June 2014 ~ pratamagta

Sunday, June 29, 2014

Aku Letih

 Aku tetap bersimpuh di balik batu yang menggunung di pinggiran sungai.
Aku tetap setia menunggu kehadiran bintang dalam setiap malam, cahaya surya dalam setia paginya.
Aku menyusuri sungai itu dan mengambil sepercik air. Kemudian aku meminumnya.
“Mengapa rasa air itu berubah? Mengapa tak semanis dulu? Mengapa berubah menjadi masam? Apakah dirimu baik-baik saja? Apakah engkau sakit?”.
Aku kembali membatu di gundukan pasir bersama sejuta tanya dan keping risau dalam jiwa. Namun air itu tak kunjung menjawab lontaran tanyaku.
Pelangi menghitam, gemuruh berdayuh dan langit pun memberontak seakan marah pada jagad.
 Meskipun menyisakan warna biru dalam titik terangnya. Garis cakrawala meredup dan akhirnya hilang.
 Gelap mataku memandang jauh deburan sungai. Dimanakah semesta saat itu? Tak ada tempat aku berlindung di antara gebyuran pilu.
Aku mengikuti ilmu embun yang setia dengan pagi. Aku menunggu di depan pintu jingga.
Memandang sebuah photo yang tersenyum indah di balik kaca jendela. Rasaku tak berubah, meskipun rasa air sungai telah berubah menjadi masam.
Inginku beri beberapa kilogram gula agar air itu berubah menjadi manis kembali. Tapi apalah daya kekecewaan masih menemuiku dan tak kunjung pergi.
Aku tak pernah menyesali kesetiaanku padamu, karena aku yakin suara itu akan kembali menenangkan riuhnya ombak yang menghantam bebatuan pinggiran sungai.
Jika hakim mengetuk palunya, tak usah kau pertanyakan siapa yang bersalah, karena itulah aku.
 Aku tak mampu membendung air yang mengalir di sungai kita. Kini air itu berlimpah ruah menyusuri telaga dalam.
Bahkan menjadi istana milyaran ikan dan penghuni air lainnya.
Monumen itu semakin kuat merangkul indahnya perempuan berkerudung putih. Mungkin malaikat tak sudi mengecup lagi meskipun kening telah membekas karena terlalu lama bersujud.
Sudah, berhentilah menungguku, karena itu akan menyisakan luka nan lara.
Aku lelah dengan sajak-sajak yang kau kirim lewat aliran sungai itu.
Aku letih mendengar rintihanmu tentang peta jalan raya hidup yang tak bertujuan.
Aku telah menemukan kejora di pemondokkan swakarsa.
Aku telah berlabuh dan takkan kembali berlayar dengan sampan tua yang menepi di pintu jingga.

Sunday, June 1, 2014

Senja kota Jogja

Senja kota ketika rasa mulai terasa
beriris pedih seiring getir mendera
perlahan biru kuning meninggalkan merah merona
sudah sejak siang tadi awan tak mampu terhempas

merangkak melintas batas
menjelma meniru surya
wahai pemilik dusta
mengapa masih saja tertahan selembar kertas?

saya memiliki rasa?
rasa saudara itu milik siapa?
lantas saudara itu di pihak mana?

terlihat lagi gumpalan getir menderu
menggetarkan lagit yang kian memerah
merekah lagi bunga langit
menetes lagi mewakili setiap jeritan

setiap celcius drajat tak terhitung
setiap langkah yang di paksa melangkah
selamat sore kota jogja
maaf aku tak sempat menatap senja mu