September 2013 ~ pratamagta

Friday, September 20, 2013

Ketika Waktu

seperti mimpi ketika waktu
seperti senja ketika waktu
seperti badai ketika waktu

seperti ketika aku melangkah tertatih
seperti itu aku tertunduk melaluimu
seperti ketika hatiku terasa terinjak
seperti itu ketika aku mendengarmu berucap

seperti mimpi ketika waktu
seperti saat kamu melangkah
seperti itu kau memandang rendah
seperti ketika aku ceritakan keadaanku

bukan dorongan ketika waktu
bukan harapan yang aku terima
seperti injakan ketika waktu

bukan hanya tekanan ketika waktu
sebuah tamparan pedas kehidupan
ku korbankan semua perasaan ketika waktu
melihat langkah mu menjauh

seketika itu aku berlari
tetap pada anganku ketika waktu
ku kejar mimpiku tanpa batas waktu

aku berjanji akan menjadi paku ketika waktu
ketika kau hantam 
keyakinanku berdiri kokoh ketika waktu

mulutku berucap lirih ketika waktu
semua hantaman ketika waktu
memacu laju
menampar telak sampai ke otakku

ku pinta pada waktu
hadirku di hadapanmu
ku pinta pada telingamu
mendengar deretan terimakasihku

semua tamparan kehidupan ketika waktu
membuatku meraih anganku

Tuesday, September 10, 2013

Rintihan Komputer Tua

tataplah tegas rangkaian bintang-bintang. Cahayanya sedang gemerlapan bak lentera neon yang teramat
menyilaukan mata. Berhayalah sedemikian rupa, mungkin aku dapat menggapainya.
Namun apakah benar itu sebuah bintang atau deretan lampu jalan?
itu kah impian dan cita cita mu?
Tataplah jauh-jauh sana.
Bukankah kamu tak pernah menatap yang seperti itu sebelumnya, apa benar itu bintang? Salah satu bintang terbesar dan menyilaukan mata mu hingga melucuti segala ego mu.
Sibuklah terus dengan semua hal ini. Memangnya kau tak peduli pada mesinku yang memanas.
Siang malam engkau duduk di depanku, meninggalkan orang yang kau sayangi. Membiarkannya pergi berlalu.
Memangnya apa yang kau pandang. Deretan angka,huruf dan symbol yang kau sebut Script.
Semua rangkaian bintang di atas sana pun menyangkal apa yang kau pandang itu bagian dari hidupmu.
Masa bodoh berlarilah tinggalkan kekasihmu itu yang sedang menanti setiap tetes perhatianmu, karena egomu yang mementingkanku.
Ribuan jiwa memandang lesu engkau.
Ribuan bintang di langit menertawakan mu.
Sepatu kulit yang kau semir tadi pagi tak kau hiraukan menyentu tanah penuh becek.
Tatapan sayu mu membulat tajam ke layarku.
Ribuan jiwa menangisi apa yang mereka lihat. Tapi engkau masih tak logis masih saja menatapku, menekan setiap tombol di keyboardku.
kenapa kau tak berteriaklah dan melolonglah sesuka hati mu. Berjam jam diam tak bersuara.
Ikutlah menangisi kemalangan mu.
Semua angan tentang rangkaian bintang yang kau pandangi penuh tanya itu, hanya melambungkan asap tebal ke atmosfir bumi menembus tingkap-tingkap langit.
Teruslah tersedu pilu memikirkan setiap lembaran lembaran itu. Kertas kertas ini yang sedang di timang lembut oleh mu, pantas saja kekasihmu meronta.
Semua ego tentang kegiatan mu membuat mu gila dan membatu hati mu.
Teruslah menangis karena perutmu melilit, teruslah menangis karena engkau kini lemah tak berdaya.
Dan teruslah menatap bintang di langit malam, dengan tatapan seduh mu itu.
biarkan tubuhmu terbaring sejenak. Tinggalkan aku sejenak. Tataplah sejenak dunia luar.
Esok kau hanya berharap menemukan sedikit senyum pada dirimu.
Esok pula gerangan sosok bayangan mu tercium halus melewati embun malam di kamar ini lagi. Sambil menatap layarku, di temani lampu kamar yang redup dan kebisingan di luar kamar mu.
matamu memerah bak bunga mawar merekah..
Engkau bingung engkau putus asa sesaat, menatap bayangan semua orang yang mendukungmu, jauh disana
Tersenyum dan mendengarkan ia memanggil mu! Akhirnya engkau mempunyai waktu untuk berbaring dengan senyuman.
Engkau hanya tersenyum membawa semua cerita yang engkau miliki untuk mereka dengar. seseaat kembali menatapku.
Sekejab dua bintang di langit bercahaya sangat terang, mungkin engkau telah bergabung menjelma menjadi dua bintang di langit malam saat ini.
Hembusan embun angin malam membawa melodi kesan dingin dan suram.
Semangat mengalir deras hingga menyongsong pagi hari nanti, andai aku dapat berucap, ku paksa kau meninggalkanku sejenak. Sayang aku hanyalah serangkaian mesin yang kau sebut komputer.

