February 2012 ~ pratamagta

Monday, February 6, 2012

Sang Pengantin (Pria tak butuh Pernyataan)


Hari ini saya kesal tapi sama sekali tak bisa saya ungkapkan. jadi saya lebih memilih menyampaikan kekesalah saya melalui cerpen fiktif ini. terkandung di dalamnya makna khiasan yang ingin saya sampaikan. saya mencoba memutar otak untuk menggunakan bahasa bahasa yang agak berat namun terbilang ringan untuk pembaca yang malas berpikir. selamat membaca.

“Kenapa bapak berikan formulir Bunuh Diri Massal 2012 pada dia?” Susi terheran-heran melihat Pak ketua memberi formulir pada wanita yang baru saja keluar. Apa mulai saat itu semua gender diterima pada acara ini?
“Biarkan saja, dia tak akan datang pada hari H nanti” jawab Pak ketua.
“Lalu, kenapa bapak berikan formulir itu pada dia? Dan tadi bapak bilang bapak percaya dia adalah laki-laki” Tanya Susi lagi.
“Kamu perempuan atau laki-laki Susi?” Pak ketua malah balas bertanya.
“Untuk apa bapak tanyakan itu?”
“Jawab saja, kamu perempuan atau laki-laki?”
“Perempuan”
“Itulah bedanya, perempuan dengan laki-laki. Kalian perlu pengakuan lewat pernyataan” jelasnya.
“Lalu?”
“Laki-laki tidak pernah memerlukan pernyataan Susi. Cukup dibuktikan dengan tindakan dan tingkah laku. Nggak perlu seribet tadi”
“OK, lalu apa yang membuat bapak yakin kalau dia nggak akan datang tanggal 22 nanti?”
“Simpel saja, karena dia bukan laki-laki”

***

 Aku bingung, kenapa si ketua tadi akhirnya memberiku formulir. Aku jadi meragukan kewanitaanku. Apa dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi menjadikanku sebagai laki-laki?
“Apa yang anda lakukan jika pacar anda diganggu orang?” pertanyaan pertama dari si ketua.
“Melabrak yang mengganggunya” sebagai lelaki sejati, itulah jawabanku.
“Mana yang anda pilih? Bermain bola atau baseball?”
Ini lumayan sulit, setelah lama berfikir aku jawab “Bola”.
“Ke mana anda menghabiskan uang saku anda, belanja atau tabungan?”
Tentu saja tabungan, aku bukan lelaki kemayu yang doyan berbelanja.
Dan banyak lagi pertanyaan trivia semacam itu. Si ketua itu, entah jenius atau memang gila. Dengan yakinnya dia bilang aku memang laki-laki. Atau aku memang laki-laki? Ah… persetan! Perempuan atau laki-laki sudah tidak penting lagi bagiku. karena satu hal yang pasti, aku ini calon mati.

Malam itu aku pulang agak terlambat dari biasanya.  Saat memasuki ruang keluarga, aku terkejut melihat Arifin sudah duduk di depan televisi, menonton sebuah acara tentang sekumpulan laki-laki yang takut dengan isteri mereka. Pemandangan yang agak kontras mengingat image nya di mataku selama ini.

“Ah, sudah pulang rupanya” ayah menyambutku dengan keramahan palsu.
Bundo langsung menarikku ke arah kamar.
“Ke mana saja kau sampai malam begini baru pulang?” omel bundo.
Kepalaku pening seketika.
“Aku… ak ku…” …
Ah… bodohnya aku, untuk apa lagi begitu terbata menjawab pertanyaan bundo? Sudah saatnya aku menyuarakan apa yang ada dalam pikiran ini.
“Ah, sudah! Tak perlulah kau jawab pertanyaan itu. Hanya a a saja yang bisa kau katakan sejak dulu! Kau temui itu Arifin, dia sudah tiga jam menunggu”
“Aku nggak mau” jawabku datar.
Bundo tercekat, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah.. biru.. ungu.. apalah!!!
“Apa yang kau katakan ini?”
“Aku nggak mau! Biar saja dia menunggu, biar Tuhan mencongkel mata serigalanya itu! Biar saja! Aku nggak peduli!!!”
“Apa maksud kau ini?” amarah bundo meledak.
Belum pernah memang aku melawan seperti ini, aku bukan anak durhaka, aku nggak pernah mau masuk neraka. Tapi kini, neraka sudah di depan mata. Sudah saatnya ku ciptakan surgaku sendiri, walau hanya untuk hari ini… dan mungkin esok hari.

