November 2009 ~ pratamagta

Friday, November 6, 2009

E.L.A.N.G



Hujan selalu saja mengingatkan Raras pada Elang. Elang suka hujan. Katanya hujan itu salah satu anugerah Tuhan yang paling indah. Merenung di saat hujan, bisa membuat hati tenteram dan damai. 
"Itu kalau perut kenyang. Jika sedang lapar, hujan justru membuat hati semakin miris." 
Mengenai hujan, mereka memang berbeda pendapat. Bagi Raras hujan itu malapetaka. Ia akan jatuh demam bila terkena hujan sedikit saja. Hingga ia harus terkurung di rumah tanpa bisa ke mana-mana. 
Raras menghela napas. Di luar hujan masih deras. Matanya menatap lurus pada ribuan jarum hujan yang turun. Dicobanya mencari suatu makna pada hujan tersebut. Yang membayang justru wajah Elang. Elang seakan menatapnya dengan lembut. Lengkap dengan senyumnya yang sanggup membuat hati Raras bergetar hebat. 
Elang, di mana kamu sekarang? 
Hampir tiga tahun sudah Elang pergi. Ini tahun ke dua cowok itu tidak lagi pernah memberi kabar. Raras masih ingat, tiga tahun yang lalu Elang berjalan lambat di bawah hujan untuk pamit padanya. Saat itu Raras tengah termangu di depan jendela kamar. Dari jauh ia sudah melihat Elang berjalan lambat di tengah hujan, dengan ransel besar di punggung. Dari loteng, segera Raras turun ke bawah. 
"Ada apa, Lang?" tanya Raras khawatir sambil mengangsurkan sebuah handuk kering pada Elang yang terlihat kedinginan. 
"Aku mau pergi." 
"Ke mana?" 
"Jogja." 
"Buat apa kamu ke sana?" 
"Mengembangkan bakat melukisku." 
"Lantas kuliahmu?" 
"Terpaksa kutinggal." 
"Bertahanlah!" 
"Aku tak bisa, Ras! Ke dua 'anjing' sialan itu semakin menjadi-jadi. Bodohnya Papa selalu menurut apa kata mereka. Hingga Papa tega mengusirku dari rumah." 
Raras menatap iba, ia mengerti isi hati Elang. Elang memang sangat membenci kedua wanita yang menjadi mama tiri dan adik tirinya itu. 
"Lalu bagaimana dengan aku?" cetus Raras pelan. 
Elang tersenyum sambil menatap lembut. "Aku memang pergi jauh. Tapi hatiku tetap tinggal di sini, bersamamu." 
"Tapi Lang...." 
"Percaya padaku, Ras!" potong Elang cepat. 
Raras membisu. 
"Aku pergi." 
"Di luar masih hujan." 
"Aku tak ingin berlama-lama di sini. Di dekatmu, aku takut keputusanku untuk pergi menjadi goyah." 
"Bukankah itu lebih baik?" 
Akhirnya Elang pergi. Raras tahu apa pun tak bisa mengubah keputusan Elang. 
Elang datang dengan menerobos hujan. Pergi juga ia masih menerobos hujan. Raras menatap tubuh jangkung itu menjauh, sampai menghilang di tikungan jalan depan rumahnya. 
Sebulan kepergian Elang, tak terhitung berapa kali ia menelepon Raras. Memasuki bulan kedua, intensitasnya mulai berkurang. Katanya tak sanggup dengan biaya interlokal. Raras usul gantian menelepon, tapi kata Elang tak ada nomor yang bisa dihubungi, karena selama ini Elang menelepon dari wartel. 
Bulan ketiga dan seterusnya mereka berhubungan melalui email. Walau sesekali elang menelepon karena rindu mendengar suara Raras. 
Di Jogja aku harus hidup hemat, penghasilanku sebagai pelukis pemula sangat kecil. Belum lagi saingan yang sangat banyak. Terkadang sebuah lukisanku hanya laku terjual limapuluh ribu rupiah. Tapi aku bersyukur pada Tuhan, masih bisa hidup dan makan, tulis Elang pada sebuah email. 
Raras rutin membalas. Setiap emailnya selalu berisi pemompa semangat Elang. Ia ingin Elang berhasil menggapai impiannya. Ia tak mau perhatian Elang bercabang antara karir dan dirinya, hingga Raras memutuskan untuk merahasiakan penyakitnya dari Elang. 
Sepuluh bulan kepergian Elang, surat-surat yang dikirim Raras kembali dengan alasan pindah alamat. Email yang terkirim tak pernah berbalas. Memasuki bulan ke duabelas sebuah kartu pos datang padanya. 
Sekarang aku di Belanda. Kuputuskan untuk menjadi pelaut saja. Kebetulan ada kenalan temanku di Jogja yang kerja di kapal dan butuh awak baru. Doakan aku, Ras, agar suatu hari nanti kapalku berlabuh di Belawan. 
Itu satu-satunya kartu pos yang terkirim dari Elang. Dua tahun sudah. Dan Raras selalu berdoa dan menunggu, agar Elang datang padanya. Sekali saja.