Tuesday, September 3, 2013

happy birthday honey

“Huft...SMK Telkom Purwokerto” sekali lagi gadis itu menghembuskan nafas panjangnya.

“Lo kenapa sih? Daritadi menghela nafas kayak ikan kehabisan oksigen!” Komentar cewek berambut sebahu.

“Gue bingung, gimana gue harus bilang sama Adit soal kepindahan gue ke Purwokerto.”

Cewek bernama Rindy tersebut menoleh pada Rachmi, sahabatnya. “Lo beneran mau pindah ke Purwokerto?”

Rachmi mengangguk. “Bokap gue harus ngurus bisnisnya disana. Gue bingung, Rind! Lo tahu kan akhir bulan Adit ulangtahun, sedangkan lusa gue udah harus pindah.”

“Hei! Cewek-cewek lagi pada gosipin apa nih? Kayaknya seru banget.” Adit, cowok yang sedang menjadi topik perbincangan Rachmi dan Rindy tiba-tiba muncul.

Rindy melirik Rachmi sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Kita lagi ngebahas soal kepindahan Rachmi ke Purwokerto.”

Rachmi membungkam mulutnya, dia tak percaya dengan jawaban yang dilontarkan Rindy. Sungguh, hatinya belum siap untuk menjelaskan semuanya pada Adit.

“Pindah? Rachmi mau pindah ke Purwokerto? Lo bercanda kan, Rind?” Adit bertanya gusar.

“Gue serius! Kalau lo nggak percaya, tanya aja tuh sama orangnya.”

Adit menggeser duduknya disamping Rachmi. “Sayang, benar kamu mau pindah ke Purwokerto?”

Rachmi menggigit bibirnya. “Iya, lusa aku harus pindah.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Adit menatap mata Rachmi.

“Aku--aku takut! Kalau aku cerita, kamu akan memutuskan hubungan kita.” Dua bulir kristal bening menetes dari kedua pipi Rachmi. “Aku belum siap kalau semua itu terjadi.”

“Sayang, kenapa kamu bisa punya pikiran sepicik itu? Aku nggak mungkin memutuskan hubungan kita cuma gara-gara kepindahanmu.” Adit menghapus airmata Rachmi. “Atau mungkin kamu yang ingin mengakhiri hubungan ini?”

Rachmi menggeleng kuat-kuat. “Itu keinginan terakhir dalam hidupku.”

“Tapi kamu harus janji, kamu tetap harus datang pada pesta ulangtahunku. Oke?” Adit mengusap lembut rambut Rachmi.

“Ehem! Bisa nggak kalian akhiri acara drama mellownya? Gue empet nih cuma jadi obat nyamuk.” Rindy menyeletuk.
*
Tiba saatnya Rachmi harus pindah. Sayangnya Adit dan Rindy tidak bisa mengantarnya karena harus ikut pelajaran di sekolah. Terlebih lagi hari ini ada tiga ulangan, jadi Rachmi harus mengerti bahwa kekasih dan sahabatnya tidak bisa berada di Airport untuk melepas kepergiannya.

Sesungguhnya Rachmi merasa sedih harus jauh dari Adit, hubungannya yang sudah berlangsung hampir dua tahun apa sanggup bertahan saat jarak memisahkan? Dirinya takut, Adit akan melupakannya. Atau mungkin dia yang melupakan Adit?
*
Hari baru, kota baru, suasana baru dan sekolah baru. Rachmi menjejakkan kakinya malas menuju ruang Kepala Sekolah, ditempat dia akan menuntut ilmu. SMK TELKOM Purwokerto adalah salah satu SMA favorit yang terletak di Purwokerto Pusat. Kini, Rachmi menjadi salah satu penghuni disana.

“Kamu murid pindahan dari Surabaya itu kan?” tanya seorang lelaki berkumis tebal yang tak lain adalah Kepala Sekolah SMK TELKOM Purwokerto.