Ayah kini memasuki ruangan. Sempat terlihat tadi dari sudut mataku Arifin memperhatikan kami dari ruang keluarga.
“Ada apa bundo?” Tanya ayah.
Bundo hanya menggeleng sambil memegangi kepalanya.
“Aku nggak akan menikah dengan serigala itu ayah!” kataku yakin.
Kini ayah yang tercekat, wajahnya juga berubah menjadi, yah… kau tahu lah…
“Apa yang kau katakan ini?”
“Dengar ayah, aku nggak peduli dia datang dari keluarga baik-baik atau apa. Toh nabi Nuh juga seorang yang baik-baik, tapi anaknya adalah pengkhianat agama!”
“Al Azhar Kairo, atau manapun itu!!! Ayah sudah terlampau jauh terpengaruh media. Ayah fikir para koruptor yang menggerogoti kehidupan bangsa ini dulunya hanya lulusan universitas lokal saja?”
“Dan, Ya! Aku memang belum pernah ke luar negeri, terimakasih ayah!!! Tapi menemani serigala itu melanjutkan S2? Sekali lagi, terimakasih ayah!!”
Aku berjalan keluar kamar itu langsung ke pintu depan. Selamat tinggal neraka dunia, saatnya mencari surga…
Bersambung........






KLIK DISINI 
untuk memberi tanggapan


BUNUH DIRI MASSAL 2012



Saturday, February 4, 2012

04 February 2012


malem minggu nih.. duh, gak ada kegiatan.. mending mainan imaginasi ah wat nulis cerpen lagi.. 

.........................................
Hari Sabtu ini, 04 February 2012. Delapan bulan menjelang hari pelaksanaan Bunuh Diri Massal 2012. Juga hari dimana matahari bersinar sangat terik. Terik sekali sampai pendingin kantor tak mampu lagi mengendalikan suhu ruangan. Keringat membasahi kemeja saya. Keringat pula yang membasahi kemeja warna pink yang dikenakan Susi.
Dan hari ini, untuk kali pertama, saya mengantar Susi pulang kerja.
Dia duduk di sebelah saya, saya menyetir dengan tenang, walau sebenarnya hati sangat gelisah. Delapan bulan menjelang dan baru kali ini, saya sangat dekat dengan sekretaris saya yang serius dan konservatif itu.
“Mau tahu sesuatu yang jujur atau yang bohong?” kata saya memecah kesunyian. Susi menoleh, raut mukanya berkerut.
“Yang jujur pak?”
“Rumah kita sebenarnya tidak searah.”
“Hah? Jadi bapak bohong waktu menawari pulang bareng dan bilang searah sama saya tadi?”
“Ya.” Kata saya pendek. Tak sependek jalur yang kami tempuh. Rumah Susi ternyata sangat jauh, tak tercatat dalam peta, tak terdaftar dalam GPS Garmin maupun Google Earth.
“Wah, padahal rumah saya jauh lho pak, tempat jin buang anak.” Kata Susi mencoba berkelakar. Saya senang mendengarnya. Saya kira Susi nggak bisa bercanda.
“Tak apalah,” jawab saya, “Toh, cuma sekali ini. Delapan bulan lagi kan… .”
Susi terdiam. Matanya menerawang jauh ke jalanan padat di depan kap mobil, jalanan yang mulai mengecil.
“Setelah 22 Oktober nanti, apakah kamu akan mengingat saya Sus?” Tanya saya.
“Mau jawaban jujur atau bohong?” balas Susi. Saya tertawa tertahan. Sekretaris saya ini ternyata benar-benar lucu juga.
“Yang bohong?”
“Saya akan mengenang bapak sebagai laki-laki yang pemberani, ksatria dan keren karena mati untuk cinta.”
“Yang jujur?”
“Saya akan memulai melamar pekerjaan baru sebagai sekretaris di tempat lain, memulai kehidupan baru, dan melupakan bapak yang mati konyol gara-gara cinta.”
“Wah!” seru saya. “Serius Sus?”
Susi mengangguk cepat.
“Jika pendapatmu begitu, kenapa kamu mau menerima pekerjaan sebagai sekretaris Bunuh Diri Massal?”
“Yah…” desah Susi panjang. “Dari pada saya dipaksa orang tua saya menjadi pegawai negeri. Terikat dan terbungkus baju Korpri sampai mati?” jawab Susi. “Mending saya bekerja begini, jelas kapan selesainya.”
“Jadi saya nggak keren ya?”
“Dulu waktu saya membaca lowongan sekretaris itu, saya pikir bos saya adalah orang gila dan frustasi dengan bentuk yang menyeramkan seperti rencana kegiatan yang ada dikepalanya.” Terang Susi. “Tapi setelah bertemu bapak, saya lihat bapak terlalu keren untuk mati konyol seperti ini.”
“Oh ya?”
“Jadi bapak nggak keren lagi di mata saya!”
“Itu jujur atau versi yang bohong.”
“Jujur.” Jawab Susi serius.
*