***

Selain hujan, Elang juga suka laut. Berjam-jam Elang sanggup berdiri di tepi laut. Menatap jauh ke depan. Mengagumi laut yang seolah tak berbatas. 
Sering Elang mengajaknya, tapi Raras kebanyakan menolak. Ia kapok menemani Elang menatap laut. Membosankan dan membuat kaki jadi pegal. 
"Apa indahnya dari laut ini?" Raras mengomel begitu. Sudah lebih dua jam mereka hanya berdiri dan duduk menatap laut. Tapi Elang belum juga mau pulang. 
"Banyak, Raras. Bayangkan kalau kamu bisa terbang di atas air laut itu. Tentu sangat indah dan menyenangkan." 
"Kalau begitu, seharusnya kamu terlahir sebagai burung saja." 
Setelah Elang pergi, Raras jadi suka pergi ke tepi laut. Sendirian. Seperti sore ini, Raras tengah menatap lurus ke depan, lalu beralih ke angkasa biru. Begitu indah. Langit berwarna cerah. Burung-burung terbang bebas di atas air laut. 
Gadis itu menghela napas berat. Wajahnya masih mendongak. Mungkinkah saat ini Elang juga tengah menatap birunya laut dari daratan yang lain seperti dirinya? Apakah saat ini Elang juga tengah memikirkan dirinya dan merasa rindu yang seakan tak tertahan lagi? Atau justru Elang telah lupa pada Raras, karena baginya Raras hanyalah bagian masa lalu yang berarti apa-apa? 
Kembali Raras menghela napas panjang. Kemarin Raras mengunjungi Dokter Heru. Tidak seperti biasanya, kali itu Dokter Heru menjabat erat tangannya ketika mengantar Raras keluar. Ucapan terakhir dokter itu telah mengisyaratkan hal buruk buatnya. 
"Banyak-banyaklah berdoa, Raras. Semoga Tuhan mendengar segala permintaanmu itu." 
Wajah Raras berubah pucat. "Apakah ini artinya...." 
Dokter Heru tersenyum arif. "Tak ada yang perlu kau cemaskan. Karena pada dasarnya kita harus berserah kepada Tuhan, bukan?" 
Dadanya terasa sesak. Sampai sekarang ini dalam hati kecilnya, Raras selalu bertanya mengapa semua ini harus terjadi padanya. Leukimia bukan penyakit main-main. Ia belum mau mati sebelum bertemu Elang untuk terakhir kalinya.