“Iya, Pak!”

“Kamu masuk dikelas XI TJA-1, saya sudah menyuruh ketua kelas untuk kesini.”

Tok..Tok..Tok..

“Permisi, Pak!” Seorang cowok bersuara bariton memberi salam dan masuk kedalam ruangan.

“Farid, ini murid pindahan yang Bapak ceritakan. Tolong kamu bantu dia beradaptasi selama beberapa hari.” Ucap Kepala Sekolah pada cowok bernama Farid itu.

“Rachmi, mulai sekarang kalau tidak ada yang mengerti kamu bisa tanyakan pada Farid.” Lanjut Kepala Sekolah mengagetkan Rachmi yang sedang asyik menunduk menekuri sepatunya sambil memikirkan Adit.

Demi kesopanan, akhirnya Rachmi menoleh pada cowok disampingnya dan tersenyum. Tapi perlahan senyumnya lenyap ketika mengenali sosok cowok itu. “Farid? Kamu Muhammad Al Farizzi kan?”

Farid mengangguk. “Dan kamu Rachmi kan?”

“Kalian sudah saling mengenal? Bagus kalau begitu! Tapi lanjutkan nostalgianya diluar, Bapak banyak tugas yang harus dikerjakan.” Tegur Kepala Sekolah dengan halus, melihat kelakuan kedua anak didiknya tersebut.

“Maaf, Pak! Terimakasih.” Rachmi meninggalkan ruang Kepala Sekolah diikuti Farid di belakangnya.

Rachmi berjalan cepat, dia mengutuk takdir yang mempertemukannya lagi dengan Farid. Sungguh, Rachmi enggan harus bertatap muka dengan cowok itu.
“'Rachmi! Tunggu! Kenapa lo menghindari gue?” Farid mencekal tangan Rachmi, menahannya pergi.

Rachmi menepis pegangan tangan Farid. “Jangan sok akrab!”

“Tapi bukankah hubungan kita memang akrab? Apa lo lupa semua kenangan tentang kita?”

“Hah? Setelah tiga tahun lo menghilang, sekarang lo bilang kenangan kita? Buat gue, kenangan kita udah mati!”

“Gue minta maaf, Rachmi. Sungguh gue gak bermaksud ninggalin lo begitu aja. Gue bisa menjelaskan semuanya.” Farid menatap Rachmi sendu.

“Maaf, tapi penjelasan lo sudah terlambat! Sekarang gue sudah punya kekasih yang mencintai gue seperti gue mencintainya.”

Farid terenyak mendengar perkataan Rachmi, padahal selama ini dirinya selalu menanti Rachmi. Hatinya tak pernah lepas dari sosok dan nama Rachmi. Tapi, dengan gampangnya Rachmi berubah? Melupakannya begitu saja?
***
“Hallo? Adit?” Rachmi bersuara ketika pada deringan kelima akhirnya Adit mengangkat telepon.

“Sori, gue Rindy. Adit lagi sibuk, Rachmi. Lo tahu kan, lusa Adit ada pertandingan break dance?”

Sejenak, Rachmi merasa kesal. Kenapa sudah dua hari ini Rachmi telepon Adit, selalu saja Rindy yang mengangkat. “Please, bentar aja, Rind! Gue kangen sama Adit.”

“Gimana ya? Lo tuh harusnya bisa ngertiin Adit, dia butuh banyak konsentrasi. Ntar gue sampein deh ke Adit.”

Tutt..tutt..tutt
Telepon diputus

“Apa sih maksud Rindy? Kenapa sekarang dia berubah?”

Memang sebenarnya Rindy adalah teman Adit dari kecil. Sedangkan Rachmi baru mengenal Rindy dua tahun belakangan ini.

Farid menepuk bahu Rachmi. “Lo kenapa, Rachmi?”

“Gue kangen Adit--cowok gue. Udah dua hari dia gak ada kabar.”

“Daripada lo sedih dan manyun terus, mendingan lo ikut gue sekarang.” Tanpa menunggu jawaban Rachmi, Farid menarik pelan tangan Rachmi dan menuntunnya ke mobil.

“Sebenernya kita mau kemana sih, Rid?”

“Ketempat favorit lo saat lo sedih.”

Farid menepikan mobilnya di parkiran Baturaden.

“Mau apa kita kesini?”

“Kan tadi gue udah bilang kalau gue mau ngajak lo ke tempat favorit lo, biar lo gak sedih lagi.” Farid tersenyum. “Sekarang mending lo turun.”

