orang di sini, adalah orang-orang
yang belum disunat.
Saya jadi
menyimpulkan sendiri. Mungkin saja, Bunuh Diri Massal ini khusus laki-laki
karena mengadopsi penuh tata cara pelaksanaan sunatan massal!
Ada beberapa
orang yang tidak saya kenal, menyiapkan alat-alat untuk memainkan musik di
hadapan seribu peserta Bunuh Diri Massal 2012. Ah ya, mungkin mereka yang
akan memainkan anthem acara ini, yang berjudul “The Big Bang
Prophecy”.We’ll build the world that Lennon imagined. Bah, tahu apa
orang-orang ini tentang John Lennon? Mereka sok tahu. Seperti 999 orang ini yang
sok ingin berpartisipasi dalam perhelatan akbar Bunuh Diri Massal 2012 padahal
sebenarnya takut mati.Looooseerrs. Jangan-jangan mereka benar-benar
belum disunat!
Lagu itu
mengalun dengan menyakitkan. Suara sang vokalis yang seperti suara orang yang
menghirup lem Aica Aibon berlebihan itu menyayat-nyayat hati
orang-orang menyedihkan di sekitar saya. Menemani degup jantung mereka yang
tidak karu-karuan. Menemani raut wajah mereka yang setengah mati kampungan dan
murahan. Membuat saya inginnya tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Bodohnya
kalian, kumpulan orang-orang bodoh…”
The world
that full with Gibran’s limb. Oh, tahu apa kalian tentang Gibran?
Waktu terus
bergulir sampai tiba saatnya di mana jam sepuluh adalah tinggal satu menit
lagi. Seribu peserta telah berkumpul di dalam ruangan ini. Seribu orang.
Keheningan luar biasa. Kombinasi hal yang jarang kita temui di Jakarta.Saya
suka ini. Seribu orang yang biasanya beradu bacot luar biasa dan
sekencang-kencangnya, mendadak diam. Seperti orang-orang di MPR/DPR yang
seharusnya berdiskusi tapi malah tidur di Gedung ini. Betapa menyedihkannya.
Sementara
saya, sudah siap dengan pistol ini. Siap menarik pelatuknya. Duduk di sebelah
Sang Penentu. Jika tiba-tiba ia ingin hidup, acara ini pasti batal. Semua yang
telah dilakukan akan sia-sia juga. Jika tiba-tiba ia ingin hidup, 999 orang ini
tidak jadi mati konyol! Habislah mimpi-mimpi saya. Saya berharap bisa melihat
mereka semua mati dengan konyol sebelum saya sendiri mati bunuh diri dengan
pistol ini.
Dan sampai
saat ini, saya masih belum menemukan jawabannya. Demi hidup, kenapa harus
mati? Kenapa? Mati adalah sesuatu yang seharusnya menyempurnakan hidup.
Di atas
meja, telah disiapkan selembar kertas dan sebuah pulpen untuk menulis suicide
notes. Dari total kejadian bunuh diri, sekitar 20% pelaku meninggalkan
pesan sebelum meninggal. Mungkin saja pihak panitia ingin meningkatkan
persentase tersebut.
Omong-omong,
hari ini saya berulangtahun yang ke 27. Bagi saya, 27 adalah angka yang sangat
penting di dalam kehidupan. Orang-orang penting mati di umur 27. Kurt Cobain,
Janis Joplin, Brian Jones, Jim Morisson sampai Jimi Hendrix.The 27 Club.
Akankah saya menjadi salah satu dari orang-orang penting tersebut?
“Punya
istri? Pacar?” tanya saya kepada Pak Ketua. Ia menengok dengan mimik bingung.
Menggeleng.
“Sudah
bilang selamat tinggal pada orangtua Pak Ketua?” tanya saya lagi.
Ia
menggeleng lagi.
“Mungkin
hari ini saya sedang melamar seseorang, atau sekedar mengantar ibu saya
berbelanja. Mereka harus lihat prestasi ini nantinya. I will be the
biggest somebody on Earth. The first person who encourages people to commit
suicide. Apakah saya ada bedanya dengan LSM yang bergerak di bidang
lingkungan? Sepertinya tidak. Saya juga ingin menyelamatkan dunia, dan ini cara
saya.”
Saya
mengangguk. Pak Ketua mengakhiri ceramahnya;
“Dan kau
tahu Jojo, semua ini hanya untuk sebuah kado.”