***

Raras terlongo. Dikuceknya kedua mata, untuk memastikan bahwa ini bukan hanya halusinasi. Tapi senyum makhluk yang berdiri di depannya justru pecah menjadi tawa. 
"Elang?!" 
Elang mengangkat bahu dan tersenyum lebar. "Daya ingatmu hebat juga. Padahal aku telah jauh berubah." 
"Mana mungkin aku bisa melupakanmu." 
Elang maju setindak demi setindak. Susah payah Raras berusaha bangkit. Elang menahannya. 
"Berbaring saja. Biar cepat sembuh." 
Hangat Elang merangkum kedua tangannya. Kedua mata Raras memanas. Elang menatapnya lekat. 
"Aku pasti kelihatan sangat jelek. Rambutku sudah mulai menipis akibat kemoterapi." 
"Di mataku kau tetap gadis yang tercantik." 
"Kemana saja selama ini?" 
"Mengembara. Mencoba hidup dan mencari jatidiri." 
"Kamu seperti menghilang ditelan bumi. Padahal aku selalu mengharap surat atau dering telepon darimu." 
"Sangat ingin, Ras! Tapi aku tak mau mengganggumu." 
Mata Raras mendelik. 
"Aku merindukanmu, Ras! Makanya aku pulang." 
"Setelah melihatku begini, kamu pasti kecewa." 
Elang menggeleng. Ia rapikan anak-anak rambut Raras yang berantakan di sekitar dahi dan pipinya. 
Raras memejam mata. 
"Kamu harus cepat sembuh. Biar bisa menemaniku jalan-jalan, menatap hujan dan laut. Mau ya, Ras?!" 
"Kata dokter umurku...." 
"Tahu apa dokter itu. Dia bukan Tuhan yang bisa menentukan umur manusia sesuka hatinya." 
Hidup adalah perjalanan yang akan berujung di suatu masa. Bersama Elang di sampingya, Raras yakin perjalanannya masih sangat panjang. Bukankah semangat dan keyakinan untuk hidup jauh lebih manjur dari segala pil-pil yang ditelannya selama ini?

bintang tak kan redup dan terjatuh


Tiara, semua yang ada padamu hanyalah keindahan dan kesempurnaan. Andai saja kamu buatan pabrik, tentulah kamu rakitan seorang maestro dengan komponen pilihan utama. Tidak saja kamu cantik. Tapi juga pintar. Rendah hati, ramah dan baik. Mungkin penilaianku sangat subjektif. Tapi memang begitulah kamu. 
Tiara. Aku mencintaimu. Bahkan amat sangat mencintaimu. Cintaku padamu melebihi apapun di muka bumi ini. Termasuk diriku sendiri. 
Mungkin terdengar gombal. Tapi begitulah adanya. Dan aku yakin aku bukanlah satu-satunya pria yang mencintaimu. Tapi aku juga yakin tak ada pria yang mencintaimu melebihi aku. Katakan Tiara, apapun kulakukan demi menyenangkan hatimu. Dan apapun akan kuberikan demi mendapat cintamu.
Tiara.... 
"Aduh...." 
"Melamun lagi? Kamu tahu tidak, kucingku kebanyakan melamun, sorenya mati kelindas kereta api." 
Aku mengelus kepalaku yang ditimpuk Joko dengan tasnya. "Itu kucingmu. Kucingku lain lagi ceritanya." 
"Apa?" 
"Pagi melamun, sorenya diadopsi sama Nafa Urbach." 
Joko terbahak. "Ngarang!" 
Aku mesem. Bayangan Tiara hilang dari benak. Namun justru sosoknya yang kini hadir di depan. Tanpa menoleh kanan-kiri apalagi ke atas, Tiara melenggang indah menuju bangkunya yang berada paling depan sebelah kanan. 
Makin hari Tiara makin cantik saja. Dengan rambut model apapun, selalu sesuai dengan wajahnya. Andai dimodelin rambut Rohaye, barangkali Tiara tetap cantik. Atau bisa jadi kian kiyut. 
Tiara, 
I really love you. So much. 
"Hei...," Joko mencolek bahuku. 
"Apa?" 
"Lihat, Tiara makin cantik saja. Tapi sayang...." 
"Kenapa?" tanyaku penasaran. 
"Sayang dia nggak mau sama aku." 
"Habis wajah kamu jelek. Nggak komersil." 
Joko mencibir. "Kayak kamu itu kebagusan saja." 
"Wajahku memang nggak menarik. Tapi aku punya percaya diri yang tinggi." 
"Itu bukan percaya diri namanya. Tapi nggak tahu diri." 
"Lihat saja. Aku akan mendapatkan Tiara." 
"Mimpi!" ejek Joko, menahan senyum. 
Tiara cantik, itu semua orang tahu. Banyak lelaki yang jatuh cinta padanya, itu juga sudah menjadi rahasia umum. Tapi kalau aku terobsesi untuk mendapatkan Tiara, itu hanya aku yang tahu. 
Setahuku Tiara belum punya pacar. Tapi andai pun sudah punya pacar, langkahku tak akan surut. Selagi janur kuning belum menggantung di depan rumahnya, Tiara masih bebas memilih. Apalagi di zaman edan ini, yang punya anak saja masih ada yang mengejar.