Rachmi menuruti Farid, tapi tetap saja pikirannya masih belum bisa lepas dari Adit.

Rachmi tertegun ketika Farid mengajaknya masuk ke suatu tempat di Baturaden bagian atas. “Lo masih ingat?”

“Gue selalu inget apapun tentang lo. Lo kan selalu bilang, saat pikiran lo lagi kalut atau sedih semua bisa terobati saat lo menatap bintang.”

Rachmi menitikkan airmata. Entah apa yang membuatnya menangis, Adit atau Farid?

“Kenapa lo nangis? Lo gak suka?”

Rachmi menggeleng.

“Atau lo ingat soal cowok lo? Lebih baik lo lupain cowok yang cuma bisa buat lo nangis.” Farid menyentuh dagu Rachmi dan mendongakkannya. “Disini ada gue, yang lebih perhatian sama lo. Lupain aja cowok lo itu.”

“Gue sayang sama dia...”

“Sstttt....” Farid mendekatkan wajahnya pada Rachmi, dengan perlahan tapi pasti Farid mengecup lembut bibir Rachmi.

Untuk beberapa saat Rachmi menikmati kecupan lembut itu. Tapi tiba-tiba bayangan Adit terlintas di otaknya.

“Lo apa-apaan sih!” Rachmi menampar Farid dan pergi meninggalkannya.
***
Sudah beberapa hari ini Rachmi menghindari Farid. Bahkan untuk sekedar melihat wajahnya saja Rachmi malas.

“Ya Tuhan, semoga Adit yang angkat.” Rachmi berdoa dalam hati ketika menekan tombol hijau di handphonenya.

“Hai sayang, kok tumben telepon?” Suara Adit terdengar lembut di seberang sana.

“Adit? Kemana aja kamu? Aku telepon kamu selalu sibuk.”

“Maaf sayang, kamu kan tahu kalau aku ada turnamen break dance. Dan aku senang banget kelompokku maju ke babak final.”

Mendengar suara Adit yang bersemangat entah kenapa Rachmi jadi tidak ingin marah lagi.

“Sayang, maaf ya aku harus latihan lagi. Nih ada Rindy, katanya dia kangen mau ngomong sama kamu.”

“Oke deh, semoga kelompok kamu jadi juara ya. Love you.”

“Makasihhhh sayang.”

“Kenapa Adit gak balas ucapan cinta gue? Apa dia gak denger?” Rachmi berkata lirih.

“Lo pengen tahu kenapa Adit sekarang berubah sama lo?” Tiba-tiba suara Rindy terdengar dari seberang sana.

“Rindy? Emang lo tahu kenapa Adit berubah?”

“Sebenernya gue gak enak mau cerita sama lo. Tapi karena lo temen gue, jadi lebih baik gue kasih tahu lo yang sebenernya.”

Rachmi makin penasaran dengan perkataan Rindy yang dirasa berputar-putar. “Soal apa?”

“Udah lama Adit curhat sama gue kalau dia jenuh sama hubungan kalian. Sebenernya dia pengen mengakhiri semuanya, tapi dia menunggu waktu yang tepat.”

“Hah? Maksud lo apa?”

“Kalau lo emang sayang sama Adit, sebaiknya lo yang mengakhiri hubungan kalian. Daripada Adit tersiksa harus terus berpura-pura mencintai lo.”

“Lo--bercanda kan, Rind?”

“Buat apa gue bercanda soal beginian? Apa lo gak ngerasa kalau Adit ngejauhin lo? Setiap lo telepon selalu gue yang angkat, itu karena Adit malas mau ngomong sama lo.”

“Oke...kalau itu membuat Adit bahagia gue rela.” Rachmi memutuskan sambungan telepon dengan gemetar, kristal bening perlahan mengalir dipipi tembamnya.

***

Satu minggu sudah Rachmi tidak pernah lagi menghubungi Adit, begitu juga sebaliknya Adit tidak pernah menghubungi Rachmi. Rachmi amat sangat terpukul mengetahui ternyata semua perkataan Rindy benar adanya.

Bahkan, hari ini saat ulangtahun Adit, Rachmi sengaja melupakannya. Ucapan ulangtahun maupun kado yang sudah dipersiapkannya kini sudah ada ditempat sampah.

“Rachmi, sebaiknya lo sekarang ikut gue.” Farid mengagetkan Rachmi yang sedang asyik merenung.

“Kenapa sih lo selalu ganggu gue? Semenjak lo datang hidup gue hancur!”