Keparat si Susi ini. Benar-benar keparat. Keparat!
Ternyata mengantarnya pulang adalah sebuah kesalahan.
Kesalahan besar! 
Saya bilang juga apa. Itulah mengapa, tak ada peserta wanita dalam Bunuh Diri Massal. Itulah kenapa, saya menolak lagu tema yang dinyanyikan vokalis perempuan. Mereka, perempuan-perempuan itu, bisa dengan sekejap membuat laki-laki berubah pikiran. Sialan!
Delapan Bulan menjelang pelaksanaan, dan saya harus mendengar apa kata Susi. Memunculkan keraguan. Tapi saya mencoba tenang.
“Tapi satu hal Sus, gimana dengan tugas terakhir kamu?”
“Tenang bos, akan tetap saya jalankan.”
“Menurutmu, bagaimana reaksinya?”
“Si Bidadari itu?"
Saya mengangguk. 
"Paling pingsan.”
“Susi?!”
“Yah, menurut bapak gimana?” dia balik bertanya, “Saya menekan bel rumahnya, dia keluar, dan saya menyodorkan sebuah kotak sepatu, dia membukanya, dan melihat segumpal hati berlumur darah?” urai Susi, “Saya juga pingsan kalo lihat begituan pak!”
“Hmmm… menurut kamu?”
“Jujur apa bohong?”
“Yang bohong?”
“Si Bidadari itu bakal menjerit histeris, lalu menangis dan menyesali kenapa bapak nggak datang langsung padanya dan menyatakan isi hati bapak, cinta bapak. Karena ternyata, dia mencintai bapak juga.”
“Yang jujur?”
“Dia akan membuka kotak itu, lalu berujar; Oh hati? Milik siapa? Oh, dia? Dia yang mana ya? Ini lucu, kado yang beda. Ya sudah, tolong dibuang ke bak sampah di belakang ya.”
Makin lama, Susi menjadi semakin keparat di mata saya!
K E P A R A T !
*

“Sejujurnya pak, kenapa bapak tidak mencari sosok lain saja, cinta yang lain?”
Saya mendengar kata-kata jujur Susi itu. 
Membuat mata saya menerawang jauh ke depan, daerah jin buang anak sudah terlihat. Sebuah tempat yang gelap. Dan tiba-tiba saya melihat bayangan cinta itu, semakin jelas dan semakin jelas. Menatap sosoknya dari belakang yang menjauh, semakin jauh dan terus menjauh. Setiap gerak langkahnya, gestur pundaknya yang bergerak, menyayat-nyayat hati saya. Melangkah menjauh, memasuki lorong batu menuju dunianya sendiri.
*

“Mau jujur apa bohong pak?”
Saya segera tersadar dari lamunan yang menggelayut di benak.
“Langsung jujur aja Sus. Sudah capek saya dengan kebohongan.”
“Rumah saya sudah kelewatan.”
Keparat!
Benar-benar keparat!
“Kenapa kamu nggak ingetin saya sih Sus?”
“Lha, mana berani saya membuyarkan imajinasi bapak yang sedang oke-okenya.” Jawab Susi enteng. Saya segera memutar balik mobil, dan kembali menyusuri jalanan sepi perumahan itu.
*

Mobil berhenti, saya keluar mengantar Susi sampai depan gerbang rumahnya.
“Mau yang jujur apa bohong Sus?”
“Terserah bapak, bapak kan bos saya, setidaknya sampai delapan bulan ke depan.”
Saya mendengus. Tapi melanjutkan apa yang ingin saya katakan;
“Romeo selalu mencintai Juliet, tak pernah mencintai yang lain.” Kata saya pada Susi, “Sam Pek selalu mencintai Eng Tay, Pronocitro selalu mencintai Roro Mendut.”
Susi tersenyum pada saya.
“Apapun resikonya, bahkan hingga dibuang ke dunia, Adam selalu mencintai Hawa.”
Susi tersenyum. "Tapi kita tidak pernah tahu kan pak? Kisah cinta mereka itu, jujur atau bohong."



KLIK DISINI 
untuk memberi tanggapan


BUNUH DIRI MASSAL 2012



Friday, February 3, 2012

"IRAWAN SANG PESERTA"


masih ingat Irawan?? iya, dia adalah salah satu peserta Bunuh Diri Massal 2012. baca Bunuh Diri Massal Part.2

Mari kita mengenal irawan lebih dekat,

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Kerlip lampu jalanan Jakarta berpendar hambar di antara gedung-gedung tinggi yang tampak kosong dan letih. Aku memejamkan mata, mendengarkan sepenggal lagu asing yang samar-samar berdesing di kedua telinga ditingkahi suara deru mobil. ANJING! Bayangan sosok dia terus-menerus berputar, menari-nari bagaikan peri neraka yang tak kuasa kusingkirkan dari pelupuk. Dia yang meninggalkan, dia yang merayakan tragedi, dan dia yang merinai kegetiran. Aku masih hidup, tapi jiwaku mati. 
*