***

Pagi di sekolah. Di ruang kelas, hanya ada aku sama Tiara. Memang semenjak dekat dengan Tiara, aku selalu berusaha untuk datang sepagi mungkin. Biar bisa berduaan.

"Hai...." 
"Hai juga!" 
"Nggak turun ke kantin?" 
"Malas." 
Aku mengambil tempat di kursi sebelah Tiara. Kebetulan jam istirahat. Kebetulannya lagi Lia teman sebangku Tiara sudah turun ke kantin. 
"Kamu nggak ke kantin?" 
"Malas juga." 
Tiara tersenyum mendengar jawabanku yang tidak kreatif. 
"Asyik sekali. Baca apa?" 
Tiara menunjukkan buku di tangannya padaku. 
"Oh, suka baca novel?" 
"Iya. Khususnya Marga T sama Mira W. Ceritanya ringan dan mudah dicerna." 
"Supernova suka nggak?" tanyaku asal. 
"Pernah baca sih. Bukannya terhibur, yang ada kepalaku pusing. Ribet banget." 
"Sama, dong!" 
"Kamu suka baca novel juga?" 
"Terkadang. Kalau lagi suntuk atau nggak ada kegiatan." 
"Kamu suka siapa? Agatha, ya?" 
Aku bingung. Tapi akhirnya kuanggukkan saja kepalaku. Untungnya Tiara tak bertanya lebih lanjut. Karena aku tidak tahu siapa itu Agatha. Mungkin Agathawati, atau mungkin juga Agatha Dewi. 
Tiara terlihat antusias. "Di rumah banyak buku Agatha. Kebetulan abangku ngefans sama dia. Kalau kamu mau datang saja ke rumah." 
"Kapan aku boleh datang?" 
"Terserah kamu." 
"Malam Minggu, boleh?" tanyaku ragu-ragu. 
Tiara diam sejenak. Tapi akhirnya mengangguk. 
Aku tersenyum senang. Dadaku buncah. Ah, Tiara. Ternyata tak sesulit dugaanku untuk mendapatkanmu.

***
"Kamu terlihat dekat sama Tiara." 
"Siapa dulu, dong. Robert!" kataku sambil menepuk dada. 
Joko mencibir. "Kamu pelet dia?" bisiknya kemudian. 
Aku melotot sama sahabat kentalku itu. "Pikirmu aku cowok pengecut, yang hanya berani mengambil jalan pintas?!" 
Kembali Joko mencibir. "Kalau nggak mana mungkin Tiara mau dekat-dekat sama kamu. Kamu kan jelek banget." 
"Berapa kali aku harus bilang, kegantengan bukan segalanya. Masih ada sesuatu yang lebih penting di atas itu." 
"Apa?" 
"Cinta dan perhatian. Plus kasih sayang." 
Joko terbahak. Seolah mengejek ucapanku barusan. Terus terang aku sakit hati mendengar tawanya itu. 
"Kalau hanya itu, setiap orang juga punya untuk cewek secantik Tiara. Tapi harta dan tampang, tidak semua orang punya." 
"Terserah anggapan kamu. Yang pasti Tiara memilih aku sebagai cowok yang paling dekat dengannya untuk saat ini. Itu karena aku punya keistimewaan, dong!" 
"Dukun kamu barangkali, sakti luar biasa." 
Aku menatap Joko tak suka. "Terserah apa kata kamu."