“Gue minta maaf udah bikin hidup lo hancur.” Farid terpukul. “Tapi...sebaiknya lo sekarang lo ikut gue. Karena ini antara hidup dan mati.”

“Lo ngomong apa sih? Gue gak paham sama sekali.”

“Kalau gue jelasin sekarang keburu terlambat.” Dengan tergesa Farid menarik tangan Rachmi dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan Rachmi diam saja, pikirannya sibuk menerka-nerka kemana Farid akan mengajaknya.

“Rumah Sakit Fatimah? Ngapain kita kesini? Siapa yang sakit?”

“Penjelasannya nanti aja, mending sekarang turun.”

Rachmi menuruti Farid dan segera turun dari mobil. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Pikiran buruk silih berganti melintas dipikiran Rachmi.

Farid setengah berlari sembari menggandeng tangan Rachmi. Perjalanan mereka berakhir didepan kamar bertuliskan Anggrek 15.

“Rindy? Kenapa lo ada disini?” Rachmi kaget melihat Rindy sedang berlinangan air mata. “Kenapa lo nangis?”

“Ngapain lo kesini? Belum cukup lo bikin Adit menderita? Semua gara-gara lo!” Rindy mendorong tubuh Rachmi hingga tersungkur.

“Adit? Kenapa lo bawa-bawa Adit? Ada apa sebenernya?”

“Padahal gue udah bohongi Adit! Gue bilang lo selingkuh, tapi dia gak percaya. Akhirnya dia nekat datang ke Purwokerto, tapi sesampainya disini gue ancam dia kalau gue akan bunuh diri! Saat gue berdiri ditengah jalan, Adit mendorong gue ketika ada truk mendekat!” Rindy semakin murka. “Semua ini gara-gara lo! Kalau Adit gak kenal sama lo, semua ini gak akan terjadi! Dan pastinya Adit akan jadi milik gue! Padahal hari ini hari ulangtahun Adit!”

“Adit kecelakaan?”

“Rindy! Kenapa lo nyalahin Rachmi? Dia gak salah apa-apa!” Farid angkat bicara. “Lebih baik kita masuk kedalam aja.”

Rachmi langsung berlari ketika melihat tubuh orang yang dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Bermacam-macam selang menancap ditubuh Adit.

“Dit, kenapa kamu? Jangan tinggalin aku, bangun dong!” Rachmi mengguncang pelan bahu Adit.

“Maafin aku, Dit! Aku sayang sama kamu! Buka mata kamu.” Rachmi sesenggukan.

Adit membuka matanya. “Rachmi..ya..?”

“Adit? Kamu kenapa? Tolong cepat sembuh, aku butuh kamu.”

Adit tersenyum sayu. “Ak..u ras..a wak.tu ku uda..h ga..k bany..ak lag..i..”

“Kok kamu ngomong gitu sih?”

“Jan..gan sed..ih sayan..g, mana u..capan ula..ngtah..un bu..at ak..u?” Adit mencoba tersenyum.

“Happy Birthday sayang! Kamu harus sembuh, kita rayakan ulangtahunmu sama-sama!” Rachmi mengecup bibir Adit lembut. Tubuhnya gemetar karna menahan tangis yang kian menjadi.

“Dit, maafin gue. Gue udah egois dan buat lo jadi begini.” Rindy mendekati Adit.

“Gu..e ud..ah maaf..in l..o, tolo..ng jaga..in Rachmi..ya. Lo haru..s bertema..n bai..k sam..a di..a..”

“Kenapa kamu ngomong gitu, Dit? Jangan pergi tinggalin aku! Aku butuh kamu disini.” Airmata Rachmi semakin deras mengalir.

“Ak..u saya..ng sam..a kam..u..” Perlahan Adit menutup matanya dan monitor jantung berubah menjadi garis lurus.

“Tidaaakkkkkkkkkk!!” Rachmi berteriak kencang.

Farid langsung maju dan memeluk Rachmi. “Lo yang sabar ya, hidup dan mati seseorang udah digariskan.”

Seorang dokter masuk dan mencoba alat pacu jantung untuk menolong Adit. Tapi takdir berkata lain, Adit sudah tidak bisa ditolong.

“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”

“Addiiiiiiiiiiiiittttt.” Rachmi jatuh pingsan ketika melihat wajah orang yang dicintainya tertutup kain putih.

Begitu naas nasib Adit, hari kelahirnya berubah menjadi hari kematiannya. Tapi itulah takdir, kita tidak bisa meramalkan hidup dan mati seseorang. Semuanya adalah kuasa sang Ilahi.