Sudah tiga hari Nalar demam. Biasanya demamnya cepat hilang begitu
dikompres air atau keningnya ditempeli irisan bawang merah. Kemarin neneknya
sudah membawa dia ke Mak Moyong—dukun anak. Kata si dukun kena sawan. Tapi
demamnya tak juga turun ketika ia dipaksa neneknya minum jamu dari Mak Moyong.
Kalau sore ini aku dapat gaji mingguan, Nalar akan langsung kubawa
ke Dokter Kiki. Puskesmas sudah tutup saat aku bubaran pabrik. Tidak tega aku
jika menunggu sampai besok. Demam Nalar begitu tinggi. Lagi pula penyebabnya
aku sendiri. Sebagai ibu dan penyebab sakitnya, aku harus bertanggung jawab.
Apalagi sudah setahun ini hubunganku dan Nalar tak begitu hangat.
Penyebabnya, ketika setahun lalu, ia melihat aku nopeng dengan Ibu
di kampung, Nalar memaksaku untuk mengajarinya nopeng. Aku menolak. Sudah cukup
rasanya garis keturunan penari topeng berhenti di tubuhku. Lagi pula tanggapan
nopeng sudah tidak sebanyak dulu saat aku remaja. Sejak tak banyak tawaran
nari, aku memutuskan jadi buruh rokok. Pemasukan rutin meski sedikit ternyata
lebih mampu menyambung hidup kami bertiga: aku, ibu, dan Nalar.
Selain soal penghasilan, aku tidak tega
jika membiarkan Nalar melalui sejumlah ritual yang harus kujalani dulu. Puasa
mutih, ngrowot, Senin-Kamis, belum lagi dalam waktu-waktu tertentu harus tidur
di lantai tanpa alas, hingga tapa kungkum. Aku menjalaninya karena tidak ada
pilihan lain. Bukannya aku tidak suka menari. Namun, aku harus realistis. Rumah
ini sudah kehilangan para lelakinya. Baik ayahku maupun suamiku. Mereka
ditakdirkan meninggal mendahului para istrinya. Sungguh tak mungkin jika
menjadikan ibuku di usia larutnya harus ikut mencari uang. Cukuplah aku.
Melihat kondisi ini, wajar rasanya jika aku tak menginginkan Nalar
menjadi penari topeng. Seperti anak-anak lainnya, aku ingin ia sekolah sampai
semampuku membiayainya. Setelah lulus, ia bisa kerja di pabrik, penjaga toko,
atau sales.
Harapanku pupus ketika tiga bulan lalu, Nalar diajak ibu
mengunjungi makam Mbah Buyut di Desa Gabusan. Dua jam perjalanan naik bus.
Sepulang dari sana, Nalar langsung mengobrak-abrik topeng-topeng yang sudah
kusimpan rapi di dalam lemari kamarku. Di depanku, ia langsung memasang sampur
yang dibelitkan di pinggang dan memasang topeng di wajahnya dengan cara
digigit. Saat kutanya, ibuku membantah telah mengajarinya menari. Nalar sendiri
tak mengatakan apa pun. Ia hanya menari menandak-nandak dan baru terdiam saat
kucopot paksa topeng di wajahnya.
Bukannya meredam keinginan Nalar, ibuku malah semakin bersemangat
mengajari Nalar menari. Dengan sisa gamelan di rumah, Ibu mengiringi Nalar
menari. Bocah itu paling suka gerakan lerep sambil mengentakkan kaki ke tanah.
Jika hanya menari, sebenarnya aku tak terlalu kesal. Aku hanya tak suka ketika
Ibu mulai mengajari berbagai tirakat yang pernah diajarkannya kepadaku saat
seusia Nalar. Anak itu sudah terlalu kurus untuk ikut-ikutan puasa dan
sejenisnya. Sebagai ibunya, aku malu jika Nalar dianggap kurang gizi. Ditaruh
ke mana mukaku. Seolah aku tidak cukup memberinya makan.
Inilah kenapa aku tak suka berharap. Berkali-kali aku dikhianati
harapan. Aku berharap Nalar bisa kerja di pabrik, penjaga toko, atau sales.
Setidaknya dengan tetap menjadi buruh nglinting rokok, aku bisa membiayainya
sampai SMA. Memang ia baru tujuh tahun. Masih bisa ia berubah mengikuti
harapanku. Tapi sekali lagi, aku benci berharap. Sangat membencinya ketika
ayahku meninggal karena malaria, dan suamiku tak pernah pulang sejak pamit
melaut tiga tahun silam.
Hanya tersisa satu lelaki di keluarga kami. Danu, kakak Nalar yang
sekarang sudah kelas enam SD. Seharusnya aku seperti kebanyakan keluarga
lainnya di kampungku, yang menaruh harapan ke anak lelakinya. Tapi bagiku, Danu
tidak bisa diharapkan. Aku tidak bisa memercayai anak yang kulahirkan tanpa
kutahu siapa ayahnya.