“Bah!” seru
saya. Tiba-tiba wujud Pak Ketua berubah menjadi pungguk, sementara bulan tetap
akan bersinar setiap hari walau pungguk sudah menjadi bangkai.
“Sebuah kado
spesial berbentuk hati.”
“Ya ya ya..”
15 detik
menuju bunuh diri massal yang telah ditunggu-tunggu. Suara penyanyi giting itu
semakin menyayat hati. Degup orang-orang di sekeliling saya seolah-olah
diperdengarkan melalui speakers. Seolah-olah saya benar-benar
mendengarkan degup yang semakin cepat, seiring dengan raut wajah yang semakin
takut, sedih, depresi, tidak terima, … ingin pulang.
Saya meraih
pistol yang ada di hadapan saya. Memegangnya senyaman mungkin dan menyiapkan
jari telunjuk untuk menarik pelatuknya. Tidak boleh ada yang salah dari hal
ini. Saya sudah merencanakan semuanya. Saya sempat tersenyum sesaat
mengingat tulisan yang ada di kaus yang saya kenakan. Let’s die and go
to Heaven. Apakah saya akan masuk surga jika caranya seperti
ini? Apakah orang-orang bodoh ini akan masuk surga?
Tunggu. Saya
bahkan belum bilang bagaimana saya akan mati. Sebenarnya… Hanya saya yang
boleh tahu.
5, 4, 3...
Satu detik
lagi, tangan Pak Ketua akan menyentuh tombol tersebut dan menghabisi nyawa
dirinya dan 999 orang lainnya – termasuk saya – secara bersamaan. Satu detik
lagi, ia akan menjadi orang paling terkenal sedunia. Menjadi legenda. Menjadi
kontroversi. Menjadi satu titik kebangkitan nasional, atau bahkan dunia.
Menjadi orang yang mengubah segalanya meskipun proyek ini pada awalnya mendapat
respon yang negatif dari masyarakat luas.
Saya
menunduk. Menyadari bahwa hanya saya yang tidak memakai sabuk sialan
itu. Saya tidak akan mati bersama-sama mereka. Saya akan mati belakangan.
Namun, tetap
saja. Ia, tentu, kalah cepat dari saya.
“Satu detik
lagi. Selamat ulang tahun… Selamat meninggal... Welcome to the new half of
life!” kata Pak Ketua dengan lantang.
Saya menarik
pelatuk pistol. Terdengar ledakan senjata yang bunyinya cukup keras. Bunyi yang
muncul dari senjata api ini. Cipratan darah. Jeritan kampungan. Hening.
Jeritan. Hening lagi. Saya tidak mati. Tentu saja. Pak Ketua tadi keseleo
lidah, seharusnya ia mengatakan “selamat tinggal”.
Karena, saya
telah memilih. Inilah cara mati yang paling sempurna di mata saya.
Peluru dari
senjata saya kini sudah bersarang di kepalanya. Kepala Pak Ketua. Seketika,
tubuhnya terkulai, jerat sabuk pengaman menopang tubuhnya agar tak jatuh ke
lantai marmer yang dingin.
Saya puas.
22 Oktober 2012. Jam 10 WIB. Gedung MPR/DPR. Hanya ada satu orang yang mati, dan itupun
bukan mati bunuh diri. Ada 999 orang yang gagal ikut bunuh diri massal. 999
orang gagal menjadi Tuhan bagi diri mereka sendiri. Hanya saya yang berhasil.
Berbekal sebuah senjata api dan sebuah peluru, saya yang menentukan semuanya
dalam satu detik. Bukan Pak Ketua yang tadi telah dengan sombongnya
berkata, “Saya memegang kontrol penuh atas acara ini…” Ia
salah. SAYA yang memegang kontrol penuh atas acara ini!
Saya yang
membatalkan semuanya. Tanpa perlu banyak berkata, tanpa pakai banyak rencana.
Hanya membawa pistol itu saja. Duduk di sebelah Ketua Panitia. Dan lalu,
membunuhnya.
Ini
pelajaran untuk egonya. Untuk keinginannya menentang Tuhan. Untuk keberaniannya
mematahkan paradigma masyarakat akan hidup yang berkembang belakangan ini.
Untuk cita-citanya mensukseskan Bunuh Diri Massal 2012. Untuk perjuangannya.