***
Pagi di sekolah. Di ruang kelas, hanya ada aku sama Tiara. Memang semenjak dekat dengan Tiara, aku selalu berusaha untuk datang sepagi mungkin. Biar bisa berduaan. Agar kami semakin akrab dan lebih mengenal pribadi masing-masing. 
"Beth, minggu depan aku ulangtahun." 
"Oya?" 
"Rencananya mau aku rayain." 
"Di hotel atau cafe?" 
"Di rumah saja. Aku bisa minta bantuan kamu?" tanyanya ragu-ragu. 
"Bisa, dong!" sahutku cepat dengan dada membusung. Cowok mana yang tidak berbangga hati bila diminta bantuannya oleh seorang cewek yang amat dicintainya. "Bantuan apa?" 
"Banyak. Misalnya membagikan undangan, menghias ruangan. Pokoknya kayak seksi repot begitu, deh!" 
"Kalau itu mah kecil. Kebetulan aku sering mendekor ruangan pesta di kompleks rumah aku." 
Tiara tersenyum. Manis banget. Aku menneguk ludah. Kalau saja aku punya keberanian, sudah kucium pipinya itu. 
"Bayangkan, Jok! Tiara memintaku untuk terlibat di pesta ulangtahunnya minggu depan," ucapku semangat begitu Joko duduk di sampingku. 
"Memangnya di pesta Tiara nanti ada badutnya?" 
"Apa hubungannya keterlibatanku di pesta ulang tahun Tiara sama badut?" 
"Bukannya Tiara meminta kamu jadi badut?" 
"Bukan, Setan!" 
"Lantas?" 
"Tiara memintaku membagikan undangan dan mendekor ruangan pestanya." 
"Dan kamu bangga dengan permintaannya itu?" 
"Tentu saja. Berarti Tiara membutuhkan aku." 
Joko terbahak. Aku menatapnya jengkel. Karena kupikir tak ada yang lucu dan pantas untuk ditertawakan. 
"Apanya yang lucu?" 
"Kamu itu, sudah dibodohin, bangga lagi. Dia itu cuma mau manfaatin tenaga kamu. Kirain dia meminta kamu jadi pendampingnya." 
Aku mencibir. Dasar Joko sirik dengan rezekiku. Soalnya aku tahu, kalau dia juga ada hati sama Tiara. Coba kalau dia yang dimintai tolong sama Tiara, pasti dia juga nggak nolak. 
"Cemburu?" 
"Cemburu sama kamu?" Mendelik mata Joko. "Yang benar saja. Tiara itu bukan level kita. Kamu saja yang nggak tahu diri dan mau dibodohi sama dia."

