Aku tetap setia menunggu kehadiran bintang dalam setiap
malam, cahaya surya dalam setia paginya.
Aku menyusuri sungai itu dan mengambil sepercik air.
Kemudian aku meminumnya.
“Mengapa rasa air itu berubah? Mengapa tak semanis dulu?
Mengapa berubah menjadi masam? Apakah dirimu baik-baik saja? Apakah engkau
sakit?”.
Aku kembali membatu di gundukan pasir bersama sejuta tanya
dan keping risau dalam jiwa. Namun air itu tak kunjung menjawab lontaran
tanyaku.
Pelangi menghitam, gemuruh berdayuh dan langit pun memberontak
seakan marah pada jagad.
Meskipun menyisakan
warna biru dalam titik terangnya. Garis cakrawala meredup dan akhirnya hilang.
Gelap mataku
memandang jauh deburan sungai. Dimanakah semesta saat itu? Tak ada tempat aku
berlindung di antara gebyuran pilu.
Aku mengikuti ilmu embun yang setia dengan pagi. Aku
menunggu di depan pintu jingga.
Memandang sebuah photo yang tersenyum indah di balik kaca
jendela. Rasaku tak berubah, meskipun rasa air sungai telah berubah menjadi
masam.
Inginku beri beberapa kilogram gula agar air itu berubah
menjadi manis kembali. Tapi apalah daya kekecewaan masih menemuiku dan tak
kunjung pergi.
Aku tak pernah menyesali kesetiaanku padamu, karena aku
yakin suara itu akan kembali menenangkan riuhnya ombak yang menghantam bebatuan
pinggiran sungai.
Jika hakim mengetuk palunya, tak usah kau pertanyakan siapa
yang bersalah, karena itulah aku.
Aku tak mampu
membendung air yang mengalir di sungai kita. Kini air itu berlimpah ruah
menyusuri telaga dalam.
Bahkan menjadi istana milyaran ikan dan penghuni air
lainnya.
Monumen itu semakin kuat merangkul indahnya perempuan
berkerudung putih. Mungkin malaikat tak sudi mengecup lagi meskipun kening
telah membekas karena terlalu lama bersujud.
Sudah, berhentilah menungguku, karena itu akan menyisakan
luka nan lara.
Aku lelah dengan sajak-sajak yang kau kirim lewat aliran
sungai itu.
Aku letih mendengar rintihanmu tentang peta jalan raya hidup
yang tak bertujuan.
Aku telah menemukan kejora di pemondokkan swakarsa.
Aku telah berlabuh dan takkan kembali berlayar dengan sampan
tua yang menepi di pintu jingga.