Aku tak tahan mendengarkan lagi lagu getir yang mengalun pelan di radio. Kusingkap lengan kiriku, menekan sekilas satu tombol, dan mulai terdengar suara penyiar dengan nada hiperbola,
“Listeners, udah denger belom lo kalo bentar lagi di Jakarta bakal ada acara yang gila banget! Gue gak nyangka ada orang yang berani bikin acara sekontroversial ini, edan pokoknya! Nama acaranya aja serem banget, Bunuh Diri Massal 2012! Iya listeners, bunuh diri, ngilangin nyawa lo secara sepihak atas kemauan lo. Tertarik? Gampang men… Selama lo cowok alias laki-laki, dan ngerasa udah gak punya hati lagi, you should join them! Keterangan lebih lanjut telpon aja Ketua Panitianya, kalo gak salah namanya Pratama, nomernya ada di 085747042XXX......”
Aku tersentak. Kuhentikan mobil secara mendadak. Tak peduli dengan teriak-teriakan nama binatang dari pengendara di belakang, kuambil handphone dan dengan sigap mulai menyimpan nomer kontak Ketua Panita Bunuh Diri Massal 2012. Entah kenapa otak dan hatiku secara reflek bersimbiosis menyuruhku untuk melakukannya. Aku laki-laki, tentu saja. Aku gak punya hati lagi, sungguh jelas, hatiku telah lama hilang. Tapi mati? Gila, itu di luar bayanganku. Walau kadang pernah terlintas, jika aku mati, siapa sajakah yang akan menangisi aku, apakah aku punya secret admirer, bunga apa yang tertabur di pusaraku, dan apakah dia akan datang dan tersenyum menang akan kematianku?
*

Setelah berhari-hari aku mencari keputusan konklusif, dan tentu saja aku tak layak bertanya kepada Tuhan, disini lah sekarang aku berada. Di lantai 15 gedung megah di tengah kota biadab Jakarta. Finance Director, tulisan itu terukir apik di pintu ruang kerjaku. Seakan tak terusik suara deringan telepon dari penjuru kantor, aku hanya menatap lekat formulir pendaftaran Bunuh Diri Massal 2012. Alasan…. Alasan apa yang harus aku tulis? Kenapa mati harus dengan alasan? Apakah kita lahir di dunia juga butuh alasan? I’m always thinking; life is not a matter of reason, but a matter of choice. Ah sudahlah! Kuambil pena berlapis emas, hadiah sebagai lulusan terbaik sewaktu kuliah MBA di US, dan mulai menulis alasan yang realistis buatku, “Saya  cuma mau mati. MATI! HIDUP MATI!” Kutulis dengan kasar dan penuh amarah. Sekali lagi, mati tak pernah perlu alasan. Sama seperti ketika dia meninggalkanku.
*

Ya, namaku Irawan.
Lengkapnya Irawan Tanoeatmajda. Anak konglomerat dengan kekayaan nomer urut 21 di Asia versi majalah Forbes. Tidak ada yang kurang dari sosokku. Pintar, karir yang bagus dan sialnya, aku punya wajah yang rupawan. Siapa suruh wanita-wanita itu jatuh cinta kepadaku? Toh aku tak pernah memohon hati mereka. Barak hatiku terlanjur penuh dengan sumpah serapah, sampai-sampai tiada lagi tempat untuk satu kata cinta. Hei wanita! Laki-laki bukanlah sepatu, yang kalian bisa pilih sesuka hati, dipakai, diinjak, lalu setelah bosan, hanya teronggok berdebu di sudut ruang. Tak sadarkah kalian bahwa kami makhluk berdaging yang punya hati?
Sungguh aku tak dendam. Aku hanya mencari ketenangan. Lelah berlari di antara desingan waktu yang berpendar terlalu lambat. Pelan-pelan ku ambil secarik kertas putih di laci, dan kumulai menuliskan surat ini,
Surat selamat tinggal untuk semua,
Tolong, tulis jawaban untuk pertanyaan-pertanyaanku ini dan letakkan di atas pusaraku bila aku telah terbujur mati.
Cinta itu seperti hujan… Aku tak pernah paham seberapa deras tetes air itu akan terus jatuh dan entah sampai kapan pula hujan itu akan membasahi bumi. Apakah kalian tahu kapan cinta akan datang dan pergi dari hatimu? Jangan tanya aku, aku tak pernah tahu. Karena hujan itu masih terus membasahi hatiku tanpa pesan.
Cinta itu seperti musik… Aku bisa bersenandung lagu yang sama dan menari tanpa dahaga. Tapi kapankah musik cinta itu akan terhenti? Aku tak tahu, karena aku masih terus menari walau musik cinta itu telah berakhir.
Cinta itu seperti sebatang rokok… Sungguh manis terasa di bibir pada awal sentuhannya, terlena dalam setiap hela hembusannya, tapi semua akan terhenti seketika bila aku tak mampu mempertahankan bara yang tersisa. Apakah kalian tahu bagaimana cara mempertahan nyala cinta seseorang yang kita cintai?
Aku sungguh tak tahu. Aku hanya tahu, cinta itu hanyalah penderitaan yang aku nikmati. Dan aku memilih mengakhiri penderitaan itu. Cintaku akan abadi tapi kematian lebih abadi.
Selamat tinggal,
Irawan
*