***
Di pesta ulang tahun Tiara. Aku duduk kecapekan di teras belakang rumah. Nafasku ngos-ngosan. Aku memang capek luar biasa. Dari pagi sampai tadi kerja terus. Nggak ada istirahatnya. Semua memang aku kebut sendirian. Dari mengangkati sofa-sofa ke luar ruangan, mendekor ruangan, sampai mengambil pesanan kue ulangtahun. Aku babat sendirian. 
Meski letihnya setengah mati, aku cukup senang bisa membahagiakan Tiara. Setidaknya Tiara jadi tahu kalau aku ini bisa diandalkan. Aku tersenyum bangga. Segera aku bangkit. Kudengar suara-suara dari ruang depan. Tamu-tamu sudah datang rupanya. Aku harus segera mandi dan tampil maksimal. Biar sebanding kalau nantinya berdiri di samping Tiara saat pemotongan kue. 
Untung aku bawa baju dan peralatan mandi. Aku mandi di kamar mandi pembantu. Kedua pipiku kusabuni sampai benar-benar kinclong. Barangkali saja nanti dapat jatah ciuman dari Tiara.. 
Sehabis mandi, aku dandan sebentar. Memakai jas kawin Ayahku dulu yang kuambil diam-diam. Sekalian juga memakai dasi kupu-kupu yang kupinjam dari Mas Seno, tetanggaku. Kusisir rambutku yang keriting. Biar nggak terlihat seperti sarang tawon. Setelah semuanya cukup pantas, aku masuk ke ruangan tengah yang telah kusulap menjadi arena pesta. 
Aku berjalan dengan dada membusung dan wajah terangkat. Kulepas senyum ke segala arah dan sudut. Kurasakan seluruh mata tertuju padaku. Andai aku selebritis, pastinya kilatan 
blitz akan mengarah padaku saja. 
Kudekati Tiara yang tengah berbincang dengan Lia. Duh, aku terpesona melihatnya. Dia terlihat seperti bidadari dengan balutan gaun berwarna biru muda begitu. Bahunya yang terbuka terlihat sangat mulus dan kinclong. 
"Beth, bisa tolong aku?" 
"Apa yang nggak bisa aku bantu buat kamu. Robert gitu, loh!" 
Tiara tersenyum senang. "Tolong dong, aturin kendaraan di luar. Katanya semrawut. Jadi susah parkirnya. Sekalian kamu jaga juga. Biar nggak ada yang hilang." 
"Oke. Itu sih kecil." 
"Kamu baik, deh!" Tiara menowel pipi kananku. Aku terkaget karenanya. 
Aku keluar. Memang benar mobil parkir semrawut. Ada yang melintang kanan, ada yang melintang kiri. Waduh, baru belajar setir mobil barangkali semuanya. Parkir saja tidak becus. 
"Woi, dekorator merangkap jadi tukang parkir juga?" 
Aku menoleh. Joko tertawa terbahak melihatku. Aku mencibir jelek. 
"Ngapain kamu datang? Memangnya diundang?" 
Tanpa menjawab Joko mengacungkan undangan di tangannya. 
"Bawa kado nggak? Kalau nggak, nggak boleh masuk." 
"Tuh ada yang mau parkir." 
Aku menoleh. Mobil sedan mulus terlihat masuk. Aku berlari menyongsong. Joko tertawa-tawa masuk ke dalam. 
"Kiri! Kiri! Terus! Ya, hop!" 
Seorang pria keluar dari dalam mobil. 
"Lama benar datangnya, Mas! Parkiran sudah semrawut, nih." 
Matanya memicing menatapku. "Apa hubungannya parkiran sama aku?" 
"Bukannya Mas satpam di rumah ini?" 
"Enak saja. Aku ini pilot. Bukan satpam. Baca nih. Nggak pernah naik pesawat, ya?! Kasihan deh, lu!" 
Aku garuk kepala. Eh, benar juga. Sial deh. Kirain satpam. Seragamnya mirip sih. 
"Maaf deh, Mas." 
"Kerja yang benar. Jaga mobil aku. Awas kalau sampai lecet." 
"Iya...." 
Dia berlalu. Gagah nian gayanya. Kulihat ia membawa seikat bunga. 
Kudengar lagu selamat ulangtahun mengalun dari dalam. Aku harus ada di samping Tiara, nih. Segera aku masuk. Kulihat si Pilot tadi berdiri di samping Tiara. Ia membantu Tiara memotong tart tiga tingkat itu. Tiara memberikan potongan itu padanya. Baru sekali para undangan meneriakkan kata cium, si Pilot itu sudah mencaplok bibir Tiara. Anehnya Tiara cuma ketawa saja. 
Dadaku terbakar melihatnya. 
"Teman-teman, ini namanya Mas Teguh. Pacar Tiara. Tiara sangat bahagia, meski sangat sibuk, Mas Teguh masih menyempatkan diri untuk datang ke pesta ini." 
Aku terperanjat. Pria itu pacarnya? Jadi....selama ini Tiara menganggapku apa? 
Kaki kuhentak kesal. Aku berbalik. 
"Beth, mau kemana?" Joko mengejarku. 
"Pulang!" sahutku ketus. 
Di parkiran kulihat mobil mulus tadi. Aku tersenyum licik. Kukempeskan seluruh ban mobil itu. Biarin deh. Nggak berani mengempeskan orangnya, mobilnya juga jadi. 
Joko cuma angkat bahu. Lantas ia berbalik kembali masuk ke ruangan. 
"Jok, tega kamu ya...." 
Matanya memicing. 
"Teman lagi sedih, malah kamu tinggalkan begitu saja." 
Joko terbahak. "Aku juga bilang apa? Kamu yang kege-eran. Jadi pulang saja sendiri. 
Gila aja aku tinggalkan makanan-makanan enak di dalam." 
Aku terdiam. Lunglai aku melangkah pulang. Tiba-tiba perutku terasa perih, baru terasa laparnya sekarang. Terbayang makanan-makanan enak di ruang pesta tadi. Liurku berlomba keluar. Kebimbangan menyergap. Terus pulang atau berbalik. 
Akhirnya aku berbalik. Seperti kata Joko. 
Gila aja meninggalkan makanan-makanan enak. Nggak dapat orangnya, dapat makanannya juga jadi. Akan aku habiskan semuanya. Biar si Pilot itu nggak dapat apa-apa. Biar perutnya kempes mirip ban mobilnya. Hahahaha....