Mungkin karena aku tak menerima kehadirannya, Danu juga tak
memedulikan kehadiranku. Ia lebih peduli pada Nalar. Baginya, Nalar lebih dari
sekadar adik seibu. Nalar seolah dolanan yang tak pernah kubelikan sejak ia
bisa merengek. Dolanan yang bisa membalas setiap sentuhan dan perhatiannya.
Sejak Nalar belajar menari, Danu tak lagi sering menghabiskan
waktu dengan bocah-bocah lelaki yang kerap nongkrong di warung kopi Pak Gatot.
Dulu, ia kupergoki terbatuk-batuk saat mengisap rokok pemberian anak-anak itu.
Begitu aku lewat di depan warung, ia langsung klepas klepus berlebihan sambil
duduk menekuk salah satu kakinya seperti gaya sopir truk yang suka mangkal di
warung itu.
Belakangan ini, Danu lebih suka menunggui Nalar belajar joget. Ia
menonton sambil menatah kayu randu untuk membuat topeng. Aku tak tahu dari siapa
ia belajar. Pasti hanya coba-coba. Dari yang semula hasilnya topeng peyot, Danu
mulai bisa menatahnya seukuran wajah Nalar.
Sebenarnya aku senang, Danu jadi tak banyak nongkrong di warung.
Tapi tetap saja aku memiliki banyak celah untuk memarahinya. Apalagi jika aku
pulang dari pabrik dalam keadaan lelah teramat sangat. Teras rumah penuh
serpihan kayu, menjadi benda yang cocok sekali untuk kuraup dan kulemparkan ke
wajahnya. Sambil kelilipan, biasanya Danu hanya menyimpan marah dan mengambil
sapu lidi. Nalar hanya bisa menangis.
Kemarahanku pada Danu semakin memuncak dengan sakitnya Nalar.
Gara-garanya empat hari lalu ketika aku mendapat tanggapan nari di kampung
sebelah. Juragan beras desa sebelah menang jadi lurah. Aku diminta nari tayub
dengan Yu Wasis. Ibu sebenarnya sudah tidak setuju aku tayuban. Lebih baik
nopeng saja. Katanya, nopeng lebih terhormat ketimbang nayub. Aku sudah
persetan dengan alasan itu. Yang penting ada uang beli beras.
Sepeninggalku, ternyata Nalar mencariku. Begitu ia dengar dari
Danu bahwa aku dapat tanggapan nari, ia merajuk ingin menonton. Pikirnya aku
nopeng. Danu berhasil meyakinkan mbahnya jika ia bisa menjaga Nalar. Segera
saja keduanya menyusul tanpa sepengetahuanku.
Aku tak tahu kapan mereka sampai. Perhatianku lebih tersita ke
berapa banyak lelaki berwajah berahi yang bisa kukalungi sampur. Mereka
jelas-jelas lebih royal menyisipkan uang kertas ke dalam kembenku. Semakin
malam, misiku tak cukup puas dengan puluhan tangan yang merogoh dadaku. Juragan
beras yang punya gawe konon penggemar rahasiaku. Dia pasti bakal nyangoni aku
duit berlembar-lembar jika bisa mengajaknya tidur. Sayangnya, niatku gagal
ketika menjelang tengah malam, kulihat Nalar dan Danu berdiri termangu di
deretan belakang penonton. Aku baru menyadari kehadiran mereka ketika hanya
tinggal puluhan lelaki dewasa. Garis genit di bibirku mendadak wagu begitu
melihat wajah pasi Nalar. Ia terlihat mimbik-mimbik tepat saat Kang Jono
menyusup belahan dadaku. Aku langsung berlari turun dari panggung. Kuseret
kedua anakku menjauh dari tempat itu. Biarlah malam itu menjadi rezeki Yu
Wasis.
Sepanjang jalan pulang, kugelandang kedua anakku dengan perasaan
kisruh. Di gendonganku, Nalar terus membenamkan wajahnya di cerukan dua buah
dadaku. Sementara Danu tak mengeluarkan suara apa pun. Hanya bunyi srak-sruk
kedua kaki telanjangnya yang bergegas mengikuti langkah kakiku.
Begitu sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan membaringkan
Nalar yang ternyata sudah tertidur. Setelah itu, aku keluar dan menarik tangan
Danu yang sedari tadi berdiri mematung di ruang tengah. Tak kupedulikan
teriakan ibuku yang sibuk bertanya ono opo tho iki sambil membenahi rambutnya
yang acak-acakan selepas tidur. Aku menuju kamar penyimpanan topeng. Setahuku,
Danu sangat takut masuk kamar itu. Setengah kudorong tubuhnya. Tak kupedulikan
tangisnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku mengunci pintu. Masih
sempat kudengar isak Danu dari dalam.