22 Oktober 2012 jam 10 pagi. Ini saatnya, baliho dan spanduk-spanduk perayaan kematian di Gedung DPR/MPR luar biasa marak, malah bisa dibilang terlalu berlebihan. Warna merah darah mendominasi dekorasi seperti pemuliaan kematian berjamaah.
Sekilas ku melihat Pratama sang Ketua Panitia BDM 2012, ah tak layak sepertinya bila aku tak sekedar menyapanya, memberinya penghormatan terakhir yang layak dia dapatkan.
            “Saatnya telah datang, kamu gak ada rasa takut bos?” Aku bertanya  penuh rasa penasaran.
“Ketakutan itu hanya milik pengecut. Cinta telah menghapus rasa takut itu.”
            “Sungguh bodoh orang yang mati karena cinta.”
“Lebih bodoh lagi orang yang hidup tanpa cinta.”
            “Jadi… Kita hanyalah orang bodoh yang tetap akan bodoh ketika   mati.”
            “Setidaknya kita menjadi orang yang bodoh yang bisa mencintai.”
Dia tersenyum dan aku pun mengangguk setuju.
Kutulis pesan terakhir untuk dia, wanita yang telah membunuh kata cinta,
Lebih baik kubiarkan engkau mencuri hatiku.
Tolong,  jika engkau bosan dengan hatiku, kuburkan dia di sebelah hatimu.
Tak perlu nisan. Karena memang tak ada yang perlu engkau kenang.
*

Ah!
Aku tak sabar lagi untuk mengejang, menggelinjang, dan diam. Aku ingin mati di kursi dewan terhormat. Tanpa cinta. Tanpa jeda. Hanya ingin mati bersama dia. Pesta Perpisahan akan segera dimulai oleh dia. Dia yang tercabik hatinya oleh sosok wanita yang sama.


KLIK DISINI 
untuk memberi tanggapan


BUNUH DIRI MASSAL 2012



Thursday, February 2, 2012

Sekertaris Bunuh Diri Massal 2012


Berdasarkan imail dari pembaca yang bertanya tentang siapa Susi. gini gini, saya garis bawahi, sebagai penulis (emm maksut saya calon penulis), saya melakukan semua ini jauh di luar kehidupan nyata saya dan ini hanya imaginasi jadi sekali lagi saya katakan bahwa Susi itu hanya tokoh fiktif dan tentu saja cew saya bukan bernama susi. tapi pada akhirnya berkat imail tersebut saya mendapatkan ide baru untuk cerpen saya.ini akan menjelaskan konflik yang terjadi di Bunuh Diri Massal Part.5  selamat membaca.
Tidak ada yang tahu, benda apa yang berdiam di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak tampak, dan menggugahnya melakukan sesuatu yang besar.  Tidak ada yang tahu siapa namanya yang sebenarnya, orang-orang hanya tahu ia adalah Pratama sang Ketua Panitia Bunuh Diri Massal 2012
Tapi apalah arti sebuah nama, ketika tindakan menjadi tanda pengenal yang lebih keras dan tajam akan seseorang. Kini Ketua Panitia Bunuh Diri Massal sudah menjadi lebih dari sebuah nama bagi laki-laki yang wajahnya meredup oleh sesuatu yang tidak tampak itu. Sesuatu yang pernah menggerakkan seluruh jiwanya untuk berbuat.
Saya sendiri punya nama yang sering disebut-sebut: Susi. 
Nama itu tertera pada KTP saya. 
Tapi saya merasa tidak punya tanda pengenal diri setajam milik Ketua Panitia. Tidak ada orang yang tahu siapa saya, siapa saya sebenarnya, karna sebenarnya semua ini adalah penyamaran diri.  Tapi saya tahu, sebagaimana saya mengenal siapa Ketua Panitia.
Senja itu, di tepi rel kereta api, seorang anak laki-laki dengan celana pendek merah berdiri. Bocah itu tidak mengenakan apa-apa pada tubuhnya yang atas. Perutnya agak gendut meski tubuhnya kurus. Kakinya besar. Pada salah satu dari kedua tangannya yang berwarna sangat cokelat, sebuah bungkus kertas memanjang dalam genggamannya. Orang-orang dewasa melewati bocah itu ketika suara azan memukul-mukul senja, sehingga membuat senja bertambah gelap. Tak ada yang peduli pada bocah itu, seperti tak ada yang peduli pada senja yang sendiri. Semua orang melewatkannya begitu saja.
Tapi anak perempuan ini bukanlah bagian dari orang-orang itu, bocah perempuan ini melangkah dengan lambat di belakang bocah laki-laki yang punggungnya diliputi garis-garis tulang yang tegas itu.
*