Monday, November 2, 2009

dalam proses perpindahan

Aku mulai menyadari akan adanya perpindahan dalam diri aku ini bukan paksaan dari orang tuaku atau terpengaruh teman2 tapi aku menyadari hal itu…. Perpindahan dari siswa ke mahasiswa. Perpindahan pola pikir menuju kedewasaan. Dan perbindahan agar terkosentrasi pada kesuksesan yang selalu diharapkan kedua orang tuaku.
Sukses adalah keinginan tiap orang, ada satu hal penting dalam meraihnya, yaitu motivasi. Motivasi dapat membuahkan kedisiplinan, keuletan dan lain-lain. Motivasi adalah merupakan ruh dari jasad pribadi yang ingin sukses. motivasi merupakan suatu penggabungan keinginan dan energi dalam mencapai suatu tujuan. Dengan keinginan orang tau kemana akan melangkah, dengan energi orang akan dapat menggerakkan apa yang ada padanya untuk mencapai keinginan itu. Motivasi seperti udara bagi kehidupan. Sangat berperan penting bagi jiwa-jiwa yang ingin sukses.

Prinsip motivasi
1.     motivasi merupakan proses psikologis dengan membangkitkan emosional.
2.     motivasi berproses tanpa disadari.
3.     motivasi bersifat individual sehingga cara memotivasi tiap orang bisa berbeda-beda atau juga dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Namun inti dari motivasi itu bersumber dari diri sendiri (motivatornya maupun orang yang dimotivasi).
4.     Motivasi adalah proses sosial, sehingga membutuhkan faktor eksternal
Sumber motivasi:
§  Motivasi Internal yaitu motivasi dari dalam diri, dari perasaan dan pikiran diri sendiri. Orang yang memiliki motivasi internal, akan memandang dirinya secara positif.
§  Motivasi eksternal yaitu motivasi dari luar. Contohnya dari bacaan yang memotivasi, lingkungan, dari kehidupan keseharian, dan lain-lain
Tips memotivasi secara internal:
1.     Ciptakan Imbalan. Kalau saya melakukan A maka akan mendapatkan rumah mewah. Dengan begitu diri kita akan termotivasi untuk melakukan A.
2.     Ambil selalu langkah kecil. Terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang besar perlu langkah-langkah kecil.
3.     Ciptakan Kesusahan. Ini adalah kebalikan dari yang pertama. misalnya kalau saya tidak melakukan B maka jabatan tidak naik. Tentu kita akan termotivasi untuk melakukan tindakan B.
4.     Susun Rencana beserta langkah-langkahnya.  Dengan memiliki rencana, anda seolah-olah punya alur dan plot menuju tujuan. Secara tidak langsung ini akan memotivasi dalam mencapai tujuan.
5.     Buat penarik ke arah tujuan. Misalkan kita ingin naik haji, cetak MMT dengan ukuran besar gambar ka’bah. Ini hanya contoh saja.
Motivasi dipengaruhi oleh mendesaknya kebutuhan, motivasi juga dipengaruhi oleh adanya anggapan tindakan akan memenuhi suatu kebutuhan.
Dalam memotivasi sangat dilarang untuk meremehkan, mengkritik di depan umum, perhatian yang setengah-setengah, malah memperhatikan diri sendiri, tidak memperdulikan hal-hal kecil. Motivasi juga bisa luntur karena adanya keraguan dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan (jika dalam organisasi).

Dari berbagai sumber yang aku temui di purwokerto.