Untuk ajakannya yang berhasil membuat 30000 orang semakin mantap untuk mati
bunuh diri. Untuk persuasinya yang membuat 30000 orang membohongi diri mereka
sendiri, yang sebenarnya masih ingin hidup tetapi merasa perlu sok-sokan ingin
mati, supaya terlihat keren, pemberani, berwibawa, apalah.
Ini hadiah
buat saya. Pencapaian.
I was nobody
until i killed the biggest somebody-to-be on Earth.
Tadinya, Pak
Ketua akan menjadi lebih hebat dari John Lennon yang mencoba menyebarkan
perdamaian melalui lagu “Imagine”. Tadinya, Pak Ketua akan menjadi legenda.
Saya tidak
terima jika seseorang menjadi legenda lewat cara seperti ini.
Saya bisa
mematahkannya. Dalam hitungan detik, saya akan menjadi lebih terkenal dibanding
Mark David Chapman. Saya akan menjadi lebih diperhitungkan, lebih diperhatikan
dibanding Ketua Bunuh Diri Massal 2012. Saya akan dibicarakan banyak orang.
Saya akan menjadi sesuatu yang hebat. Dan ketika saya telah menjadi orang
tersebut, saya hanya perlu bunuh diri. Dengan begitu, saya menjadi legenda.
Satu lagi,
yang paling penting, saya telah mencegah 999 orang bunuh diri, sekaligus
membuang mimpi-mimpi mereka. Saya telah menghentikan suatu hal yang dipandang
orang sebagai radikalisme, dipandang orang sebagai gerakan negatif. Saya
melawannya.
Semua orang
terkesima. Raut wajah mereka berubah. Tatapan mereka memandang seolah-olah
tidak percaya. Ada yang tersenyum, ada yang menghela nafas panjang. Lega. Ada
yang terkejut. Ada yang tidak percaya. Ada yang mengusap tangan mereka ke
wajah, tanda sejak tadi mereka sudah berdoa agar tidak mati konyol seperti ini.
Ternyata
nurani masih ada. Ternyata harapan juga masih ada. Ternyata, orang-orang yang
tadinya ingin mati konyol seperti Pak Ketua, sebenarnya masih berdoa supaya
mereka tidak jadi mati hari ini. Kini, semua orang tahu, bahwa hanya Pak
Ketua-lah yang ingin mati konyol…
Waktu itu,
saya dikenalkan dengan Susi oleh teman saya. Kami mengobrol, dan Susi – yang
sangat inosen itu – mabuk. Ia mengigau. Meracau. Menceritakan bahwa Pak Ketua
minta hatinya diambil dan diantar oleh Susi ke alamat ini. Konyol! Saya tertawa
terbahak-bahak ketika saya mendengar cerita itu. Ia ingin berkorban untuk
seseorang, ingin menunjukkan sisi melodramatiknya kepada nya… dengan mengajak
999 orang lain bunuh diri. Hanya supaya ia tidak kelihatan mencolok di mata
wanita pujaannya. Hanya supaya kelihatan keren. Underclass!
Betapa
pengecutnya laki-laki yang barusan mati di tangan saya ini. Bunuh diri saja
harus ditemani banyak orang. Bunuh diri saja harus bikin pengumuman. Memberi
hati saja harus minta tolong sekretaris. Bunuh diri saja harus minta tolong
professor untuk membuatkan kursi listrik.
Lain kali,
jika mau bunuh diri lagi, bilang pada saya. Saya akan dengan senang hati
membunuh Anda sekali lagi, Pak Ketua. Berterimakasihlah kepada saya, karena
telah menyarangkan peluru ini di kepala Anda. Agar Susi bisa tetap mengantarkan
hati itu .. Kalau perlu, saya nanti mengantarkan Susi sampai ke depan pintu rumah
itu.
Kau ingin
tahu bagaimana saya ingin mati? Saya mau mati sebagai pahlawan.
Mulai hari
ini, hal itu telah saya capai. Dengan membunuh Ketua Bunuh Diri Massal 2012,
saya telah menjadi pahlawan. Pahlawan bagi dunia. Pahlawan bagi 999 orang ini.
Sekaligus pahlawan bagi Sang Ketua. Saya membuatnya tidak terlihat terlalu
konyol dan kampungan.
Ayo,
bilang, Pak.
Bilang apa?
Terima kasih
Jojo…
TAMAT.
Beri tanggapan klik DISINI ya, jangan pelit - pelit