-Ngapain, del?
Bocah laki-laki yang dipanggil ‘del’ itu menoleh, tapi tidak mau memandang bocah perempuan.
-Cah lanang kok dolanan kembang api! (Anak laki-laki kok mainnya kembang api!)
-Ngopo to? Urusanku to! (Emangnya kenapa sih? Suka-suka dong!)
-Yo aku ngomong  yo ben to? Urusanku to! (Aku juga ngomong biarin, suka-suka dong!)
Si ‘Del’ diam, juga bocah perempuan. Tapi bocah perempuan tidak bertahan lama, pura-pura bicara pada diri sendiri, dia terus saja menggoda.
-Cah lanang kuwi dolanane mercon. Ben ono suorone, ben ono mantep-mantepe. (Anak laki-laki tuh mainnya mercon. Biar kedengeran, biar sangar.)
-Yo kono goleken kono cah lanang sing nyekel mercon. ora sah nyedhak-nyedhaki cah lanang sing nyekel kembang api. (Ya sana cari anak yang megang mercon, gak usah deket-deket anak yang main kembang api.)
-Heh,gudel! aku ki mung takon ngopo kowe kok dolan kembang api, ora mercon koyo liyan-liyane? Sopo bilang aku seneng cah lanang sing dolan mercon?Aku mung takon. Ngerti wong takon ora?Wingi ulang tahunku ora teko nang siskamling ngopo? (Heh, anak sapi! Aku kan cuma tanya kenapa main kembang api, gak main mercon aja kayak anak-anak lainnya? Siapa bilang aku seneng sama anak laki-laki yang main mercon? aku cuma tanya. Ngerti orang tanya gak? Kemarin ulang tahunku kok gak dateng ke siskamling?)
-Ora seneng rame-rame! (Gak seneng rame-rame!)
Lanskap semakin gelap. Bocah lelaki mulai mengeluarkan kawat berlumur mesiu dari bungkus kertas berwarna merah di tangannya. Bocah perempuan itu diam, tidak sanggup lagi menggoda atau membuka mulutnya ketika satu demi satu kawat itu memercikkan bunga api. Di antara mereka tidak ada yang berkata-kata, seperti dalam sajak “Asmaradana”.  Bocah perempuan memandangi kembang api yang sedang menyala, kemudian memandangi si Gudel. Si Gudel terus memandangi kembang apinya. Ketika sebuah kereta api melintas di depan mereka berdua, tetap tak ada yang beranjak. Deru yang memekakkan itu justru mempertegas keindahan dan keheningan yang dihadirkan kembang api. Si Gudel sempat melirik dengan sinis kepada si bocah perempuan yang sedang memandanginya. Bocah perempuan malah tersenyum, di tubuhnya yang mungil seakan ada hati seorang ibu.
-Mesam-mesem! Seneng to kowe karo dolananku? (Senyam-senyum! Seneng kan sama mainanku?)
-Iyo. (Iya.)
-Yo berarti kowe yo seneng karo sing ndhuwe dolanan to? (Ya berarti seneng juga sama yang punya mainan kan?)
-Njelehi, del! Aku sesuk arep ndelok Monas! (Najiz! Aku besok mau lihat Monas!)
Bocah perempuan itu berlari meninggalkan tepi rel, meninggalkan bocah lelaki. Wajahnya merah, entah karena apa.
-Sesuk nek wis bali rene meneh ngancani aku meneh yo (Besok kalo udah pulang temenin aku lagi ya), teriak si Gudel.
*

Bocah perempuan itu, yang telah berlari meninggalkan tepi rel, adalah putri seorang guru. Beberapa tahun telah dihabiskannya di kampung kereta itu, selama ibunya mengajar sebagai honorer. Bocah perempuan itu berlari lalu menangis di kamarnya yang sempit. Dia menangis karena besok keluarganya akan pindah ke luar daerah karena ibunya sudah diterima menjadi guru tetap. Dia menangis karena hari itu dia merasa menemukan seorang teman. Dia menangis karena dia harus segera meninggalkan seorang teman, sebelum sesuatu terucapkan.
Nama saya Susi, lahir tanggal 11 Oktober 1990. Begitu yang ada di KTP. KTP palsu sungguh gampang dibuat. Nama palsu, tanggal lahir palsu, gampang dibuat. Tapi tidak selalu gampang menciptakan perasaan palsu, hati yang palsu. Bertahun-tahun sejak senja itu saya hidup dalam rasa kehilangan. Setiap tahun, setiap tiba bulan puasa, saya selalu membeli sebungkus kembang api. Setiap hari, mimpi saya adalah memberikan berbungkus kembang api itu kepada seseorang. Dan ketika saya melihat selebaran-selebaran, spanduk-spanduk, juga kartu nama berserakan, saya tahu saya telah menemukan orang itu.
Ya, 22 Oktober adalah hari jadi saya dengan sang ketua, dan saya bukanlah bidadari seperti yang disebut-sebut Ketua Panitia. Saya sungguh yakin, seluruh kembang api yang saya simpan bisa menggagalkan niatannya di saat-saat terakhir. Tetapi saya juga sadar, bahwa saya tidak bisa memberikan senja itu lagi buatnya. Saya telah memiliki seseorang, jauh di seberang sana, menantikan saya kembali dari petualangan dan penyamaran ini. Seseorang yang mencintai saya dan buah hati saya. Entahlah, saya tidak tahu lagi misi saya menjadi sekretaris pura-pura di sini.
Saya bisa saja menyerahkan seluruh kembang api itu sekarang. Tetapi mungkin kali ini seseorang itu harus bermain dengan sesuatu yang lebih besar, lebih nyaring, lebih menggelegar ketimbang sekadar kembang api. Cinta telah membantunya hidup selama ini, dan cinta yang telah menggerakkannya berbuat sesuatu yang besar, menebus kehilangan yang besar. Bunuh Diri Massal adalah kalimat lain untuk menggambarkan ribuan kembang api yang menyala bersamaan di sebuah senja, dan habis sebelum pagi datang.
*