Paginya, aku terbangun oleh igauan Nalar dan panas keningnya yang
menyengat ketiakku. ”Mas Danu. Mas Danu,” igaunya sambil merem. Lirih suaranya
memanggil kakaknya membuatku beranjak dari kasur. Niatku untuk terus mengurung
Danu kubatalkan. Setidaknya, jika merasakan kehadiran Danu, Nalar agak tenang.
Tak kutemukan Danu di kamar hukuman. Kudapati selot pintu pengunci
tak lagi terpasang. Ibu pasti melepaskannya tadi pagi. Tapi saat kutanya, ia
menyanggah. ”Tadi pagi saat bangun, pintunya sudah seperti itu,” ujar Ibu
sambil memarut kelapa. Sejak saat itu, tak lagi kudapati Danu pulang.
Suhu badan Nalar sering naik turun sejak kepergian Danu. Sudah
beberapa kali kubawa ke puskesmas dan dokter yang harganya lebih mahal, mereka
tidak menemukan penyebab pastinya. Bermacam obat, baik yang resmi maupun
alternatif, telah dicoba. Namun, hasilnya tetap sama saja. Nalar hanya terlihat
anteng dan membaik kondisinya setiap kali menggenggam topeng yang dibuatkan
Danu untuknya.
Sejak Nalar tak stabil kondisinya, keuanganku makin
memprihatinkan. Sudah beberapa minggu pabrik tutup untuk sementara. Beberapa
teman mengabarkan perusahaan rokok keluarga yang sudah berdiri sejak 50 tahun
ini akan dijual. Tanggapan tayub pun mulai berkurang. Untunglah dua hari lalu,
Pak Saidi, penabuh gamelan yang sering mengiringi aku nari, mengabarkan ada
acara kampanye yang menginginkan tari topeng.
”Kok bukan tayub Pak?” tanyaku.
”Tayub memang lebih ramai. Tapi kampanyenya ini katanya pengen
pengisi acaranya sopan. Terus karena kampanyenya soal apa sih itu namanya,
kepedulian pada seni bangsa sendiri, makanya mereka ngumpulin beberapa kelompok
seni di daerah ini,” kata Pak Saidi.
”Tapi yang dipilih yang sopan. Itu namanya enggak adil,” protesku.
”Ndak ngerti lah aku. Manut aja. Terus mereka minta topengnya
dicat ijo semua, biar katanya peduli lingkungan.”
”Piye tho, katanya tadi peduli kesenian. Terus sekarang peduli
lingkungan.”
”Yah, namanya juga kampanye biar kepilih. Apa saja biar ketok apik
tho,” tukas Pak Saidi.
Tak kupedulikan tangisan Nalar yang memprotes topeng-topeng di
rumah menjadi hijau. Hanya satu topeng yang tak kuganti warnanya. Topeng
seukuran wajahnya yang dibuatkan Danu untuknya. Aku tak mau ambil risiko
panasnya naik lagi di saat aku menari. Setidaknya setelah aku mendapat uang
bayaran pentas, ia bisa kubawa ke dokter di kota.
Sore itu kuwanti-wanti ibu untuk menjaga Nalar di rumah. Sejak
demam, aku memang tak pernah berani meninggalkannya cukup lama. Nalar masih
ngambek saat aku pamitan. Ia menolak kucium pipi gembilnya. Bahkan, Nalar tak
mau melihatku. Diselusupkan kepalanya di antara kaki mbahnya.
Aku mendapat giliran kedua setelah grup musik angklung yang
menjadi hiburan pertama setelah pimpinan partai yang tengah kampanye memberikan
kata sambutan. Meski bukan kampanye resmi, pesta rakyat yang diadakan sebuah
partai itu dipadati warga desa yang haus akan hiburan. Apalagi sebelum acara
dimulai dibagi sembako gratis.
Dengan takzim kupasang topeng di wajahku. Perlahan aku beranjak
dari duduk bersilaku. Dari posisi yang membelakangi punggung, aku memutar
badanku setelah yakin posisi topeng tak goyah. Saat itulah, ketika kuedarkan
pandangan dari lubang di bagian mata topengku, aku melihat Nalar dan Danu
berdiri di antara para penonton di bagian belakang. Mereka bergandengan tangan.
Tarianku terhenti. Tubuhku beku. Di balik topengku, kulihat Nalar tersenyum.
Sebelah tangannya menggenggam topeng kesayangannya. Perlahan ia memasang topeng
itu di wajahnya. Sambil tetap bergandengan, kedua anakku berbalik. Melangkah
menjauh entah ke mana. Itulah kali terakhir kulihat mereka berdua.