mencintai cinta
adalah kehilangan yang besar
tak ada tubuh di dalamnya
tak pula jantung yang rela kaubedah
tak ada masa silam yang sehat
masa depan pun perlahan musnah

jika mencintai cinta
kita hanya harus terus bertahan
dari segala apa dari yang bukan apa-apa
tak ada yang dapat melihat
apa yang ditinggalkan seorang kekasih
kecuali bagi yang berani tinggal di dalam darahnya
yang harum karena sayatan orang-orang
dan mendidih karena jalan yang ditempuhnya sendiri

-Susi-
***

KLIK DISINI untuk memberi tanggapan

BUNUH DIRI MASSAL 2012



Wednesday, February 1, 2012

The Big Bang Prophecy


ini merupakan kilas balik dari cerpen Bunuh Diri Massal 2012 pada part 6 yang saya upload beberapa waktu lalu. ntah iseng atau gimana tapi ada pembaca yang menanyakan kenapa saya memilih lagu "The Big Bang Prophecy" untuk jadi lagu tema di cerita saya itu (kalo mau download lagunya silahkan klik DISINI). kalo alasan sebenarnya si karna waktu saya menulisnya, saya sedang mendengarkan lagu itu dan kalo alasan di cerpennya kira kira seperti dibawah ini.. silahkan membaca.


......................
Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar!
Juga terdengar suara teriakan Susi.
Saya dan beberapa orang yang ada diruangan kantor saya, terkejut setengah mati. Setengah mati saja, karena sisa mati yang lain akan resmi di lakukan pada 22 Oktober nanti.
Laki-laki bersetelan jas lengkap masuk ke dalam ruangan dengan langkah tegap. Dia memakai sepatu kulit buatan Italia, Cesare Paciotti. Sepatu yang juga di pakai oleh Bruce Willis.
Tapi tunggu dulu.
Sebelum Tuan Paciotti mendobrak masuk, saya tengah meeting bersama beberapa orang; meeting persiapan akhir untuk acara 22 Oktober nanti.
Sosok pertama yang duduk di kanan saya adalah pengusaha katering. Saya harus siapkan katering untuk seribu peserta; mereka harus menghadap maut dengan perut kenyang. Jangan sampai, sejarah mencatat, negeri ini membiarkan rakyatnya mati yang hendak mati dengan sadar, melakukannya dalam keadaan lapar. Toh yang terpaksa mati kelaparan sudah banyak. Maka, prioritas pertama adalah menyediakan katering yang enak, mewah dan mengenyangkan, tak perlu bergizi.
Pengusaha katering itu; Ade Putri.
Anda kenal dia?
Oh, dia orang yang merespon pertamakali pengumuman adanya kegiatan Bunuh Diri Massal ini pada 31 Agustus lalu di situs resmi. Anda lupa? Saya akan mengingatkannya;
delete-reply
adeputri wrote on Aug 31
Selamat bunuh diri. Kalau nanti butuh catering service, baik pada waktu nongkrong-nongkrong sebelum bunuh diri, atau waktu tahlilan etc., bisa hubungi eike yesss. Pembayaran di muka, sebelum bundir. Woohoooo!

Dan saya memilih dia, si Ade Putri ini, untuk menjadi pengusaha penyuplai katering. Official Catering Partner Bunuh Diri Massal 2012, begitu title dalam lembaran kontrak yang disiapkan Susi.
Ade tengah melakukan presentasi pada saya; tentang makanan apa saja yang akan dia siapkan pada 22 Oktober nanti. Makan berat, atau cemilan ringan. Yang bergizi, atau yang cuma enak dimulut. Berapa kandungan kalori yang disiapkan agar setruman mampu mengalir tanpa terhalang lemak badan? Itu yang sedang kami hitung dan pertimbangkan.
Tapi sebelum membahas soal makanan, saya lebih dulu membuka meeting dengan membicarakan tema yang sangat penting. Tadi saya bilang tema kan? Yah, lagu tema. Theme song!
Dan gadis itu, yang datang dengan membawa sebuah i-pod hitam dalam genggaman jemarinya, duduk disebelah kiri saya. Namanya, Irene.
“Kelamin saya membuat saya tak dapat ikut acara ini, jadi saya membuatkan lagu untuk Anda dan seluruh peserta.” Kata Irene. Saya tersenyum mendengarnya, suaranya sangat merdu.
“Tapi maaf, bahkan suara perempuan pun…” kata saya kemudian, “Maksud saya, lagu yang dinyanyikan oleh vokal perempuan seperti Anda, juga sangat dilarang untuk diperdengarkan.”
Wajah Irene berkerut. Tapi dari sudut saya melihatnya, kerutan itu membuatnya tampak lebih cantik.
“Kenapa?” Tanya gadis itu kemudian.
“Yah, well..” kata saya mencoba memberinya pengertian. Perempuan harus dimengerti bukan? “Begini…” lanjut saya, “Kita semua, 999 peserta termasuk saya, akan melakukan ritual Bunuh Diri Massal itu.”
“Saya tahu, makanya sebelum acara itu, saya sodorkan lagu tema ini.”
“Sebentar,” ujar saya, “Jangan menyela.” Perempuan memang nggak sabaran. “Sekarang kamu bayangkan, Irene,” kata saya melanjutkan, seraya mendekatkan wajah saya satu jengkal dari wajahnya, menatap mata Irene yang dalam. “Kamu bayangkan, apa jadinya, jika kami semua, laki-laki yang akan mati, tiba-tiba mendengar alunan suara seorang perempuan? Suaramu?”
“Aku tahu!”
Saya menoleh ke samping kanan, Ade Putri mengacungkang jari telunjuknya. Saya melempar senyum padanya. Si pengusaha katering itu melanjutkan kata-katanya; “Tentu acara itu akan mundur kan?”
“Parah lagi, bisa jadi para peserta mendadak mengundurkan diri,” tambah saya, “Karena tiba-tiba, mereka teringat ibunya, teringat pacarnya teringat perempuan-perempuan yang menghantui hidup mereka selama ini.” Lanjut saya, “That’s why, peserta perempuan dilarang keras ikut dalam acara ini. Acara ini didedikasikan untuk mereka!”
Sebelum laki-laki menjadi idiot hanya gara-gara mendengar suara perempuan!
“Dan acara yang sudah terencana dengan baik ini menjadi buyar hanya gara-gara mendengar suara lagu yang kamu nyanyikan.” Kata saya pada Irene. Mimik gadis itu masih berkerut. Irene mendorong i-pod hitamnya yang sedari tadi tergeletak diatas meja ke arah saya.
Saya melirik pergerakan tangan lentiknya di atas meja.
“Dengarkan dulu.”
“Sudah saya bilang kan, kamu masih nggak ngerti?”
“Dasar batu, dengarkan dulu!” Irene berkeras.
“Baiklah.”
Tangan saya bergerak meraih earphone putih itu, dan hendak menyelipkan keduanya diantar lubang telinga saya. Ketika tiba-tiba…

Brakkkkk!!!
Tuan Cesare Paciotti mendobrak masuk diiringi teriakan histeris Susi.
“Anda!”
“Saya?”
“Ya Anda!” kata laki-laki yang sudah berdiri dan menunjuk wajah saya dengan telunjuknya. “Saya mencari Anda!”
Saya mencoba tenang.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya saya, “Anda siapa?”
Tuan Cesare Paciotti itu tersenyum sinis. “Anda tak perlu tahu siapa saya, tapi saya minta, Anda menghentikan kegiatan bodoh dan konyol ini!”
Sekarang saya sedikit emosi.

Mata saya mulai memeriksa sosok di hadapan saya ini. Celana kainnya bermerek, jas mahal, dasi mewah, dan penjepit emas. Serta jam tangan emas di pergelangan tangan kanan. Dan sepatunya tentu saja, seperti saya bilang tadi, Cesare Paciotti, merek sepatu kulit mahal dari Italia, yang saking mengkilatnya, membuat sebutir debu terpeleset jika mencoba-coba hendak mendarat diatasnya.
Dia, laki-laki berjas itu, mendekatkan wajahnya ke muka saya, persis seperti yang saya lakukan pada Irene tadi.
“Anda dengar baik-baik,” katanya dengan berbisik. Saya menatap matanya yang membara. “Anda harus hentikan kegiatan bodoh dan konyol Anda ini, sekarang juga, detik ini juga.”
Saya terdiam mendengarkan.
“Kalau tidak…”
“Ah, ancaman…” desis saya. “Anda tahu, ada beberapa kata popular di negeri ini; barang siapa adalah yang paling popular, diikuti kalau tidak…” ujar saya.
“Saya tidak peduli, mau kata popular atau tidak,” kata laki-laki itu kemudian, “Saya akan hentikan kegiatan kamu ini, bagaimana pun caranya, sampai detik terakhir nanti.”
Brakkk!!
Tangan laki-laki itu menghantam permukaan meja, menggebrak, jemarinya menyenggol i-pod Irene, menekan PLAY…
Membuat sebuah lagu terputar ditelinga saya;
Yes we know that our earth is sick
And we're desperately trying to cure it
So let's just drop something atomic
As an action to clean it…

Suara vokal seorang laki-laki.
Lagu yang menggelisahkan. Segelisah hati saya yang mendadak muncul ketika Tuan Cesare Paciotti melangkah pergi.
Lagunya masih mengalun di telinga saya;

Then the World will soon come to its end
but we'll still be together holding hands
Being the new Adam and Eve
In the sunset of the New Year's Eve…



KLIK DISINI untuk memberi tanggapan

BUNUH DIRI MASSAL 2012